HARIANHALMAHERA.COM–Aksi teror di tanah air belum berhenti. Empat hari pasca melakukan aksi bom bunuh diri gereja Katedral, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), kelompok teroris kembali melakukan penyerangan. Kali ini, giliran markas polisi yang jadi targetnya.
Tidak tanggung-tanggung, kantor polisi yang disasar adalah Markas Besar (Mabes) Polri. Seperti pada bom bunuh diri di Makassar, teror di Trunojoyo 1 ini juga melibatkan seorang perempuan. Namun, wanita berusia 25 tahun berinsial ZA ini melakukan aksinya seorang diri atau lone wolf.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyampaikan ZA mendatangi Kompleks Mabes Polri sekitar pukul 16.30 WIB. “Kurang lebih jam 16.30 tadi ada seorang wanita yang berjalan masuk dari pintu belakang, kemudian yang bersangkutan mengarah ke pos gerbang utama yang ada di Mabes Polri,” kata Kapolri dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Rabu (31/3).
Perempuan yang mengenakan gamis hitam dengan kerudung biru terlebih dahulu menanyakan kepada aparat yang berjaga mengenai pos jaga. “Dan kemudian diberikan pelayanan oleh anggota. Kemudian ditunjukkan arah kantor pos tersebut,” sambungnya.
Setelah diberi tahu letak kantor pos penjagaan, Za tiba-tiba melakukan penyerangan terhadap aparat kepolisian. Pelaku sempat mengeluarkan tembakan ke polisi sebanyak enam kali.
“Kemudian wanita tersebut meninggalkan pos namun kemudian kembali dan melakukan penyerangan anggota terhadap anggota yang ada di pos jaga dengan melakukan penembakan sebanyak enam kali, dua kali kepada anggota yang di dalam pos, dua kali yang ada di luar, dan menembak lagi kepada anggota yang di belakangnya,” ujar Listyo.
Mengetahui aparat yang berjaga diserang, aparat kemudian melakukan tindakan tegas dan terukur kepada ZA. Wanita kelahiran 14 September 1995 seketika tewas terkena timah panas petugas. “Terhadap tindakan tersebut, dilakukan tindakan tegas terukur,” pungkas Listyo.
Berdasarkan hasil pendalaman, wanita kelahiran 14 September 1995 itu juga berideologi radikal ISIS. Hal ini setelah Polri menelusuri identitas pelaku.
“Berdasarkan indentifikasi sidik jari dan ternyata identitasnya sesuai, kemudian hasil profiling yang bersangkutan, maka yang bersangkutan adalah tersangka. Pelaku lown wolf yang berideologi radikal ISIS, dibuktikan dari postingan yang bersangkutan di sosial media,” kata Listyo
Listyo mengakui, usai dilakukan tindakan tegas dan terukur, Polri langsung melakukan pengecekan terhadap pelaku teror. Saat melancarkan aksinya, pelaku membawa map kuning, yang dibertuliskan kata-kata. Selain itu, Polri juga melakukan penelusuran digital terhadap pelaku. Hasilnya menemukan unggahan yang diduga bendera ISIS. “Diposting 21 jam lalu, dimana di dalamya ada bendera ISIS dan ada tulisan terkait dengan masalah bagaiman perjuangan jihad,” ujar Listyo.
Jenasah ZA sendiri dibawa ke RS Polri Kramat Jati sekitar pukul 19.20 WIB oleh mobil ambulance Dokkes Polri. Hingga berita ini dimuat, situasi di Kompleks Mabes Polri mendapat pengawalan ketat dari aparat kepolisian.
Pasukan Brimob bersenjata, mobil gegana hingga kendaraan taktis disiagakan di depan area Mabes Polri.
“Jadi saya sudah perintahkan Kadensus untuk dalami dan usut terhadap kemungkinan ada kelompok jaringan terkait tersangka,” kata Listyo dalam konferensi pers di Mabes Polri, Rabu (31/3).
Mantan Kabareskrim ini juga memerintahkan jajarannya untuk memperketat pengamanan. Baik di dalam markas kepolisian maupun bagi anggota yang bertugas di lapangan. “Sekali lagi saya sampaikan ke seluruh anggota tetap beri layanan ke masyarakat, namun tingkatkan waspada, tingkatkan sistem pengamanan baik di markas komando maupun saat tugas di lapangan,” pinta Listyo.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyebut serangan terhadap markas polisi itu sebagai sesuatu yang direncanakan. Menurut dia, serangan itu bukan sebatas ingin memviktimisasi polisi.
”Kata nekad mengesankan pelaku tidak pakai kalkulasi. Saya justru membayangkan ini lebih dari itu. Pelaku pasti bisa membayangkan risiko yang akan dia hadapi saat menyerang di pusat jantung lembaga kepolisian. Jadi, serangan tersebut sekaligus merupakan aksi terencana untuk bunuh diri (suicide by cops),” ujar Reza.
Sisi lain, kata dia, apakah setiap serangan termasuk penembakan terhadap polisi bisa disebut sebagai aksi teror? Reza menjelaskan, di Amerika Serikat, mengacu The Serve and Protection Act, serangan terhadap aparat penegak hukum disebut sebagai hate crime.
”Di sana bukan terrorism. Di Indonesia boleh beda, tentunya,” ucap Reza.
Penyebutan hate crime, lanjut dia, menunjukkan bahwa pelaku penembakan yang menyasar polisi tidak serta-merta disikapi sebagai (terduga) teroris. Butuh kecermatan spesifik kejadian per kejadian. ”Ini untuk memprosesnya secara hukum dengan pasal yang tepat sekaligus menangkal kejadian berikutnya secara tepat sasaran,” tutur Reza.
Pengamat Terorisme Al Chaidar, aksi teror tersebut merupakan balas dendam dari jaringan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD).
“Iya ini memang berasal dari jaringan kelompok JAD. Ini merupakan pasukan yang disuruh oleh kelompok JAD, yang diutus itu perempuan,” ujar Al Chaidar kepada JawaPos.com, Rabu (31/3).
Al Chaidar menyebut bahwa ciri-ciri teroris jaringan JAD adalah menggunakan bomber perempuan atau keluarga. “Memang yang dipersiapkan itu kebanyakan kalau tidak keluarga ya perempuan. Karena, mereka banyak merekrut perempuan,” tutur dia.
Dipilihnya perempuan sebagai bomber, menurut Chaidar, karena jumlahnya cukup banyak. “Kelompok JAD suka merekrut perempuan karena perempuan adalah senjata yang dianggap paling efektif untuk saat ini. Jumlah mereka cukup banyak,” kata dia.
Selain itu, perempuan juga mudah dipengaruhi oleh ucapan-ucapan manis. Biasanya banyak di antara mereka mengalami kekurangan spiritual dan juga kekurangan ilmu agama,” pungkasnya. (jpc/pur)