HARIANHALMAHERA.COM–Desakan publik kepada kepala daerah (Kada) untuk menjadi orang pertama yang harus divaksin, sepertinya tidak berlaku bagi Gubernur Abdul Ghani Kasuba (AGK) dan Wakil Gubernur (wagub) M Al Yasin Ali.
Pasalnya, keduanya tidak memuhi kriteria untuk divaksin lantaran sudah berusia lanjut (lansia). Sekprov Malut, Samsudin A. Kadir mengatakan, syarat untuk bisa divaksi adalah yang bersuaia 18-59 tahun. “Kalau tidak salah 18-59, berarti Gubernur sudah diluar dari yang berhak mendapatkan itu,” jelasnya.
Jika mengacu pada kriteria tersebut, ternyata bukan hanya AGK dan Yasin, ada beberapa kepala daerah yang juga tidak memenuhi kriteria usia, salah satunya Bupati Halut, Ir Frans Manery yang saat ini berusia 64 tahun.
Samsuddin sendiri pun mengaku siap divaksin, namun sesuai tahapan tentunya belum dilakukan pada pertama yang masih difokuskan pada tenaga kesehatan (nakes). “Tidak mungkin yang bukan jatah untuk saya tapi karena saya berani terus saya minta untuk saya itu kan tidak mungkin. Tapi kalau itu sudah jatah saya ya pasti,” jelasnya.
Pemprov saat ini pihaknya tengah menunggu hasil uji klinis dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) serta Majelis Ulama Indonesia (MUI). Untuk tahapan selanjutnya apabila hasil uji klinis sudah keluar, pihaknya akan melakukan pelatihan kepada vaksinator sekaligus sosialisasi kepada maysarakat yang akan divaksin.
Pemprov menargetkan 844.232 orang di Malut yang akan divaksin. Dilihat dari jumlah dosis vaksin Sinovac yang diterima dari PT Bio Farma sebanyak 7.160 dosis, tentu masih sangat kurang. “Sesuai aturan WHO, satu orang harus disuntik dua dosisn vaksin, berarti baru dapat 3000 orang dari 800.000 lebih yang harus divaksin. Berarti kan masih sedikit sekali,” katanya.
Bahkan, untuk memvaksin tenaga kesehatan (Nakes) yang berjumlah 17 ribuan pun masih belum cukup “Yang disuntik pertama itu tenaga medis, untuk kluster pertama itu tenaga medis, kedua untuk petugas yang berkaitan dengan hal itu,” jelasnya.
Terkait reskai penolakan dari masyarakat, mantan Pj Bupati Pulau Morotai ini menilai hal ini terjadi lantaran belum dilakukan sosialisasi, kemudian testimony dan hasil uji klinik yang belum diumumkan. “Jadi kita akan melakukan beberapa tahapan tersebut,” tukasnya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Malut dr Rosita Alkatiri menuturkan sasaran vaksinasi memang dilakukan lebih dulu kepada mereka yang berusia dibawah 18 tahun hingga 59 tahun.
“Namun sebelumnya ada pemeriksaan – pemeriksaan apabila ada punya komorbid atau penyakit penyerta seperti hipertensi, dan lain-lain harus dicek terlebih dahulu,” katanya sembari mengaku perluasan data sasaran bagi yang berusia di atas 60 tahun, ini masih ada kajian lagi yang akan dilakukan.
Rosita mengaku vaksinasi tahap pertama dialokasikan tenaga kesehatan dan orang pelayanan di fasilitas kesehatan dengan total 8.746 orang yang tersebar di seluruh daerah dari total naskes di Malut yang akan divaksin sebanyak 17.492 orang.
“Namun untuk tahapan pertama distribusi vaksin yang baru tiba sebanyak 7.160 dosis ini terbagi nanti untuk dua kali suntik untuk mencover 3.580 Nakes. Jadi kita masih akan kedatangan distribusi vaksin untuk tahap satu yang masih kurang jadi total kebutuhan vaksin masih harus ditambah lagi,” urainya. Dengan sasaran 8746 nakes, maka jumlah vaksin yang dibutuhkan 17.492 dosis.
Untuk fasilitas kesehatan di Malut, dari 147 puskesmas, hanya 53 diantaranya memiliki jaringan akses internet cukup baik. “Yang tidak ada sama sekali ada 11 puskesmas ini kendala terbesar dalam pendataan dan dalam pelaksanaan berbasis aplikasi agak sulit,” terangnya.
Kemudian fasilitas kesehatan yang terdaftar sebagai tempat pelayanan vaksinasi Covid -19 atau imunisasi Covid -19 ada 160 tempat terdiri dari 144 Puskesmas 4 klinik praktamat dan 14 RS. “Untuk tenaga vaksinator yang sudah dilatih 122 orang dan sudah tersebar di semua kabupaten/kota,” jelasnya.
Sedangkan vaksinator yang akan dilatih untuk Provinsi Malut sebanyak 836 orang. Mereka akan mulai dilatih Senin hari ini hingga 16 hari kedepan di bagi menjadi delapan angkatan
“Kami di Malut masih tidak ada masalah untuk terkait sarana penyimpanan namun untuk sasaran yang lebih besar lagi tahap dua, tahap tiga dan berikutnya usulan untuk penambahan sarana rantai dingin sudah kami usulkan ke pusat dan kami menunggu informasi,” bebernya
Selain itu pembentukan komite daerah pengkajian dan penanggulangan kejadian paskah imunisasi atau vaksinasi merupakan langka antisipasi yang dilakukan jangan sampai nanti ada efek samping apabila terjadi vaksinasi atau imunisasi dan SK sudah siap menunggu ditandatangani oleh gubernur sehingga beberapa langka antisipasi sudah dilakukan dengan baik.
Tentang skenario distribusi vaksin, pihaknya mendahulukan puskemas yang memiliki jaringannya baik tempat layanan yang memiliki akses mudah dari RS. “Ini jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan jadi skanario itu sudah kita siapkan”,ungkapnya.
Dia menilai, saat ini banyak sekali berita – berita hoax yang berdar, karenanya masyarakat perlu dan penting mendapatkan informasi yang akurat dari pemerintah tentang vaksin Covid-19 ini.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah menuntaskan kajian kandungan vaksin Covid-19 yang diproduksi Sinovac. Hasilnya, vaksin buatan perusahaan farmasi asal Tiongkok itu dinyatakan halal dan suci.
Keputusan tersebut diambil dalam sidang pleno Komisi Fatwa MUI yang digelar di Jakarta kemarin (8/1). Ada tiga vaksin Covid-19 buatan Sinovac yang dikaji. Yaitu, Coronavac, Vaccine Covid-19, dan Vac2 Bio. Meski hasil kajian sudah keluar, fatwa komplet dari MUI masih menunggu izin keamanan dari BPOM. Sebab, saat ini MUI baru menyelesaikan kajian terkait kehalalan
Ketua MUI Bidang Fatwa dan Urusan Halal Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, keputusan bahwa vaksin Sinovac halal dan suci ditetapkan setelah diskusi panjang serta mendengarkan penjelasan para auditor. Namun, dia menegaskan bahwa fatwa MUI belum final. ’’Ini sangat terkait dengan keputusan mengenai aspek keamanan, kualitas, dan efficacy (kemanjuran, Red) dari BPOM,’’ tuturnya.
Dia menjelaskan, fatwa MUI secara utuh tentang vaksin Covid-19 buatan Sinovac akan disampaikan setelah keluar pengumuman dari BPOM. Asrorun mengatakan, fatwa final dari MUI akan melihat kembali apakah vaksin Covid-19 buatan Sinovac itu aman disuntikkan ke manusia.
Komisi Fatwa MUI menetapkan kehalalan setelah mengkaji hasil audit dari tim khusus. Tim tersebut terdiri atas Komisi Fatwa MUI dan LPPOM MUI. Tim itu telah berpengalaman dalam proses audit vaksin MR. Mereka juga bergabung dalam tim Kementerian Kesehatan, Bio Farma, dan BPOM sejak Oktober 2020. Mereka bersama tim lain mengunjungi pabrik Sinovac dan mengaudit kehalalan vaksin di Tiongkok. Sepulang dari Tiongkok, tim masih menunggu beberapa dokumen yang kurang.
Kekurangan dokumen diterima secara lengkap oleh MUI pada Selasa (5/1) melalui surat elektronik. Pada hari yang sama, tim juga merampungkan audit lapangan di Bio Farma yang akan memproduksi vaksin tersebut secara masal. Tim kemudian melaporkan hasil audit itu kepada Komisi Fatwa MUI untuk dilakukan kajian keagamaan menentukan kehalalan vaksin.
Sementara itu, pemerintah telah menyampaikan wacana sanksi bagi masyarakat yang menolak divaksin. Namun, menurut anggota Komisi IX DPR Netty Prasetyani, sanksi itu sebenarnya tidak perlu. Penerapan sanksi malah akan membenturkan hak masyarakat dengan kekuatan pemerintah. Penerapan sanksi, menurut dia, baru ideal ketika tahapan edukasi sudah tuntas. ’’Kalau itu belum, ya jangan harap masyarakat memiliki kepercayaan atau keberanian untuk divaksin,’’ tegas Netty (8/1).
Daripada menerapkan sanksi, Netty menyarankan pemerintah memperbaiki pola komunikasi kepada masyarakat. Supaya informasi yang tersampaikan tentang vaksin tidak simpang siur dan mengarah ke hoaks. Apalagi, masih ada sekitar 34 persen masyarakat yang belum bersedia divaksin. ’’Masyarakat yang tidak mau divaksin inilah yang harus dikelola pemerintah, bagaimana melakukan policy marketing,’’ lanjutnya.
Sementara itu, pemerintah mengklaim bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia bersedia divaksin. Hal itu merujuk pada survei yang dilakukan WHO bersama Unicef dan Kementerian Kesehatan. Dari 115 ribu orang responden di 34 provinsi, sebanyak 65 persen mau menerima vaksin. ”Bahkan 35 persennya bersedia membayar vaksin,” ujar Dirjen Informasi dan Komunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Widodo Muktiyo dalam diskusi Vaksinasi Covid-19, Perubahan Perilaku, dan Informasi Publik secara daring kemarin (8/1).
Widodo tidak memerinci hasil keseluruhan. Namun, dari data yang ditampilkan, turut disampaikan mengenai persentase responden yang tahu tentang vaksin dan telah mendengar lebih banyak informasi terkait vaksin. Masingmasing sebesar 74 persen dan 79 persen. Namun, masyarakat harus diyakinkan terkait kualitas vaksin. Dalam hal ini, keamanan yang menjadi kuasa BPOM dan kehalalan vaksin dari MUI. ”Kita menungu sehingga vaksinasi bisa dijalankan,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, dr Ardito Widjono, dokter asal Indonesia yang bekerja di Rumah Sakit Barnet, London Utara, menceritakan pengalamannya divaksin Covid-19 di sana. Dia mengaku tak ada efek samping berat yang dialaminya. ”Alhamdulillah baik-baik saja. Efek sampingnya hanya pegal beberapa jam, setelah itu bisa kerja lagi,” katanya.
Namun, ada pula rekannya yang mengalami efek lain. Misalnya, sakit tenggorokan dan lemas. Namun, kondisi tersebut hanya berlangsung sehari-dua hari. Dokter Ardito mendapat vaksin bikinan Pfizer. Saat ini dia baru mendapat satu suntikan dosis pertama. Butuh satu suntikan lagi untuk mendapatkan imunitas penuh.
Kepala BPOM Penny K. Lukito kemarin (8/1) menyampaikan bahwa pihaknya masih menunggu laporan uji klinis vaksin Covid-19 dari Sinovac yang diuji coba di Bandung. Sesuai dengan syarat Badan Kesehatan Dunia (WHO), data pengamatan subjek penelitian pada bulan ketiga setelah penyuntikan vaksin kedua sudah cukup untuk memberikan masukan dalam menerbitkan EUA.
Penny menyatakan, pemberian EUA tak bisa sembarangan. Saat ini BPOM sudah memiliki data uji klinis 1 dan 2 vaksin Covid-19 dari Sinovac. Lalu, yang masih ditunggu adalah data uji klinis tahap 3. Vaksin ini tidak hanya diujikliniskan di Indonesia, tetapi juga di Brasil dan Turki.
BPOM pun akan mengambil data dari dua negara tersebut. Pengamatan uji klinis tahap 3 seharusnya dilakukan selama enam bulan pasca penyuntikan kedua. Namun, untuk mempercepat EUA dan sesuai instruksi WHO, data pengamatan pada bulan ketiga pun diperkenankan. Sejauh ini, untuk mempercepat EUA, data juga dikumpulkan secara bertahap.
”Kami menerapkan rolling submission, di mana data yang dimiliki industri disampaikan secara bertahap. Sudah dilakukan sejak Oktober dan dilakukan evaluasi secara bertahap juga sejak Oktober,” kata Penny. Dia menjamin apa yang dilakukan BPOM akan independen, hati-hati, dan transparan.
Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) Prof dr Hindra Irawan Satari SpA(K) mengatakan, kandungan vaksin yang dipilih dan dipergunakan pemerintah dipastikan tidak berbahaya karena sudah dipantau keamanannya sejak uji praklinis.
”Namun, perlu diingat bahwa vaksin adalah produk biologis sehingga bisa menimbulkan reaksi alamiah seperti nyeri, kemerahan, dan pembengkakan di daerah suntikan,” katanya.
Lebih lanjut, Hindra menyatakan, pasien yang mengalami gangguan kesehatan yang diduga akibat KIPI akan menerima pengobatan dan perawatan yang ditanggung pemerintah. Termasuk pada selama proses investigasi dan pengkajian kausalitas KIPI berlangsung. (jpc/lfa/pur)