HARIANHALMAHERA.COM–Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Pemprov) Malut bersama Pemkot Tidore Kepulauan (Tikep) mulai membahas percepatan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kota Tikep
Revisi RTRW dan RDTR ini dikarenakan sebelumnya Menteri ATR /BPN Sofyan Djalil dalam kunjungannya ke Malut meminta agar revisi RTRW dan RDTR dipercepat demi mendukung pengembangan Sofifi sebagai kawasan khusus ibu kota Malut.
Sekprov Malut Samsudin A Kadir kepada wartawan usai memimpin rapat mediasi mengatakan pembahasan RTRW ini menjadi rujukan lokasi, tempat, alamat dari pembangunan.
Sehingga kota Tidore saat ini melakukan penyusunan RPJMD, tentu saja dalam RPJMD dirancang untuk menjadi rujukan pembangunan, oleh karena itu tentu membutuhkan ruang yang sesuai.
“Kita lihat banyak dinamika pembangunan yang telah berubah sehingga perlu ada penyesuaian RTRW. Sekarang sudah diajukan ke kita, mudah-mudahan bisa segera disiapkan beberapa langkah-langkah kedepan,” katanya
Dia mengakui, dari laporan yang kita diterima, RTRW Tikep itu terjadi hampir semua direvisi total. “Dan periode ini menjadi periode 2021-2041. Untuk teknis presentasinya sesuai yang disampaikan pemerintah kota Tidore tadi,”akunya.
Yang paling utama pada RTRW sebelumnya memasukkan luas ruang laut, sedangkan undang-undang tidak seperti itu lagi, terjadi perubahan ruang daratnya sehingga luasan dari cakupan RTRW itu sendiri sudah mengecil 1.700 meter 2000 hektare.
“Project kota baru di RPJMN yang mengarahkan seperti demikian. Terkait kawasan khusus yang mungkin rencana-rencana pembangunan akan lebih banyak sehingga perlu menyesuaikan ruang-ruang itu,” jelasnya.
Saat ini refisi RTRW itu sudah tuntas di Pempro, tinggal menunggu persetujuan DPRD Kota Tikep dan Kementerian. “Jika telah disetujui baru di Perdakan. Pada saat sudah mau di perdakan baru ranperdanya itu dikonsultasikan dengan biro hukum, Hanya itu saja. Kalau bisa pembahasannya sudah klir.” ucapnya.
Disebutkan, tiga kecamatan yang masuk dalam kawasan khusus Sofifi yakni Oba Utara, Oba Tengah dan Jailolo Selatan luasannya mencapai 146 ribu hektare. Dimana, 88 persennya adalah kawasan hutan yang tidak bisa dibangun.
Itu artinya, hanya sekitar 17 persen atau sekitar 25 ribu hektar itu yang masuk dalam APL (areal penggunaan lain). “Kita buka 7.500 hektar berarti tinggal 17.000 hektare. Di dalam 17 ribu itu mendukung kawasan pemerintahan, transportasi, fasilitas dan sebagainya dibutuhkan 2.400 sekian hektare, sehingga masih ada 15 ribu yang merupakan bagian untuk menopang kehidupan masyarakat dan mendukung ekonomi masyarakat,” katanya.
Sehingga kawasan yang dipakai untuk dibangun kebutuhan fasilitas-fasilitas sebuah pemerintahan seluas 2.440 hektare. “Dengan demikian, maka digelar rapat tim sehingga terkait dengan pembangunan di provinsi juga pembangunan kota Tidore juga diusulkan,” tukasnya.(lfa/pur)