HARIANHALMAHERA.COM– Dalam kompetisi pasti ada pihak yang menang dan adapula pihak kalah. Ini sudah lumrah, termasuk di dalam dunia politik. Karena itu, publik menginginkan pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK), semua kembali bersatu.
Publik pun sangat mengharapkan, upaya kubu pasangan calon presiden (capres) Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang bertarung di Pilpres 2019 untuk rekonsiliasi, bisa terwujud.
Diketahui, pembahasan rekonsiliasi kedua kubu semakin hangat jelang putusan sengketa hasil Pilpres 2019 di MK. Direktur SMRC Sirojuddin Abbas menilai upaya rekonsiliasi kedua kubu tak terlepas dari ‘panasnya’ pilpres.
Abbas menyebut masyarakat masih terbelah menyikapi hasil pilpres sampai hari ini. Kondisi tersebut diperparah dengan penolakan Prabowo dan mobilisasi massa oleh pendukungnya yang mementahkan hasil rekapitulasi suara KPU.
Selain itu, kata Abbas, polarisasi di tengah masyarakat juga terjadi karena penggunaan isu agama yang dilakukan terus-menerus oleh pendukung Prabowo dalam menyikapi hasil Pilpres 2019.
“Memakai isu agama untuk kepentingan politik sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa. Kalau tidak direspons dengan bijaksana dan dengan taktis situasi saat ini akan merusak sendi-sendi kepercayaan antarkelompok, antaragama, dan kebinekaan di kita akan pelan-pelan rusak,” kata Abbas mengutip CNNIndonesia.com, Rabu (26/6).
Abbas mengatakan Jokowi sudah berusaha untuk bertemu dengan Prabowo usai pemungutan suara 17 April lalu, namun belum terwujud. Ia menilai pertemuan belum terjadi sampai hari ini karena Prabowo dan koalisi pendukungnya memiliki posisi tawar yang tinggi.
Posisi tawar yang dimiliki Prabowo, kata Abbas, antara lain suara yang cukup besar dalam pemilu kemarin serta kelompok pendukungnya yang kerap memakai sentimen agama dalam mobilisasi massa.
Abbas menyebut rekonsiliasi menjadi kebutuhan yang sangat mendesak bagi kedua belah pihak. Namun menurutnya, Prabowo masih menunggu waktu yang tersisa sampai pembacaan putusan sengketa Pilpres 2019 di MK.
Abbas menduga Ketua Umum Gerindra itu tak akan ‘ngotot’ lagi usai putusan sengketa Pilpres 2019 dibacakan hakim MK. Menurutnya, sebagai bagian dari upaya rekonsiliasi terbuka kemungkinan Jokowi dan Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf memberikan konsesi kepada Prabowo dan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi.
“Apakah dalam bentuk power sharing atau apa gitu, supaya bisa mengakomodasi tuntutan dan bargaining yang diminta oleh Pak Prabowo dan BPN. Menurut saya begitu,” ujarnya.
Abbas berpendapat, mengajak Prabowo ataupun Gerindra bergabung dalam koalisi, baik dalam pemerintahan maupun parlemen tentu memunculkan resiko kehilangan oposisi, khususnya di DPR. Terlebih, Demokrat dan PAN juga kemungkinan besar masuk koalisi Jokowi.
Jika asumsi ketiga partai itu bergabung dalam koalisi Jokowi-Ma’ruf untuk lima tahun ke depan, kata Abbas, otomatis tinggal PKS yang tersisa. Ia pun tak yakin PKS akan diajak untuk masuk kelompok pemenang itu. “Demokrasi kita akan terganggu, karena berarti koalisi Jokowi itu akan jauh besar, mungkin di atas 90 persen kekuatan di parlemen,” katanya.
Melihat hasil Pemilu 2019, setidaknya ada sembilan partai politik yang berhasil masuk ke DPR. Partai tersebut antara lain PDIP, Gerindra, Golkar, PKB, NasDem, PKS, Demokrat, PAN, dan PPP. “(Kondisi) itu sama saja dengan pemerintah ke depan itu tidak terkontrol oleh oposisi yang memadai di parlemen,” ujar Abbas.
Meskipun demikian, Abbas mengatakan jika Gerindra Demokrat dan PAN bergabung dalam koalisi Jokowi-Ma’ruf, maka tak serta merta memuluskan pemerintahan lima tahun ke depan.
Ia menyebut setiap langkah ataupun keputusan yang nantinya bakal diambil Jokowi akan semakin rumit karena komposisi koalisi gemuk dan kepentingan partai semakin banyak. Namun, kata Abbas, keputusan ini sepenuhnya berada di tangan Jokowi. “Jadi saya kira akan mengganggu efektivitas kerja pemerintah ke depan. Secara politik tadi kan kehilangan oposisi,” tuturnya.
Selain itu, Abbas mengatakan jika Gerindra benar-benar bergabung dengan koalisi Jokowi-Ma’ruf, di tambah Demokrat dan PAN, maka kondisi tersebut membuka pintu lahirnya oposisi di luar partai politik. Menurutnya, oposisi tersebut bisa muncul dari kelompok masyarakat.
Namun, Abbas khawatir oposisi baru yang muncul ini adalah kelompok yang kerap membawa sentimen agama. Kelompok itu dikenal dengan istilah kelompok Islam politik. Kelompok tersebut menggunakan agama untuk kepentingan politik.
“Kalau mereka masih menggunakan retorika politik agama, misalnya dengan mobilisasi masyarakat berbasis agama juga seperti saat ini, menurut saya sangat berbahaya, sangat berbahaya oposisi yang seperti itu,” kata Abbas.
Ia menilai sekalipun Prabowo berhasil ‘dirangkul’ Jokowi, kelompok yang kerap ‘menjual’ agama untuk kepentingan politik itu tak bisa dipegang. Abbas mencontohkan ketika namun masih ada beberapa kelompok yang turun ke jalan.
Menurutnya, komando dari Prabowo sudah mulai tak didengar oleh kelompok tersebut. “Yang awalnya dikontrol oleh kekuatan politik di kubu Prabowo, hari ini mereka sudah bisa jalan sendiri. Dan Kalau sudah jalan sendiri dengan tetap menggunakan retorika seperti itu berbahaya,” ujarnya.
Abbas menyebut tak menutup kemungkinan kelompok tersebut akan melakukan internalisasi dan semakin menguat selama beberapa tahun ke depan. Ia menyebut kelompok yang memakai agama ketika mengkritik pemerintahan itu bisa menjadi oposisi di luar parlemen.
“Kalau gerakan massanya yang tidak teroganisir kaya begitu repot. Karena bisa dipakai siapa saja kan, (demi kepentingan apapun). Kalau LSM itu relatif terstruktur, terkontrol,” kata Abbas.
Di sisi lain, pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin berpendapat sebaiknya Gerindra tetap berada di luar koalisi Jokowi-Ma’ruf. Ujang menyebut Gerindra harus tetap menjadi penyeimbang di DPR.
Menurutnya, sebuah negara yang menganut sistem demokrasi membutuhkan oposisi yang kuat. Menurutnya, Gerindra merupakan salah satu partai kuat di DPR periode 2019-2024. Partai tersebut mendapat suara terbanyak kedua di bawah PDIP.
Namun, Ujang menyatakan jika Gerindra menerima pinangan Jokowi-Ma’ruf, maka hanya tersisa PKS, dengan asumsi Demokrat dan PAN juga bergabung ke kubu Jokowi.
“Apapun alasannya, Gerindra itu tetap sejatinya lebih baik dan lebih strategis berada di luar pemerintah. Memang sulit menjadi oposisi. Tapi bertahan menjadi oposisi akan lebih terhormat,” kata Ujang kepada CNNIndonesia.com, Rabu (26/6).
Ujang khawatir pemerintahan Jokowi-Ma’ruf karena telah berhasil merangkul mayoritas partai di parlemen akan cenderung bertindak sewenang-wenang. Tak hanya itu, pengawasan DPR terhadap pemerintahan lima tahun ke depan juga bisa melemah.
“Ketika koalisi pemerintahan kuat itu akan cenderung sewenang-wenang dalam berkuasa nanti. Oleh karena itu butuh keseimbangan politik, butuh kekuatan oposisi,” tuturnya.
Jika demokrasi di Indonesia ingin sehat, kata Ujang, maka pemerintah dan oposisi harus sama-sama kuat.(cnn/fir)