HARIANHALMAHERA.COM–Tahapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terus berjalan. Tak lama lagi akan segera memasuki proses pencalonan. Pada fase ini, tensi politik dipastikan akan meningkat.
Namun, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) memprediksi kondisi politik pada 2020 akan sangat dinamis. Pendidikan politik masyarakat akan meningka.
“Indeks demokrasi Indonesia memiliki tren terus naik. Di tahun 2020 akan ada perbaikan sistem politik dan pendidikan politik yang berjalan di masyarakat sehingga di tahun mendatang kondisi politik akan sangat dinamis,” kata Plt. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum, Bahtiar, dilansir JawaPos.com.
Bahtiar menjelaskan, Pilkada serentak 2020 akan melibatkan sekitar 107 juta pemilih atau 68 persen dari total DPT Pemilu 2019. Sehingga, Pilkada tahun depan akan membuat masyarakat semakin dewasa dalam berpolitik. “Akan muncul pertarungan ide dan gagasan di ruang publik maupun parlemen sebagai bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat,” ucap Bahtiar.
Dalam menyongsong penyelenggaraan Pilkada 2020, Bahtiar menegaskan, akan ditemui tiga tantangan besar. Pertama mengenai tantangan Integritas, profesionalisme dan manajemen tata kelola Pemilu.
Bahtiar menjelaskan, pada tingkat kecamatan, desa maupun kelurahan dan di TPS membutuhkan setidaknya tiga juta orang penyelenggara pemilu ad hoc yang tersebar pada 270 daerah, yang akan menggelar Pilkada 2020. Proses rekrutmen penyelenggara yang berintegritas menjadi faktor utama dalam menjamin kualitas penyelenggaraan Pemilu. “Kami berharap masyarakat dan pers ikut serta mengawasi jalannya proses tersebut,” terang Bahtiar.
Faktor media sosial bakal menjadi potensi sumber konflik. Melihat pengalaman di pelaksanaan Pemilu 2019, Bahtiar meminta kepada masyarakat untuk tidak terprovokasi terhadap konten yang tidak jelas sumbernya.
“Penyelenggara Pemilu harus transparan dan menjadikan media sosial sebagai tempat publikasi utama. Sehingga masyarakat dapat menerima informasi secara cepat, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan,” tegas Bahtiar.
Terakhir, Bahtiar menduga isu politik identitas juga akan menjadi sumber konflik. Ia beranggapan, kontestasi Pilkada merupakan pertandingan antar figur yang memiliki berbagai prestasi dan latar belakang yang beragam. Upaya merebut simpati dan membangun citra diri seringkali menimbulkan fanatisme berlebihan di kalangan pemilih.
“Politik identitas sangat berbahaya, Pentingnya pendidikan politik kepada masyarakat sangat penting agar tidak terulang hal – hal atau dampak negatif dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada sebelumnya,” tukas Bahtiar.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, mengatakan kecurangan dan hoaks pilkada, menjadi pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan.
Menurutnya, dari pilkada ke pilkada secara teknis dan prosedural harus diakui makin membaik. Meski tetap ada permasalahan yang masih saja berulang. “Sebut saja persoalan pemutakhiran data pemilih yang masih belum sepenuhnya valid dan akurat. Pencalonan yang penuh aroma transaksi mahar politik serta cengkeraman politik kekerabatan yang masih dominan di banyak daerah,” papar Titi, dilansir Republika.co.id.
Kemudian, lanjutnya, makin maraknya calon tunggal pun akibat dominasi elit dalam proses pencalonan, serta partai yang gagal menjaring kader-kader terbaik untuk maju pilkada. Tak bisa dipungkiri pula jual beli suara atau politik uang dipilih sebagai jalan pintas untuk menang.
“Kecurangan atau manipulasi proses penghitungan. Penyebaran hoaks atau fitnah di pilkada, serta masih adanya penyelenggara yang tidak indepenen atau berpihak masih jadi pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan agar ada perbaikan kualitas dan integritas pilkada, khususnya pada 2020 mendatang,” paparnya.(jpc/rep/fir)