Kolom

Refleksi Ekologis 2019

×

Refleksi Ekologis 2019

Sebarkan artikel ini
Suparto Wijoyo (Jawa Pos)

Oleh: Suparto Wijoyo

Akademisi lingkungan fakultas hukum & koordinator Magister Sains Hukum dan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya

 

DERING lonceng penanda bahaya ekologis sepanjang 2019 terdengar kian kencang justru di ambang gerbang time for actions, 1 Januari 2020, saat Paris Agreement mulai diimplementasikan. Secara global, pemimpin dunia gagal mengambil momentum penyelamatan bumi di Konferensi Perubahan Iklim (COP-25) di Madrid, Spanyol, 2–15 Desember 2019. Sekitar 25 ribu orang yang datang berkerumun membersamai delegasi dari 196 negara ternyata belum bersepakat signifikan di kala 2019 dipotret sebagai tahun terpanas dalam sejarah peradaban manusia sejak era praindustri (1850–1900).

Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) melaporkan bahwa pada 2019 terjadi kenaikan suhu mencapai 1,1 derajat Celsius, 410 ppm (particle per million) jumlah karbon dioksida, 329 miliar ton es di Greenland mencair, dan 26 persen air laut sekarang ini lebih asam. Sekjen PBB Antonio Guterres pun memperingatkan tentang titik krusial perubahan iklim akibat ikhtiar untuk menghentikannya yang tidak memadai. Greta Thunberg, remaja Swedia, tegak berdiri selaku aktivis iklim sambil menyindir para tokoh yang berunding itu hanya sibuk berswafoto.

Kita semua merasakan sebagaimana catatan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) bahwa iklim pada 2019 lebih hangat dari 406 bulan terakhir berturut-turut. Hal ini menandakan tidak seorang jua di bawah usia 32 tahun yang pernah mengalami bulan yang lebih dingin dari rata-rata. Sebanyak 153 miliar jam kerja dunia melayang karena gelombang panas, hampir tiga kali lebih banyak dari 2000 yang dipicu oleh peningkatan emisi karbon dioksida. Norma yuridis dalam Perjanjian Paris 2015 terasa jauh panggang dari api kalau mengikuti bahasa Helen Mountford dari World Resources Institute: Apabila negara-negara penghasil emisi tinggi, justru hilang dalam aksi.

Peristiwa organisatoris yuridis-ekologis terbesar tahun 2019 adalah penyelenggaraan Conference of the Parties (COP) meski menyisakan perdebatan solutif skema pendanaan bagi negara-negara berkembang untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan pasar karbon sesuai Perjanjian Paris yang hendak dirampungkan di COP-26 pada 2020 di Glasgow, Inggris. Sesuatu yang positif apabila Indonesia segera menyiapkan pelaksanaan pasal 6 Perjanjian Paris untuk mempromosikan pendekatan terpadu, holistik, dan seimbang perwujudan national determination contribution (NDC) melalui kerja sama mondial.

Masyarakat dunia pastinya tercengang dengan laporan PBB bahwa saat ini 9 dari 10 orang menghirup udara tercemar yang menyebabkan krisis kesehatan global dengan 7 juta kematian, 800 orang setiap jam alias 13 jiwa melayang setiap menit. Lebih tragis lagi, 93 persen anak-anak di seluruh dunia tinggal di areal polutif.

Sementara itu, di Indonesia secara nasional menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 1 Januari–23 Desember 2019 terjadi 3.721 bencana hidrometeorologi berupa: 1.339 puting beliung, 746 karhutla, 757 banjir, 702 tanah longsor, 123 kekeringan, 29 gempa bumi, 18 gelombang pasang, dan 7 erupsi gunung. Dampak bencana ini berupa: 477 orang meninggal, 109 orang hilang, 6,1 juta orang mengungsi, 3.415 orang terluka, dan puluhan ribu rumah maupun fasilitas umum rusak.

Kondisi ini membungkus permaknaan betapa kecilnya manusia dan doa tetap menjadi kata yang sedemikian perkasa memberikan harapan. Sungguh lingkungan tengah mengabarkan berita yang mencekam agar publik sudi introspeksi. Jangan membiarkan lahan konservasi diserobot menjadi kawasan industri-properti.

Tata ruang yang ditikam demi kemewahan hidup yang serakah. Drainase yang buruk melengkapi rendahnya etos kerja menata daerah aliran sungai. Pembakaran lahan dan hutan yang melaju supercepat harus ditindak. Sedih menyaksikan jutaan hektare hutan leyap dari jantung Zamrud Khatulistiwa.

Jejak ekologis 2019 menorehkan kisah desa dan kota, pegunungan dan daratan, sawah dan ladang, hutan dan lahan berbaris membentuk formasi bencana. Derita yang bergulir merekam kerugian ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan pada tingkatan yang berbahaya.

Musim hujan laksana episode bahwa banjir sedang diundi untuk diterima sebagai fakta yang mentradisi. Bencana alam dianggap sisik melik ritual klimatologis yang ditakdirkan. Seluruh titik kosmis negara ini sedang bercerita begitu gamblang mengenai bencana lingkungan dan kemanusiaan. Lantas, di mana janji negara untuk melindungi ’’segenap bangsa dan seluruh tumpah darah’’ yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945?

Negara bukanlah ’’komunitas demonstran yang hanya bisa berteriak lantang memberi peringatan’’. Negara juga bukan ’’arena majelis pertimbangan yang pandai berpetuah semata’’. Negara itu otoritas yang memiliki pemimpin yang dipilih untuk mampu mengatasi persoalan rakyatnya. Pemimpin itu menurut Ram Charan (2010) wajib menyadari keberadaannya bahwa warganya akan berpaling kepadanya guna memperoleh kekuatan dan tuntunan. Seorang leader harus merekonstruksi kinerja kalau rakyatnya sengsara ditimpa bencana, kalau hak-hak warganya terabaikan. Siapa pun yang merasa menjadi pemimpin mutlak berkomitmen melindungi rakyat, sesulit apa pun kondisinya.

Negara dituntut berkreasi-berinovasi tiada henti untuk membangkitkan optimisme ekologis yang lebih baik pada tahun 2020. Saya percaya bahwa rakyat Indonesia pantang mengeluh dirundung masalah (ekologia) karena kita bukanlah bangsa yang mudah menyerah. Peribahasa Jawa di atas mengajarkan agar kita dapat bermetamorfosis berani terbang seperti burung, berani hanyut (adaptif) di derasnya arus sungai, berani merangkak untuk menghindari hidup yang lontang-lantung (tidak berguna). Leluhur mengajarkan: sopo tekun golek teken bakal tekan [siapa saja yang konsisten mencari tongkat (jalan hidup) akan memenangi kehidupan (sampai di tujuan)]. Tahun 2019 memberi banyak arti untuk berbenah ekologi pada 2020.(*)

Sumber: https://www.jawapos.com/opini/30/12/2019/refleksi-ekologis-2019/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *