NasionalPolitik

SBY Mulai Diwacanakan Layak Pimpin Oposisi

×

SBY Mulai Diwacanakan Layak Pimpin Oposisi

Sebarkan artikel ini
Susilo Bambang Yudhoyono

HARIANHALMAHERA.COM–Pernyataan sikap Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkait kasus Jiwasraya, ternyata menjadi sorotan publik. Apalagi ada dugaan aliran dana Jiwasraya bersinggungan dengan Pilpres 2019, lalu. SBY pun dianggap layak pimpin oposisi atas pemerintahan Jokowi.

Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menyebut, SBY bisa menjadi pemimpin oposisi pemerintahan. Apalagi menurutnya, Jokowi saat ini tak memiliki oposisi yang mengkritisi kebijakannya di DPR.

“Saya melihat kecenderungan Pak SBY ke depan akan mengarak bendera opisisi yang kosong leader-nya ini, dengan cara, pertama sekali menyoal Jiwasraya,” kata Ray kepada wartawan dalam diskusi, di Bogor, Jawa Barat, Minggu (2/1), dilansir CNNIndonesia.com.

Ray mengatakan gelagat SBY untuk menjadi oposisi Jokowi dimulai dari desakan pembentukan panitia khusus kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya di DPR. Menurutnya, SBY membaca kekosongan pimpinan oposisi terhadap pemerintah Jokowi periode kedua.

“Kalau Pak SBY sudah mengibarkan bendera bahwa dia bergerak di wilayah opisisi, lama-lama partai yang ada di sini (Jokowi), ada satu yang kecewa dengan masalah elementer akan pindah ke kelompok ini (opisisi),” tuturnya.

Ray menilai sikap SBY yang berdiri sebagai oposisi pemerintahan Jokowi juga akan menguntungkan Demokrat. Ia menyebut Demokrat akan menjadi pusat perhatian karena mengambil sikap yang jelas dan akan selalu mengkritisi kebijakan Jokowi.

“Tentu saja Demokrat menjadi bahan perbincangan lima tahun ke depan, dan tentu saja secara politik akan untung. Ini menjadi kekuatan baru yang akan berhadapan dengan Pak Jokowi,” ujarnya.

Di sisi lain, Ray menyatakan bahwa Jokowi akan menerima tantangan yang cukup kuat untuk empat tahun ke depan. Menurutnya, mantan wali kota Solo itu akan berhadapan dengan empat kelompok yang perjuangannya telah diabaikan.

Pertama adalah kelompok intelektual. Jokowi disampaikan Ray telah mengenyampingkan kelompok intelektual yang menolak revisi UU KPK karena dianggap melemahkan. Terbukti, kata Ray, saat ini KPK menjadi lemah setelah dilakukan revisi UU KPK.

Kelompok kedua adalah pekerja atau buruh. Ray menyebut Jokowi tak akan disukai oleh para buruh jika tetap tak mendengarkan kritik atas rencana pembentukan Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.

Kemudian kelompok lembaga swadaya masyarakat (LSM) baik yang fokus dalam isu demokratisasi, lingkungan hidup, dan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut Ray, Jokowi selama periode pertamanya mengabaikan sejumlah tuntutan yang disampaikan sejumlah LSM.

Selanjutnya adalah kelompok mahasiswa. Ray menyatakan kelompok mahasiswa akan terus memberikan tekanan kepada Jokowi jika kebijakan yang dibuat tak berpihak kepada rakyat. Perlawanan mahasiswa bisa dilihat ketika aksi #ReformasiDikorupsi akhir September 2019.

“Ada empat kelompok yang kalau bersatu dengan isu yang berbeda, ini tentu saja menjadi satu hadangan yang kuat. Oleh karena itu, bisa kita pahami kalau Pak Jokowi sekarang agak mendekat kepada partai dan juga tentara serta polisi,” ujarnya.

Sementara itu peneliti dari Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Yusfitriadi menyatakan sejak awal memimpin pemerintahan periode kedua, Jokowi sudah menutup ruang untuk hadirnya kelompok oposisi. “Jadi tidak ada satu kekuatan politik manapun yang diberikan ruang jadi kekuatan politik penyeimbang,” kata Yusfitriadi.

Yusfitriadi mencontohkan ketika partai politik pendukung pemerintah menguasai kursi pimpinan di legislatif, baik DPR, MPR, hingga DPD. Ketua DPR Puan Maharani berasal dari PDI-P, Ketua MPR Bambang Soesatyo dari Partai Golkar, dan Ketua DPR La Nyala Mataliti adalah pendukung Jokowi pada Pilpres 2019. “Terus kekuatan faksi politik mana yang kemudian jadi penyeimbang,” ujarnya.

Lebih lanjut, Yusfitriadi menyatakan yang paling mengagetkan adalah ketika Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto juga bergabung dalam koalisi pemerintah. Prabowo merupakan lawan Jokowi pada Pilpres 2019 lalu.

Namun, kata Yusfitriadi, Jokowi berhasil merangkul Prabowo dan juga Gerindra untuk masuk dalam koalisi pemerintah. Prabowo pun dipercaya menjadi Menteri Pertahanan, sementara Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.

“Ini berpotensi yang luar biasa untuk kembali memunculkan kekuatan pemerintahan yang oligarki. Sekarang kemudian sudah terlihat tanda tanda itu, ketika pemerintahan oligarki, maka model pemerintahan otokrasi kemudian tak bisa terhindarkan,” tuturnya.

Pada periode keduanya, Jokowi berhasil menguasai enam partai politik di DPR, antara lain PDI-P, Golkar, PKB, NasDem, PPP, dan Gerindra. Mantan gubernur DKI Jakarta itu pun telah menguasai 60 persen lebih kursi di DPR.

Dengan demikian, kekuatan pemerintah di parlemen lebih dominan dibandingkan dengan partai di luar koalisi pemerintah, yakni PKS, Demokrat, dan PAN.(cnn/fir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *