Oleh: Dr. Ahmad Yani
Politisi dan Praktisi Hukum
PEMILU serentak 2019 menjadi pesta duka rakyat Indonesia. Ada sekitar 99 orang dinyatakan meninggal sesaat setelah pencoblosan akibat kelelahan dan kurang istirahat. Meskipun alasan itu masih bisa didalami lagi, hingga pada motif tekanan psikis.
Duka ini tenyata tidak berhenti, jumlah korban bertambah, hingga sampai hari ini menyampai 223 meninggal dari petugas KPPS, dan 33 petugas pengawas Pemilu dan beberapa dari saksi dan keamanan. Sungguh ini merupakan pesta yang paling menyedihkan.
Saya kira apa yang dikatakan oleh Bambang Widjojanto benar, bahwa ini pemilu paling terburuk sepanjang reformasi. Problem ini sangat berkaitan dengan manajemen sumber daya yang buruk, yang menyebabkan nyawa para relawan demokrasi menjadi bayarannya. Yang terburuk juga adalah potensi kecurangan yang sudah merata diseluruh Indonesia dan bahkan di luar negeri.
Kecurangan dan manajemen yang rusak ini punya hubungan yang berkaitan satu sama lain. Sebagai bentuk konkritnya, pencoblosan surat suara yang terjadi di berbagai wilayah sebelum pemilihan, penghitungan suara yang dipenuhi kecurangan. Yang tercoblos pasangan 02, yang dicatat dan ditambah suaranya pasangan 01. Ini sebuah kegilaan yang merusak sistem pemilu kita.
Money politics dan pembagian sembako marak sebelum pemilu, sementara tindakan penyelenggara dan pengawas pemilu tidak ada sama sekali.
Pencurian kotak dan surat suara, pencoblosan sendiri surat suara oleh anggota KPPS beredar di mana-mana. Tetapi kenapa semua menjadi tidak bermasalah. Langkah konkrit yang diambil sangat sedikit, sementara kecurangan dalam input data di website KPU berulang-ulang, sudah ribuan kali.
Kenapa tidak ada ada tindakan serius?
Inilah momen kematian. Yaitu kematian demokrasi yang nyata ditangan para pengkhianat demokrasi. Pelanggaran, kecurangan, keculasan dalam pemilu ini jangan dianggap biasa. Ini pengkhianatan terhadap konstitusi.
Apakah kita mau demokrasi dikubur, dan yang berdiri adalah rezim pongah?
KPU itu lembaga demokrasi, yang dibentuk untuk mengawal suara rakyat dan kedaulatan rakyat. Mereka dibiayai dengan uang rakyat, digaji dari keringat dan darah rakyat, kalau khianat mereka tidak akan selamat.
Bagi saya, pelaksanaan pemilu 2019 merupakan penyelenggaraan kecurangan dan kebrutalan yang terstruktur, sistematis dan massif. Karena di mana-mana, kecurangan ini terjadi, pelanggaran dan penghinaan terhadap asas pemilu yang luber dan jurdil terjadi di mana-mana.
Karena semua prinsip pemilu telah disalahi oleh penyelenggara dan kredibilitas KPU dipertanyakan, maka pertanggungjawaban hukum wajib diminta kepada komisioner KPU.
Carut-marut dan semrawutnya proses pemilu dari pelaksanaan hingga pada rekapitulasi suara ini, disebabkan karena KPU tidak mampu menjaga amanat UU.
Sebab kerusakan ini tidak hanya dilihat dari buruknya manajemen, tetapi potensi persekongkolan juga ikut merusak jalannya Pemilihan Umum. Hingga melahirkan kecurangan dan korban nyawa.
Pertanggungjawaban Pidana Menanti Komisioner KPU
Untuk melihat konteks pertanggungjawaban KPU harus dilihat dalam kecamata bernegara. Kegagalan bagi penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya, apalagi kalau ada indikasi terjadinya pelanggaran hukum, maka otomatis memiliki konsekuensi dan pertanggungjawaban hukum.
Meninggalnya 225 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) selama bertugas di Pemilu Serentak 2019 tidak bisa dianggap remeh. Bukan hanya anggota KPPS, anggota Bawaslu pun tidak sedikit.
Bawaslu menyatakan 33 anggotanya meninggal dalam pemilu ini. Korban yang jatuh sakit pun jumlahnya tidak sedikit, yaitu, 1.470 orang. Tragedi demokrasi ini merupakam kelalaian Komisi Pemilihan Umum (KPU). Karena itu, KPU harus bertanggung jawab secara hukum.
Pertanggungjawaban hukumnya dalam hukum pidana Indonesia dikenal delik dolus (doleus delicten) dan delik culpa (culpose delicten). Dua delik ini dapat meminta pertanggungjawaban komisioner KPU atas kelalaiannya dalam menjalankan pemilu.
Yang dimaksud dengan delik dolus adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan sengaja. Rumusan undang undang mempergunakan kalimat “opzettelijk” akan tetapi juga dikenal sebagai perbuatan yang dilakukan karena “dolus” atau “opzet”.
Seperti misalnya pasal 338 KUHP yang menyatakan ‘Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan “pembunuhan” dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun’.
Dikatakan melakukan tindak pidana pembunuhan dengan kesengajaan adalah apabila orang tersebut memang menghendaki perbuatan tersebut, baik atas kelakuan maupun akibat atau keadaan yang timbul karenanya. Namun juga mungkin tidak dikehendaki sama sekali oleh pelakunya.
Sementara delik culpa adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang dilakukan dengan kealpaan, atau “nalatigheid” atau “onachtzammheid”.
Pasal 359 KUHP menyatakan: “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun”. Ini berkaitan dengan Pasal 360 ayat (1) dan (2) dengan akibat yang berbeda. Ayat satu mengenai akibat luka berat, sedangkan ayat (2) akibatnya adalah luka sedemikian rupa.
Bentuk kelalaian KPU adalah pelaksanaan pemilu yang menimbulkan Berbagai kekisruhan yang terjadi dalam Pilpres dan Pileg 2019 merupakan gambaran jelas betapa buruknya kinerja KPU dibawah pimpinan Arief Budiman. Pasalnya, KPU tidak berjalan di rel sebagaimana perintah UU, perencanaan yang amburadul, pelaksanaan yang menimbulkan kecurigaan, SDM yang lemah bahkan berbagai dugaan kecurangan kian masif terlihat.
Kalau kita tarik dalam rel UU maka pelaksanaan pemilu ini merupakan pelaksanaan pemilu yang sangat buruk. Karena, asas-asas pemilu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ketika kita masuk pada wilayah teknis, maka kita melihat, amburadulnya proses penyelenggaraan pemilu. Mulai dari tahap perencanaan yang tidak pernah selesai, tahap persiapan yang tidak dituntaskan, tahap pelaksanaan yang begitu banyak kecurangan, pasca pencoblosan pun dugaan kecurangan semakin massif.
Melihat fenomena pemilu yang amburadul itu, Secara psikologis kita dapat mengkaji secara kritis bahwa meninggalnya anggota KPPS merupakan bagian dari amburadulnya pelaksanaan pemilu ini. Mungkin juga, terjadi tekanan yang brutal terhadap anggota KPPS tersebut.
Kebrutalan dan kecurangan ini menekan batin para relawan demokrasi itu. Sebab, bisa saja telah terjadi suatu tindakan yang menekan psikologis anggota KPPS tersebut.
Seperti, misalnya, dipaksa untuk melakukan tindakan kecurangan yang secara batin bertentangan dengan prinsip mereka. Perpaduan antara kelelahan dan tekanan batin ini menyebabkan kondisi psikis mereka lemah dan berujung pada kematian (Ini dugaan).
Kekerasan psikis ini dalam UU 23/2004 didefinisikan sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Karena itu patut di duga antara kelelahan dan tekanan psikis ini menjadi faktor utama penyebab tumbangnya para relawan demokrasi ini. Oleh karena itu, menurut saya evaluasi total pemilu 2019 harus dilakukan. Untuk mengevaluasi itu ada beberapa langkah.
Pertama, dengan pembentukan Tim Pencari Fakta (TPF) yang telah bergulir dalam wacana elit sekarang, yang kedua melalui mekanisme angket DPR. TPF maupun angket itu penting untuk mengevaluasi KPU. Dengan temuan TPF dan penyelidikan DPR dapat diketahui bahwa dugaan pemilu curang dan brutal bisa dibuka selebar-lebarnya di hadapan publik. Sehingga dugaan pemilu curang bisa dipertanggungjawabkan dihadapan hukum, tidak menjadi isu semata.(*)
Sumber: https://rmol.co/read/2019/04/26/387730/demokrasi-yang-merenggut-nyawa-pidana-menanti-kpu