Oleh: Amar Ma’ruf
Ketua KAMMI Turki
REVOLUSI industri 4.0 merubah kapabilitas produksi semua industri, termasuk pertanian.
Eropa sangat menggaungkan revolusi industri 4.0 di bidang pertanian karena mereka menghadapi bencana demografi, di mana jumlah penduduk usia produktif yang lebih sedikit dibandingkan usia non-produktif.
Walaupun Indonesia akan mendapatkan bonus demografi dimana usia produktif lebih banyak dibandingkan usia non-produktif, bukan berarti Indonesia tidak ikut berpacu. Tuntutan kemandirian pangan yang harus dipenuhi setiap saat membuat tiap negara berpacu meningkatkan produktivitas pangan, termasuk Indonesia. Sebab, jumlah penduduk terus meningkat yang menyebabkan kebutuhan pangan juga terus meningkat.
Dari data World Government Summit, pada dekade yang akan datang jumlah penduduk dunia diprediksi meningkat sekitar 33%, dan pada 2050 diperkirakan penduduk bumi mencapai 10 miliar orang.
Tingginya laju urbanisasi turut menjadi faktor serius yang menghambat peningkatan produksi pertanian. Orang-orang lebih memilih meninggalkan desa untuk mencari penghidupan di kota.
Diprediksi tahun 2035 mendatang, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di kawasan urban mencapai 68 persen. Bahkan angka urbanisasi di Indonesia saat ini lebih tinggi dibandingkan Cina dan India.
Walaupun di sisi lain tingginya angka urbanisasi dapat mendorong aktivitas perekonomian. Namun, bagi sektor pertanian yang mayoritas lahannya bukan berada di kawasan urban akan mengalami penurunan jumlah petani atau orang-orang yang bekerja di sektor pertanian.
Selain itu, faktor sumber daya alam yang semakin terbatas akibat tergerusnya kualitas lahan dan perubahan iklim global membuat perlu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian, salah satunya dengan revolusi industri 4.0.
Beragam teknologi digital untuk mendukung kebutuhan aktivitas budidaya pertanian, pengolahan, hingga pemasaran terus diciptakan.
Arus inovasi digitalisasi pertanian semakin cepat berjalan. Konektivitas adalah bagian terpenting dari transformasi teknologi tersebut, dan konsep Internet of Things (IOT) sebagai kunci untuk meningkatkan daya guna teknologi digitalisasi pertanian.
Digitalisasi di sektor pertanian sebenarnya sudah dimulai sejak beberapa dekade lalu, hanya saja belum berbasis konektivitas. Misalnya pada penggunaan alat-alat analisis penelitian seperti mesin Polymerase Chain Reaction (PCR), DNA Sequencer, Photosynthesis Analyzer, dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC).
Teknologi drone dinilai sangat aplikatif untuk digitalisasi pertanian. Setidaknya ada enam fungsi yang bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi ini, yaitu: analisis tanah dan iklim, penanaman, penyemprotan tanaman, monitoring tanaman, pengairan atau irigasi, dan analisis kesehatan tanaman.
Contoh teknologi lainnya adalah traktor terkoneksi, yang memanfaatkan teknologi konektivitas dan Global Positioning System (GPS) untuk penggunaannya.
Hope merupakan drone pertanian yang dikembangkan anak Indonesia, lebih tepatnya di Temanggung, Jawa Tengah. Kegunaan drone keluaran Temanggung Aeormodelling Club (TMGAC) ini adalah untuk menyemprotkan pestisida. Drone ini menggunakan teknologi sonar yang bisa mengukur ketinggian dari tanah dan pohon, dilengkapi GPS dan auto pilot.
Tidak ketinggalan juga inovasi teknologi start up untuk kebutuhan kegiatan pertanian. Beberapa start up pertanian yang ada di Indonesia antara lain: SiKumis, iGrow, Crowde, Limakilo, Ci-Agriculture, 8Villages, Eragano, dan eTanee.
Beberapa start up tersebut memiliki fungsi mulai dari solusi pemodalan, pembelian alat dan mesin pertanian, petunjuk teknis budidaya tanaman, kontrol dan pemeliharaan tanaman menggunakan drone, hingga pemasaran produk pertanian.
Dari inovasi yang ada, tampaknya kita sudah siap untuk secara menyeluruh melakukan digitalisasi pertanian karena teknologi sudah ada di Indonesia. Namun yang jadi pertanyaan, apakah teknologi tersebut bisa diakses oleh sebagian besar petani? Karena dalam menghadapi revolusi industry 4.0 bukan sekedar mampu mengadopsi dan menciptakan teknologi namun juga harus bisa menyebarkannya hingga dapat diakses sebagian besar petani.
Penyebaran teknologi masih menjadi pekerjaan rumah yang besar untuk sektor pertanian di Indonesia. Karena ketimpangan kelas sosial masyarakat yang masih terlalu tinggi. Walaupun sudah ada para penyuluh pertanian, namun masih banyak faktor kendala, misalnya faktor usia petani, di mana petani di Indonesia didominasi oleh usia 45 tahun ke atas.
Begitu juga usia para petugas penyuluh lapangan, yaitu 70 % berusia di atas 50 tahun. Selain itu daya saing dan kemampuan menyerap teknologi sebagian besar petani juga masih rendah. Data BPS tahun 2013 menunjukkan lebih 70 persen petani di Indonesia berpendidikan hanya sampai sekolah dasar.
Citra pertanian di Indonesia juga menjadi sorotan. Karena di benak orang Indonesia, relasi kata “petani” dengan kata “miskin” masih terlampau kuat. Sebagian orang Indonesia belum mampu memandang bahwa pertanian merupakan sektor penting yang dalam pengelolaannya menggunakan teknologi-teknologi modern.
Oleh karena itu pemerintah maupun stakeholder yang berhubungan dengan pertanian mesti meningkatkan program-program yang bertujuan menaikkan citra pertanian seperti dengan mengadakan pameran teknologi pertanian modern bergilir di tiap kota besar di Indonesia.
Pendidikan petani adalah hal sangat penting dalam digitalisasi pertanian. Selain upaya memberikan pendidikan ke petani, juga harus ada langkah strategis mengarahkan anak-anak muda usia produktif maupun berlatar pendidikan yang baik untuk menjadi petani atau pengusaha bidang pertanian.
Selain itu juga perlu meningkatkan upaya dalam mengefektifkan alur distribusi pengetahuan dari para ahli ke petani.(*)
Sumber: https://rmol.co/read/2019/03/27/383665/digitalisasi-pertanian-siapkah-kita