Oleh: Defrit Luma
Mahasiswa Kehutanan Uniera
TINGGINYA kualitas dan kuantitas keanekaragaman hayati yang dimiliki hutan alam Indonesia merupakan sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Hal ini terbukti dengan peringkat lima besar dunia yang disandang oleh Indonesia dalam hal keanekaragaman flora yaitu memiliki lebih dari 38.000 spesies, dimana 55% diantaranya bersifat endemik.
Keanekaragaman palem Indonesia menempati urutan pertama, dan lebih dari setengah total keseluruhan spesies atau sekitar 350 jenis pohon penghasil kayu bernilai ekonomi penting, yaitu yang termasuk famili Dipterocarpaceae terdapat di Indonesia (Santosa, 2008).
Hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai peranan penting bagi kehidupan manusia karena mampu menghasilkan barang dan jasa serta dapat menciptakan kesetabilan lingkungan (Steinlin, H. 1988).
Sejalan dengan waktu, hutan yang semula dianggap tidak akan habis berangsur-angsur mulai berkurang. Keberadaan daya dukung hutan terhadap segala aspek kehidupan sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan untuk dimanfaatkan dan dikelola. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan (Reksohadiprojo, 2000).
Masyarakat lokal yang memiliki pendidikan rendah sangat rentan terhadap pengaruh budaya luar yang konsumtif (Ngakan et al, 2006). Keadaan ini menyebabkan masyarakat tidak lagi memanfaatkan sumberdaya hutan secara arif dan bijaksana, namun cenderung melakukan perambahan dan eksploitasi yang tidak terkendali.
Disamping itu pertambahan penduduk menuntut tercukupinya kebutuhan pangan, kebutuhan kayu bakar, kebutuhan kayu pertukangan, dan tempat pemukiman. Di lain pihak lahan pertanian sebagai penghasil pangan luasannya terbatas, sehingga alternatif utama untuk pemenuhan kebutuhan pangan adalah mengkonversi lahan hutan menjadi lahan pertanian (Simon, 2001).
Keterbatasan lahan yang dimiliki oleh masyarakat di sekitar hutan akan berakibat pada kondisi hutan di sekelilingnya. Mereka akan menggantungkan hidupnya pada hutan yang ada di sekeliling pemukimannya guna memenuhi kebutuhan hidup yang terus meningkat. Tanpa pengelolaan yang tepat, hal seperti ini merupakan ancaman bagi keberadaan dan kelestarian hutan, serta dapat menurunkan fungsi dari peruntukan hutan tersebut (Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan).
Sejalan dengan paradigma baru pembangunan kehutanan yaitu pengawetan dan pelestarian keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang mengarah pada terwujudnya kelestarian hutan sebagai sistem penyangga kehidupan, memperkuat ekonomi rakyat, mendukung perekonomian nasional bagi kesejahteraan rakyat, serta meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan, maka kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan haruslah betul-betul melibatkan dan menyentuh langsung masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan.
Ironisnya, masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya kepada hutan merasa kehilangan aksesnya. Hal ini berdampak pada konflik dan masalah sosial lain dan berujung pada kerusakan hutan yang semakin parah. Kurangnya perhatian pemerintah dimasa lalu menyisakan permasalahan yang hingga kini belum tertangani dengan baik yaitu konflik kepemilikan lahan dimana masyarakat mengklaim batas kawasan sebagai lahan pertanian milik mereka (Lis Nurrani & Supratman Tabba, 2013).
Selain konflik, aktivitas masyarakat yang semakin ekstraktif membuka areal hutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya melalui kegiatan perladangan berpindah, akan semakin besar pengaruhnya jika jumlah penduduk meningkat.
Untuk menjawab setiap permasalahan diatas maka muncullah sebuah program yang dicanangkan oleh Pemerintah pusat yaitu Perhutanan Sosial yang mungkin akan meleburkan persoalan-persoalan tersebut. Hutan untuk rakyat merupakan paradigma baru perhutanan sosial (Kuncoro, 2018).
Intinya hutan bukan hanya untuk pengusaha atau usaha besar tapi rakyat kecil dan usaha kecil mikro (UKM) di seputar hutan perlu mendapat jaminan izin/hak untuk menanam kopi, jagung dan lain-lain, maupun air minum dan penghidupan yang layak bahkan dalam pengelolaan hasil hutan seperti kayu dan bukan kayu.
Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10 tahun 2016 mengatur dan menjelaskan apa dan bagaimana perhutanan social (Lestari, 2017). Tujuannya jelas; pertama, pedoman pemberian hak pengelolaan, perizinan, kemitraan dan hutan di bidang perhutanan sosial. Kedua, untuk menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat, yang berada di dalam atau sekitar kawasan hutan.
Singkatnya, Permen ini bermuara pada rakyat sejahtera namun hutan harus juga lestari. Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Adat (HA), dan Kemitraan Kehutanan (Kuncoro, 2018).
Istilah Perhutanan Sosial (Social Forestry) pertama kali disampaikan oleh Jack Westoby, seorang ekonom kehutanan FAO pada tahun 1968, sebagai suatu pendekatan pembangunan kehutanan yang mempunyai tujuan memproduksi manfaat hutan untuk perlindungan dan rekreasi masyarakat (Tiwari, 1983).
Sosial Forestri merupakan suatu kegiatan yang berkaitan dengan profesionalisme rimbawan yang tujuan khususnya pada peningkatan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan hutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengakomodir aspirasi mereka ke dalam pembangunan kehutanan (Wiersum, 1984).
Data perkembangan Perhutanan Sosial di wilayah Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat sejak akhir tahun 2016 sampai dengan tahun 2018 terus mengalami peningkatan dari aspek kuantitas capaian wilayah kelola Perhutanan Sosial, dimana berdasarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) adalah seluas 3.317.953 Ha dan total capaian sampai Juli 2018 adalah seluas 73.016,30 Ha (2,2%).
Untuk capaian penyiapan kawasan hutan tahun 2017; fasilitasi permohonan Hutan Desa (HD) seluas 15.000 Ha, Hutan Kemasyarakatan (HKm) seluas 52.443 Ha dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) seluas 600 Ha; hasil verifikasi HD seluas 14.236 Ha, HKm seluas 39.257 Ha, belum diverifikasi HD seluas 2.918 Ha, HKm seluas 13.186 Ha; SK HPHD/IUPHKm untuk HD seluas 3.779 Ha, HKm seluas 400 Ha (BPSKL Maluku Papua, 2017).
Luas data PIAPS Revisi I Desember 2017 untuk Maluku Utara seluas 107.922 Ha, Papua Barat seluas 553.727 Ha, Papua seluas 2.415.898 Ha, dan Maluku seluas 192.170 Ha. Sedangkan target jemput bola tahun 2018 untuk Provinsi Maluku seluas 150.245 Ha, Provinsi Maluku Utara seluas 96.204 Ha, Provinsi Papua seluas 644.946 Ha dan Provinsi Papua Barat (Hasil Kajian Fransina Latumahina, 2019 untuk wilayah Maluku, Maluku Utara dan Papua).
Implementasi program Perhutanan Sosial ini penuh dengan tantangan dan perdebatan seputar pengaturan hak properti yang tepat, apakah itu untuk masyarakat, swasta atau individu dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan, masih menjadi masalah yang belum terselesaikan.
Masih diperdebatkan apakah dan bagaimana Perhutanan Sosial di Indonesia dapat memberikan hak kepastian tenurial yang diharapkan, sekaligus berkontribusi untuk meningkatkan mata pencaharian dan konservasi hutan.
Disisi lain perhutanan sosial belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat luas oleh sebab itu sosialisasi dari Pemerintah dan berbagai stockholder terkait agar dapat diketahui oleh masyarakat dalam mempergunakan dengan sebaik mungkin demi terciptanya hutan lestari masyarakat sejahtera.(*)