Opini

Dinamika Politik Pemilihan Kepala Desa

×

Dinamika Politik Pemilihan Kepala Desa

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi Pilkades
Mutlaben Kapita

Oleh: Mutlaben Kapita
Pegiat Literasi Maluku Utara, Pemuda Kao Barat

 

SELAIN pemilihan Kepala Daerah yang akan dihelat secara serentak tahun depan sebanyak 270 daerah Kabupaten/Kota di Indonesia, termasuk 8 Kabupetan/Kota di Maluku Utara, adapula helatan pesta demokrasi di tingkat desa, yakni pemilihan Kepala Desa (pilkades) yang akan dilaksanakan tahun ini dibeberapa daerah Kabupaten/Kota di Maluku Utara. Salah satunya Kabupetan Halmahera Utara kembali menyelenggarakan pilkades di 94 Desa dari 196 Desa, pada bulan September.

Ketegangan Politik

Meski pilkades hanya memilih pemimpin desa, namun ketegangan politik jauh berbeda dengan pilkada dan pileg. Dalam pilkada dan pileg sering ada narasi politik yang dikonstruksi memicu ketegangan politik di tengah masyarakat. Namun tidak sampai terjadi konflik horizontal; bahkan setelah pemilihan biasanya antarpendukung kembali bersatu walau berbeda pilihan politik pada saat pilkada dan atau pileg.

Lain hal dengan pilkades. Biasanya tensi politik begitu tinggi dan sangat terasa di masyarakat. Apalagi  ketika usai pemilihan. Saat calon Kades yang didukung kalah, maka rentan terjadi konflik karena sering ada pendukung yang tidak legawa menerima hasil pilkades.

Contoh kasus pilkades di Desa Bailengit, Kecamatan Kao Barat, Kabupaten Halmahera Utara tahun 2015. Kala itu, dinamika politik sangat terasa mulai dari proses pemilihan hingga usai. Alhasil, pasca-pemilihan pilkades, pendukung calon Kades yang kalah dalam pertarungan pilkades, tidak legawa menerima hasil sehingga melakukan pembakaran rumah salah satu pendukung calon Kades pemenang pilkades.

Jika dirunut, setiap helatan pilkades di Desa Bailengit tetap ada konflik seusai pemilihan. Bahkan di desa-desa lain pun terjadi situasi politik yang (hampir) sama. Karena dalam perhelatan pilkades, pertarungan politik identitas yang lebih kental. Isu gereja (isu ini biasa dikonstruksi sebagai strategi politik, jika dalam desa terdapat dua dan atau lebih denominasi gereja), kesamaan keyakinan “agama“(dewasa ini, agama menjadi sasaran isu yang biasa dijadikan strategi politik bagi calon Kades, dalam rangka menggaet suara masyarakat yang se-agama. Isu ini dipakai, apalabila dalam desa lebih dari satu agama. Misal ada agama Kristen dan agama Islam), selain dua isu tersebut, isu marga pun sering dijadikan sebagai strategi politik bagi calon Kades.

Marak Politik Uang

Di samping isu gereja, kesamaan keyakinan (agama) dan isu marga dalam pilkades. Politik uang menjadi salah satu strategi politik yang lumrah dijadikan calon Kades untuk menarik dukungan masyarakat dalam perhelatan pilkades. Hal ini, ada mantan calon Kades di salah satu desa di Kecamatan Kao Barat mengaku, ia mengeluarkan dana kampanye dengan jumlah yang sangat besar pada waktu mengikuti kontestasi pilkades. Gunanya untuk menggaet suara masyarakat.

Olehnya, politik uang bukan hanya merebak dalam pilkada dan pileg, tetapi dalam perhelatan pilkades pun mulai marak. Masyarakat sebagai pemilih tampak mulai pragmatis dalam memberi hak suara. Ini merupakan akibat dari prilaku elite-elite politik yang sering melakukan praktik politik uang ketika dalam perhelatan pilkada dan pileg, membuat terbentuk sifat masyarakat yang cenderung pragmatis juga merebak dalam pilkades.

Jadi praktik politik uang masif dalam setiap  pesta demokrasi baik pilkada, pileg maupun pilkades. Suara masyarakat diperjual-beli bagai komoditas dengan beragam standar nominal.

Marketing Politik

Dengan itu, para calon Kades mesti merubah pola kampanye, terutama marketing politik yang menjadi nilai jual terhadap masyarakat. Adalah ide dan gagasan yang diramu dalam bentuk visi dan misi ialah urgen dijadikan marketing politik untuk menarik dukungan masyarakat.

Idealnya perebutan pucuk pimpinan dalam desa ialah pertarungan ide dan gagasan, bukan dengan praktik politik irasional dan atau praktik-praktik politik yang tidak etis. Sebab, menjadi calon pemimpin harus memiliki konsep desain pembangunan untuk desa ketika terpilih. Desa seperti apa yang hendak diwujudkan dan dalam bidang apa yang menjadi program unggulan selama masa bakti.

Ia harus mengurai secara komprehensif dan detail perihal harapan-harapan yang hendak diwujudkan ke depan terhadap masyarakat. Ini lebih baik jika dijadikan marketing politik, ketimbang mengkonstruksi narasi-narasi politik yang menyerang (menjatuhkan) kompetitor dalam pilkades.

Bahaya lagi, apabila materi kampanye yang dikonstruksi membuat sekat dan benturan antar masyarakat. Ini hendaknya dihindari. Terpenting ialah meyakinkan masyarakat selaku pemegang kedaulatan dengan ide dan gagasan untuk mempengaruhi pilihan politik.

Memilih Pemimpin Desa

Seiringnya memilih pemimpin desa bukan sekadar memilih, tetapi ada syarat atau indikator yang harus dijadikan dalam memilih. Secara umum indikator memilih pemimpin menurut para ahli ialah harus amanah, memiliki kecerdasan, dewasa, mengayomi semua masyarakat, dan berintegritas.

Sedangkan menurut penulis memilih pemimpin desa atau Kades harus dilihat tiga indikator yakni: Pertama, kualitas SDM. Kualitas calon Kades sangat penting dinilai, sebab rendahnya kualitas SDM yang dimiliki calon Kades dapat mengakibatkan pada ketidakmampuan menjalankan roda pemerintahan desa ketika terpilih. Pun bisa berdampak pada manajemen keuangan desa yang amburadul juga penggunaan yang tidak tepat sasaran.

Untuk lebih jelas mengukur kualitas SDM ialah dapat melihat visi dan misi yang dijabarkan oleh calon Kades. Visi dan misi tersebut dinilai, apakah rasional dan sesuai kebutuhan desa atau tidak. Karena visi dan misi merupakan cerminan kualitas calon Kades, sejauhmana pengetahuan perihal meta masalah desa dan solusi yang hendak dilakukan. Sebab, calon Kades yang berkualitas memiliki segudang gagasan yang diejawantahkan dalam visi dan misi sebagai jawaban atas pelbagai masalah di desa.

Selain itu, memahami produk kebijakan desa yang dibuat pemerintah. Semisal kebijakan Undang-Undang Nomor 6/2014 Tentang Desa, beserta turunan kebijakan dari Undang-Undang tersebut. Karena, ini merupakan acuan kebijakan dalam pelaksanaan pemerintahan desa.

Dengan itu, panitia pilkades harus membuat kampanye dalam bentuk debat calon Kades, guna menguji kualitas para calon Kades terkait penguasaan terhadap produk kebijakan atau regulasi yang bertautan dengan sistem pemerintahan desa. Apalagi saat ini Dana Desa yang digelontorkan pemerintah begitu besar. Maka sangat dibutuhkan Kades yang memahami pelbagai regulasi yang mengatur tentang desa, terutama mengetahui tata kelola keuangan desa.

Kedua, menilai rekam jejak calon Kades. Artinya, masyarakat perlu melihat rekam jejak calon Kades untuk memudahkan dalam menentukan pilihan politik. Bila ada calon Kades petahana, maka nilai kinerja selama menjabat, apakah layak dilanjutkan periode kedua atau tidak.

Begitupun, bila ada calon Kades yang sebelumnya pernah masuk dalam struktur pemerintahan desa dan maju sebagai calon Kades, maka perlu menilai rekam jejak kinerja. Atau jika ada masyarakat yang turut mencalonkan diri sebagai calon Kades, hendaknya dinilai rekam jejak sejauh ini. Ini dilakukan agar Kades yang dipilih ialah hasil pilihan secara selektif.

Ketiga, integritas. Indikator satu ini sangat penting dinilai masyarakat terhadap calon Kades. Sebab, kini maraknya korupsi Dana Desa yang dilakukan Kades karena faktor hilangnya integritas dalam diri. Jelasnya, orang yang berintegritas selalu komitmen, konsisten, jujur dan menjalankan tugasnya selaras dengan yang dirancang sebelumnya.

Sebagaimana dikemukakan Andreas Harefa, bahwa integritas ialah suatu kunci kehidupan yang dapat diamati secara langsung, yaitu menunjukkan kejujuran, berkomitmen, dan melakukan sesuatu dengan konsisten.

Itulah sebabnya, akhir-akhir ini korupsi Dana Desa kian marak dilakukan oleh Kades, maka pada pilkades kali ini masyarakat harus lebih cerdas dan selektif memilih calon Kades, dengan melihat kualitas calon Kades, rekam jejak dan integritas. Tiga indikator tersebut penting dijadikan sebagai pijakan dalam menentukan pilihan politik, bukan memilih calon Kades karena dilatari hubungan keluarga, satu gereja atau kesamaan keyakinan (agama), apalagi atas pengaruh politik uang.(*)

Respon (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *