Oleh: Defrit Luma
Suara lentunan angin yang berbisik lembut di antara pohon-pohon hutan Halmahera, isu ekologi kini mulai menggerakkan jiwa-jiwa yang peduli akan masa depan Maluku Utara. Pemilihan kepala daerah yang kini berada di ambang pintu memberikan kita kesempatan emas untuk mempertanyakan bukan hanya janji-janji politik, tetapi juga kedalaman moral dan spiritual para pemimpin yang kita dambakan. Di atas panggung politik, ekoteologi adalah perpaduan harmoni antara iman dan tanggung jawab ekologis, berdiri sebagai lentera yang menuntun langkah menuju masa depan berkelanjutan.
Alam Maluku Utara bukan sekadar latar belakang dari kontestasi politik, tetapi seorang tokoh yang hidup, berdetak dalam denyut sejarah, menawarkan kesejahteraan sekaligus mengharapkan cinta dan perhatian. Gunung-gunung, hutan, laut, dan tanah di wilayah ini seolah-olah berbisik kepada kita, “Siapakah yang akan menjaga kami ketika suara-suara kampanye mulai memudar?” Pertanyaan ini menghantui hati masyarakat, terutama ketika janji-janji kosong seringkali dibiarkan berserakan setelah musim politik berlalu.
Ekoteologi hadir, bukan sebagai sekadar konsep akademis, tetapi sebagai panggilan moral bagi para pemimpin yang memiliki iman dalam tindakannya. Ekoteologi menempatkan alam sebagai ciptaan yang suci, yang harus dipelihara dengan sepenuh hati, bukan dieksploitasi demi kepentingan jangka pendek. Alam adalah rekan dalam perjalanan hidup manusia, bukan sekadar sumber daya yang bisa dikuras tanpa perasaan. Melalui perspektif ini, kita dapat melihat bahwa pemimpin yang benar-benar memahami ekoteologi akan membawa peran baru dalam politik, peran sebagai penjaga alam yang setia, yang bekerja tidak hanya untuk manusia tetapi juga untuk kelestarian lingkungan itu sendiri.
Bayangkanlah calon pemimpin yang tidak hanya berdiri di atas podium untuk berbicara tentang pembangunan, tetapi juga mendengarkan rintihan sungai yang tercemar dan napas berat dari hutan yang digunduli. Dia mengerti bahwa pembangunan tanpa kelestarian adalah jalan yang penuh duri, yang pada akhirnya akan melukai mereka yang paling lemah. Dengan sentuhan tangan pemimpin yang peduli lingkungan, kebijakan-kebijakan tidak lagi sekadar angka dan data, tetapi menjadi perwujudan cinta terhadap tanah, air, dan udara yang diberikan oleh Sang Pencipta.
Dalam panggung politik, ekoteologi menantang kita untuk melihat lebih dalam daripada sekadar janji-janji pencitraan. Kita diminta untuk menimbang pemimpin yang tidak hanya berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi yang menghidupi ajaran-ajaran spiritual dengan memelihara keseimbangan alam. Kepemimpinan yang benar-benar kuat adalah kepemimpinan yang mampu menyatu dengan suara alam, mendengarkan apa yang dibutuhkan oleh bumi, dan memahami bahwa kesejahteraan manusia tidak dapat dipisahkan dari kesejahteraan ekosistem.
Seperti air yang mengalir dari pegunungan ke dataran rendah, seorang pemimpin yang memeluk ekoteologi akan membiarkan kebijakan-kebijakannya membawa manfaat dari hulu hingga hilir. Dalam setiap keputusan yang diambilnya, dia akan mempertimbangkan bagaimana tindakan-tindakan tersebut memengaruhi keseluruhan ekosistem. Baginya, alam bukan sekadar aset ekonomi, tetapi bagian dari kehidupan spiritual yang harus dihormati dan dijaga. Dalam pandangannya, pengelolaan sumber daya alam adalah tindakan ibadah, di mana tanggung jawab terhadap ciptaan berjalan selaras dengan iman.
Namun, di tengah gelombang politik yang semakin tinggi, kita harus waspada terhadap mereka yang hanya menggunakan isu ekologi sebagai alat politik tanpa pemahaman yang mendalam. Alam dapat berbicara, tetapi ia juga dapat diam dalam kekecewaan ketika mereka yang berjanji untuk merawatnya justru mengabaikannya. Oleh karena itu, para pemilih harus memiliki mata yang tajam dan hati yang peka, untuk memilih pemimpin yang sungguh-sungguh menghidupi prinsip-prinsip ekoteologi dalam setiap langkah politiknya.
Konsep Ekoteologi tidak berhenti pada tataran ide; ia adalah sebuah tindakan nyata yang harus diwujudkan dalam kebijakan lingkungan yang adil dan berkelanjutan. Pemimpin yang memahami ini akan memastikan bahwa eksploitasi sumber daya alam tidak hanya mempertimbangkan keuntungan materi, tetapi juga menjaga keseimbangan alam bagi generasi mendatang. Dia akan merangkul masyarakat adat yang selama berabad-abad telah hidup berdampingan dengan alam, menghargai kearifan lokal mereka, dan melibatkan mereka dalam pengelolaan sumber daya.
Di sisi lain, alam Maluku Utara akan tersenyum lembut jika diberikan pemimpin yang merawatnya dengan penuh kasih. Seperti seorang ibu yang melindungi anaknya, alam akan memberi kembali jika ia diperlakukan dengan cinta dan hormat. Hutan-hutan akan kembali menghijau, lahan-lahan yang gersang akan tumbuh subur, dan laut akan terus menyediakan ikan yang melimpah. Semua ini hanya mungkin terjadi jika kepemimpinan yang kita pilih bukan hanya sekadar janji, tetapi juga terhubung erat dengan nilai-nilai spiritual yang menghormati alam sebagai bagian integral dari kehidupan manusia.
Pada akhirnya, ekoteologi di panggung politik Maluku Utara bukanlah sebuah utopia yang mustahil. Ia adalah harapan nyata yang bisa kita wujudkan jika kita memilih dengan bijak. Pemimpin yang kuat bukanlah yang hanya berbicara dengan suara keras, tetapi yang mendengarkan suara alam yang tenang namun penuh makna. Di tangan pemimpin seperti inilah, harapan baru untuk kelestarian Maluku Utara dapat terwujud, membawa kita menuju masa depan yang sejahtera dan berkelanjutan.(***)