Oleh: Dimas Oky Nugroho
Doktor Antropologi Politik UNSW Sydney, Koordinator Perkumpulan Kader Bangsa
HARI ini, ancaman global penyebaran wabah covid-19 serta dampak sosial ekonomi, bahkan politiknya menjadi salah satu tekanan paling serius yang harus dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia. Bagaimana bangsa ini harus menghadapi situasi ini? Menurut saya, kuncinya pada kemampuan para pemimpin dalam memberikan kesadaran dan membangun optimisme, serta mengarahkan militansi warganya, khususnya kaum muda, untuk berperan di masa-masa krisis.
Era milenial, eranya kaum muda yang tumbuh seiring dengan perkembangan era digital. Sekitar 50% lebih penduduk saat ini adalah anak muda dan usia produktif. Mereka semakin siap mengambil tanggung jawab kepemimpinan sebagai penggerak utama dalam masyarakat.
Apakah mereka apatis dengan isu-isu publik? Justru media sosial dan berbagai drama politik telah membuat anak-anak muda ini melek dan partisipatif. Bahkan, cukup bijak menghadapi berbagai dinamika sosial. Dalam sektor ekonomi, mereka juga semakin progresif seolah menuju apa yang Marx sarankan, menjadi ‘tuan’ bagi dirinya sendiri dan mempunyai waktu luang. Dengan waktu luang, meminjam Marx yang saat itu merujuk pada kontradiksi kelas pekerja dan pemilik modal, anak-anak muda ini dapat memiliki kesempatan dan proses berkembang, serta berpartisipasi secara lebih luas dan optimal.
Entrepreneurship, ekonomi kreatif, dan kepedulian sosial adalah trennya. Kehadiran anak muda akan bermanfaat bagi negara-bangsa jika ia memiliki fundamental karakter dan modal sosial yang baik, sebuah ‘spiritualitas’ yang positif. Menarik karena saat ini kita menyaksikan di kalangan milenial muncul tren untuk lebih peduli dan berkontribusi pada masyarakatnya.
Memang belum merata. Namun, telah menjadi pemahaman umum di kalangan ini, bahwa sebuah pencapaian tidak semata soal material, tetapi juga immaterial. Kebaikan jangan hanya dinikmati sendiri, harus terdistribusi. Sebuah keberkahan, di-share kepada yang lain yang membutuhkan.
Baru-baru ini seorang selebgram milenial, Rachel Vennya, berinisiatif melakukan gerakan Tolong-Menolong Lawan Covid-19 melalui Kitabisa.com. Dalam seminggu ia berhasil mengumpulkan lebih dari Rp7 miliar. Donasi yang terkumpul disalurkan antara lain melalui PMI dan untuk penyediaan alat pelindung diri (APD) kepada RS yang membutuhkan.
Hal ini adalah salah satu contoh aksi kepedulian dan tanggung jawab anak-anak muda terhadap problem lingkungan sosial ekonomi masyarakatnya melalui cara-cara kekinian.
Spiritualitas Nusantara
Bagi saya, ini adalah sebuah hikmat kebijaksanaan, sebuah spiritualitas publik yang sehat. Demokrasi yang berkualitas bukan bergantung pada kehadiran kelas menengah yang mapan, melainkan sesungguhnya, demokrasi membutuhkan sekelompok besar manusia, mungkin satu generasi. Sebuah historical bloc merujuk Antonio Gramsci, yang memiliki pemahaman kebijaksanaan dan keinginan baik membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Anak-anak muda kita hari ini adalah sebuah bonus demografi yang dahsyat. Memang, sebagian mereka ada yang memandang dunia saat ini dari kacamata partikularisme dan semangat identitas yang fragmental. Tidak sedikit yang bersikap skeptis atau malah memilih resistan terhadap sistem. Namun, kenyataannya banyak sekali di antara mereka yang memiliki kearifan dalam pemahaman tentang keuniversalan kemanusiaannya. Kebutuhan sebagai makhluk sosial untuk maju dan berkembang, realitas historis kebangsaannya, serta tradisi-tradisi kebijaksanaan lokal.
Banyak yang mulai menyadari bahwa kembali ke jati diri adalah sebuah pilihan tepat di tengah berbagai kesumpekan sosial di sekitar. Mereka menginginkan jalan alternatif yang lebih menghadirkan esensi, ketenangan, sekaligus solusi yang tidak konfl iktual.
Dalam proses percariannya, mereka mendapatkan pemahaman sekaligus pengalaman dan menemukan sebuah ‘spiritualitas kenusantaraan’ di sana. Sebuah idealisme yang ‘lembut’, tapi juga sebuah kekuatan solid dan fundamental. Berguna untuk diri pribadi serta eksistensi bangsanya. Seorang ‘milenial’ pada zamannya, RA Kartini, akhir abad ke-19 sudah menuliskan, spiritualitas adalah sebuah kedamaian, yakni ketika mampu mensyukuri kehidupan, alam semesta, dan segala isinya yang merupakan karya cipta dan cinta dari Tuhan.
Dalam biografi yang dituliskan Siti Soemandari Soeroto (1970), Kartini secara ilustratif menyatakan spiritualitas itu bisa dirasakan, ‘Pada harumnya kembang dan dupa, pada bunyi gamelan, pada berdesirnya angin di atas pohon kelapa, pada manggungnya burung perkutut, pada desiran pohon padi yang ditiup angin, pada bunyi lesung saat orang menumbuk padi’. Sebuah spiritualitas yang didasari sensitivitas rasa, serta penghormatan terhadap serba-serbi kehidupan dan lingkungannya.
Dengan kesadaran demikian, Kartini hendak membangun sebuah fondasi yang autentik sebagai dasar mentalitas anak-anak bangsanya, bahwa bangsa yang luar biasa ini dapat menerima segala penderitaan dan keterbatasan hidup karena adanya sikap tabah sekaligus optimistis: ‘…mengurang- ngurangi, menderita, dan berpikir menuju kepada terang. Tidak ada terang, bilamana sebelumnya tidak ada gelap. Mengurang-ngurangi adalah kemenangan sukma atas wadag. Kesepian mengajar untuk berpikir’.
Titik Hening
Social distancing sebagai upaya pencegahan penyebaran covid-19 sejatinya sebuah upaya kita menyepi, bersabar, dan berpikir. Tanpa kita sadari, ini adalah sebuah fase transisi, titik hening, sekaligus jalan transendental, yang krusial yang harus dilalui sebagai bangsa. *Bekerja di rumah, menahan diri, berjarak dari keramaian, ternyata dapat mengantarkan negara-bangsa ini pada fase penyembuhan, sekaligus perenungan dan pendalaman spiritualitas. Dari titik hening ini juga akan memunculkan kekuatan. Sebuah titik maju yang dibutuhkan untuk bangkit membangun pascacovid-19.
Kekuatan generasi muda dengan semangat dan mobilitas mereka yang besar jelas berguna dan dibutuhkan. Negara harus mampu mengoptimalkan kehadiran anak-anak muda agar menjadi pemutus mata rantai wabah virus mematikan ini, berdisiplin dan menjauh dari kerumunan. Sembari mereka diarahkan membangun kapasitas dan aktivitas yang sehat, produktif. Baik secara individu maupun komunitas inklusif menggunakan inovasi kekuatan digital.
Hal ini diyakini tidak hanya mampu menghindari jatuhnya korban lebih banyak akibat pandemik yang mungkin termediasi berbagai aktivitas anak-anak muda, tetapi juga mampu menghidupkan peluang- peluang ekonomi baru berbasis daring dan komunitas, sekaligus mendorong kebangkitan ekonomi kita pascacovid-19.
Inilah esensi optimistis dari kehadiran korona di tengah kita saat ini. Regenerasi kepemimpinan adalah suatu keniscayaan. Generasi tua (old politics) dengan segala drama dan problemnya akan segera berakhir, dan generasi kepemimpinan muda (new politics) serta semangatnya yang baru akan muncul. Tentunya itu dilandasi dengan spiritualitas nusantara era milenial, yang lebih harmoni, produktif, peduli, dan kolaboratif. Bersiaplah Indonesia!(*)
(Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/301839-esensi-korona-dan-spiritualitas-milenial)