Oleh: Ansel Deri
Staf Anggota DPR RI
PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) mengirim pesan kebangsaan dari Pasar Sukawati, Bali. “Yang penting kita harus bekerja sama, bersama-sama membangun negara ini. Saya siap selalu melakukan rekonsiliasi kapan dan di mana saja,” (Media Indonesia, 15/6). Singkatnya, rekonsiliasi dilakukan guna mencairkan kebekuan politik pascapilpres. Kemajuan bangsa nomor wahid. Perbedaan posisi politik nomor dua.
“Saya dan Sandiaga memohon agar pendukung kami tidak berbondong-bondong hadir di MK pada hari-hari mendatang. Kami sama sekali tidak ingin ada kerusuhan apa pun di negara ini. Bukan seperti itu penyelesaian masalah bangsa yang kita cintai,” demikian pesan Prabowo Subianto kepada para pendukungnya melalui tayangan video, Selasa (11/6) malam. Jelaslah bahwa pesan kedua tokoh ini berada segaris. Lalu bagaimana?
Indonesia Nomor Satu
Benturan dalam demokrasi elektoral itu biasa sebab pembelahan politik dari level elite hingga ke akar rumput normal. Ketegangan antarkubu menjadi ekses yang tak bisa dihindari. Semuanya normal. Antarkubu menaruh curiga, termasuk curiga keraguan atas penyelenggara pemilu sesungguhnya sesuatu yang wajar. Namun, semuanya butuh bukti. Solusi konstitusional ialah keharusan.
Itulah inti pesan kedua tokoh di atas. Redaksi ujaran berbeda. Namun, intinya sama dan serupa bahwa kepentingan Indonesia melampaui kepentingan sempit kepartaian dan kelompok. Kedua pesan itu tengah dibutuhkan guna mengembalikan Indonesia ke posisinya yang normal, yakni satu Indonesia, satu bangsa, satu Tanah Air, satu bahasa, dan satu kepentingan. Karenanya, ada pesan ganda terimplisit di sana.
Pertama, keduanya merupakan pemimpin yang cakap di bidangnya masing-masing. Keduanya pastilah memahami betul esensi dan makna politik sesungguhnya. Politik bukan sekadar soal perebut dan preservasi kekuasaan. Politik itu urusan kepentingan publik. Di atas itu ada urusan kolektif kolegial sebagai sebuah bangsa, yakni preservasi eksistensi negara.
Masa depan negara ini tak hanya di tangan keduanya, tetapi juga di tangan semua partai, politikus, tokoh-tokoh dan seluruh pemeluk agama-agama, serta seterusnya. Frumen Gions dalam Gereja itu Politis (2012) melukiskan, keterlibatan kita (rakyat) dalam wilayah politik publik ialah sebuah konsekuensi logis dari kenyataan dasariah bahwa kita tak hidup sendirian di bumi ini, dan bahwa kita dipanggil secara hakiki untuk mengupayakan kesejahteraan bersama.
Kesejahteraan bersama itu sebagai keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan untuk secara lebih penuh dan lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Intinya, politik dan demokrasi itu bukan urusan parsialitas karena perbedaan politik. Paling hakiki ialah urusan partisipasi; keterlibatan semua membangun bangsa dan negara.
Kedua, kesiapan Jokowi guna berekonsiliasi dengan Prabowo ialah ungkapan dan wujud etika kepemimpinan. Demikian halnya permohonan Prabowo kepada pendukungnya untuk setia, taat, dan tunduk pada jalan keluar konstitusional. Etika kepemimpinan itu paling sederhana berwujud kebesaran hati. Pemenang tidak menjadi pongah. Yang kalah tidak berkecil hati sebab politik bukan soal menang-kalah. Lalu apa?
Komunikasi Kebangsaan
Politik itu urusan tanggung jawab. Pemenang dan yang kalah sama-sama bertanggung jawab, termasuk tanggung jawab menciptakan suasana dan situasi kondusif. Wujudnya dalam rupa komunikasi politik yang konstruktif. Itu ukuran dasarnya, bukan yang lain. Jokowi dan Prabowo kini sama-sama memainkan peran komunikasi yang konstruktif itu.
Komunikasi yang efektif tersebut, oleh Richard L Hughes (1996), ditandai kemampuan mengirim dan menerima pesan secara baik. Tak sekadar diterima, tetapi juga dipahami. Tentu saja dalam pemahaman itu berdiam tanggung jawab yang harus diambil. Singkatnya, dalam ruang komunikasi politik ada pesan tanggung jawab yang tentunya tanggung jawab politik itu sendiri, yakni kepentingan bangsa dan negara.
Oleh karena komunikasi politik ialah tanggung jawab, ia nadi politik. Thomas Pureklolon dalam bukunya, Komunikasi Politik (2016), komunikasi politik ialah urat nadi. Ia (komunikasi politik) berposisi strategis. Strategis karena aneka struktur politik, seperti parlemen, kepresidenan, partai politik, LSM, kelompok kepentingan, dan warga biasa memperoleh informasi publik.
Wujud paling hakiki dari komunikasi ialah silatuhrahim, saling sapa antarpemimpin dan elite. Jauh lebih baik bila saling jumpa. Publik menunggu itu. Jika keduanya terjadi, publik bisa diyakinkan akan satu hal bahwa sanubari para pemimpin dan elite politik ini sungguh-sungguh memikirkan kepentingan bangsa. Dalam kedua cara itu terdapat unsur enlightening (pencerahan) dan educating (pengajaran) politik.
Silaturahim kenegaraan, kebangsaan, termasuk kemanusiaan demi kemaslahatan Indonesia secara keseluruhan. Ini tentu sesuatu yang menggembirakan. Leadership by example tengah dibutuhkan. Kita sedang berada dalam krisis berat akan hal itu. Demokrasi dan politik tanpa hal itu sama dengan sebuah pacuan kuda liar, bukan pacuan kuda yang terlatih secara baik. Politik selalu seperti sebuah pacuan. Cara agar tidak liar, ia harus dilatih untuk terus tertib, menyenangkan, atraktif, dan membahagiakan.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/243016-jokowi-prabowo-bersua