Oleh: Renals Y. Talaba, S.IP.,M.IP
Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora
Universitas Halmahera
SEBAGAI gerakan demokrasi, perjuangan perempuan untuk meningkatkan jumlah perempuan di parlemen harus dilakukan dengan cara-cara demokratis, yakni melalui pemilu yang jujur dan adil. Di sinilah perlunya gerakan peningkatan keterwakilan perempuan memilih sistem pemilu yang memberikan kesempatan lebih terbuka bagi para calon perempuan untuk memasuki parlemen. Dalam pemilihan sistem pemilu, konstitusi sesungguhnya sudah berpihak kepada perempuan. Hal ini terlihat dari penggunaan sistem proporsional untuk memilih anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Berdasarkan logika matematika dari Richard Matland bahwa sistem pemilu proporsional dan pengoperasian variabel teknis pemilu tidak langsung seperti pembatasan partai politik dan pembatasan parpol masuk parlemen (parliamentary threshold). Pembatasan partai politik paling banyak meningkatkan jumlah perempuan di parlemen.
Pengaruh pembatasan parpol peserta pemilu bagi keterpilihan calon-calon perempuan dapat dipahami sebagai berikut: jika jumlah parpol peserta pemilu sedikit, peluang keterpilihan perempuan besar, karena perolehan kursi terkonsentrasi hanya pada beberapa parpol. Dalam hal ini berlaku kecenderungan, semakin banyak kursi yang didapatkan parpol, semakin besar pula calon perempuan terpilih. Sebaliknya, bila perolehan kursi tersebar ke banyak parpol, peluang perempuan lebih kecil karena parpol yang hanya mendapat sedikit kursi (katakanlah satu atau dua kursi) cenderung tidak menyertakan calon perempuan di dalamnya. Persoalannya di Indonesia, sistem kepartaian masih menggunakan tiopologi sistem kepartaian pluralisme ekstrim, hal ini tidak dapat menjamin derajat keterpilihan perempuan di DPR dan DPRD.
Sedangkan pengaruh variable teknis langsung terhadap keterpilihan calon-calon perempuan, yakni: pertama, pembentukan daerah pemilihan (dapil). Dalam sistem proporsional, jumlah kursi selalu banyak (multi-member constituency). Berdasarkan jumlah kursi di setiap dapil, terapat tiga tipe dapil yaitu: pertama, kursi kecil (2-5 kursi); kedua, menengah (6-10 kursi); ketiga, kursi besar (lebih dari 11 kkursi). Menurut Matland, jumlah kursi besar memang menguntungkan perempuan karena kian banyak perempuan yang bisa dicalonkan. Namun apabila dilihat dari calon terpilih, jumlah kursi besar merugikan perempuan karena perolehan kursi tersebar, padahal calon utama setiap parpol biasanya laki-laki.
Kedua, metode pencalonan. Metode pencalonan dalam sistem proporsional dibedakan atas daftar tertutup (closed-list PR) dan daftar terbuka (open-list PR), serta MMP dan STV. Matland menyimpulkan, metode pencalonan tertutup justru menguntungkan perempuan, lebih-lebih daftar calon disusun secara selang-seling atau zigzag: calon laki-laki-calon perempuan atau calon perempuan-calon laki-laki. Karena dengan daftar tertutup pemilih hanya memilih parpol dan calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut; jika parpol meraih sedikitnya dua kursi, bisa dipastikan terdapat perempuan di dalamnya. Persoalannya di Indonesia, pencalonan dalam sistem proporsional menggunakan daftar terbuka (open-list PR), hal ini dapat merugikan perempuan karena belum tentu terpilih.
Ketiga, metode pemberian suara, yang terkait langsung dengan metode pencalonan. Jika metode pencalonan menggunakan closed-list PR, pemilih cukup memilih parpol saat memberikan suaranya. Sebaliknya, pada daftar terbuka, pemilih bisa memilih parpol dan calon atau calon saja. Bagaimanapun metodenya, berdasarkan pengalaman di banyak negara, metode memberikan suara kepada parpol adalah yang paling menguntungkan perempuan. Persoalannya di Indonesia, metode pencalonan menggunakan open-lis PR dan metode pemberian suara, memilih parpol dan calon. Metode ini dianggap merugikan perempuan karena memberikan peluang terpilih sangat kecil.
Keempat, formula perolehan kursi. Para ahli pemilu membedakan dua jenis perolehan kursi, yaitu: pertama, metode kuota, diantaranya yang banyak dipakai adalah varian Hamilton/Hare/Niemeyer; dan kedua, metode divisor dengan varian metode d’Hont dan metode Webster/Sainte Lague. Dengan melihat beberapa banyak parpol yang memperoleh kursi di setiap dapil, metode Sainte Lague yang saat ini digunakan di Indonesia, menguntungkan calon perempuan tetapi tidak menjamin dapat terpilih.
Kelima, formula calon terpilih. Penetapan calon terpilih sangat menguntungkan calon perempuan apabila dilakukan berdasarkan nomor urut sebagaimana metode pencalonan closed-list PR. Persoalannya di Indonesia, kebijakan afirmasi, meningkatkan perempuan, hanya terpusat pada formula pemilihan, sementara variable teknis lainnya diannggap merugikan.
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan afirmasi, tiga puluh persen kuota perempuan dalam sistem pemilu demokratis di Indonesia, sejak kebijakan ini dikeluarkan dan diterapkan hinggga menghadapi pemilu serentak tahun 2019 dan tahun 2024, (kebijakan khusus tersebut) tidak dapat mejamin derajat keterpilihan perempuan di DPR dan DPRD.
Persoalan yang berkaitan dengan affirmasi action yang dianggap belum berpihak terhadap derajat keterpilihan calon perempuan di parlemen Indonesia, yakni: pertama, sistem kepartaiannya masih menggunakan tiopologi sistem kepartaian pluralisme ekstrim, seperti yang diungkapkan oleh Giovani Sartori, hal ini sudah tentu tidak dapat menjamin derajat keterpilihan perempuan di DPR dan DPRD. Kedua, pencalonan dalam sistem proporsional menggunakan daftar terbuka (open-list PR), hal ini dapat merugikan perempuan karena belum tentu terpilih.
Ketiga, metode pencalonan menggunakan open-list PR dan metode pemberian suara, memilih parpol dan calon. Metode ini dianggap merugikan perempuan karena memberikan peluang terpilih sangat kecil. Keempat, dengan melihat beberapa banyak parpol yang memperoleh kursi di setiap dapil, metode Sainte Lague menguntungkan calon perempuan tetapi tidak menjamin dapat terpilih.
Kelima, kebijakan afirmasi, meningkatkan perempuan, hanya terpusat pada formula pemilihan, sementara variabel teknis lainnya dianggap merugikan.
Agar perempuan dapat mewakili perempuan di parlemen, sebagai corong politik untuk memperjuangkan hak-hak perempun, dimana laki-laki tidak mungkin memperjuangkan kepentingan perempuan. Argumentasinya hanya perempuan yang dapat mengetahui kebutuhannya sendiri.
Oleh karena itu, variable teknis pemilu lain dapat digunakan, selain kuota nomor urut, yaitu penerapan pembatasan parpol masuk parlemen (parliamentary threshold) yang lebih ketat, dengan tidak mengijinkan partai politik peserta pemilu yang tidak mencapai ambang batas (parliamentary threshold) untuk ikut kembali sebagai peserta pemilu dan/atau tidak diijinkan kembali diadakan pembentukan partai politik baru peserta pemilihan umum. Dapat disarankan pula menggunakan variabel teknik pemilu “kuota kursi” (reserved seat).
Dalam variabel teknik pemilu “kuota kursi” perempuan diharapkan memilih perempuan, lewat organisasi yang dibentuk oleh perempuan sendiri, di luar dari organisasi partai politik. Teknik pemilu “kuota kursi”, sangat menjamin kuota 30% perempuan terpilih sebagai wakil perempuan, karena yang memilih adalah perempuan sendiri.(*)