Opini

Kenapa Mau Jadi KPPS?

×

Kenapa Mau Jadi KPPS?

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi (Foto : Net)

Oleh: Dr. Muhammad Iqbal
Dosen FISIP Universitas Jember

 

PEMILU hakikatnya adalah pesta demokrasi. Namun Pemilu 2019 suka atau tidak, boleh disebut sebagai Pemilu Pilu. Ada 400 lebih anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) meninggal dunia. Juga masih ada sekitar 2.000 lebih yang sakit. Belum lagi anggota Panwaslu dan aparat keamanan. Kita semua sangat prihatin. Juga kita berdoa agar semuanya diberikan yang terbaik sesuai amal-ibadahnya.

Tapi, tulisan ini mau menganalisis apa adanya. Buka-bukaan khas Jawa Timur!

Satu: kenapa mau jadi KPPS?

Anda tidak disuruh kerja paksa! Anda tidak diwajibkan jadi KPPS! Anda MELAMAR UNTUK MENJADI KPPS. Anda datang dengan suka rela untuk melamar jadi KPPS. Artinya, kalau Anda tidak mau, tidak akan ada kelelahan apalagi kematian yang menghampiri Anda.

Saya tidak bermaksud merendahkan pilihan Anda. Tapi mengajak berpikir lebih jernih. Bukankah ada hukum permintaan dan penawaran. Jika Anda merasa detail dan lingkungan kerjanya membahayakan kesehatan Anda, jangan mau melamar jadi KPPS! Kalau Anda ‘curhat’ di media sosial bahwa gajinya tidak seberapa, ya jangan mau melamar jadi KPPS! Itu rumus sederhananya.

Kalau banyak yang tidak mau melamar jadi anggota KPPS, maka sebetulnya itu sangat baik untuk KPU. Biar mereka tahu bahwa alokasi yang mereka siapkan sangat kecil. Biar mereka belajar bahwa KPPS layak diberikan ganjaran yang lebih besar! Harus sepadan dengan ‘perjuangan’ dan pengorbanan. Harus ada pelajaran yang dipetik dari kasus ini untuk PERBAIKAN ke masa depan. Jangan sampai pengorbanan KPPS sia-sia.

Kedua: Anggota KPPS itu pahlawan atau korban dari pemilu serentak?

Bisa dua-duanya. Bagi yang mau memberi sebutan “pahlawan” juga boleh. Tapi saya lebih cenderung menyebutnya “korban”. Jelas mereka adalah KORBAN dari SISTEM MANAJEMEN PEMILU yang tampak kedodoran! Bahkan, mungkin mereka juga seperti ingin mengorbankan diri sendiri (demi demokrasi bangsa). Coba analogikan dengan orang yang akan masuk hutan. Termasuk menerjang deras arus sungai atau laut. Juga terpaksa mendaki jurang tebing dan bukit. Tentu dia harus mempersiapkan diri menghadapi bahaya alam bahkan ancaman binatang buas dan sebagainya.

Begitu mereka melamar jadi KPPS, mereka harus tahu hutan dan rimba seperti apa yang akan mereka hadapi. Mereka kan harus menandatangani Kontrak Kerja dengan KPU! Apa sudah mereka baca skop kerjanya, bahayanya, fasilitas makanannya, fasilitas istirahatnya, fasilitas kesehatannya, dan asuransinya kalau sakit atau meninggal?Mengapa setelah ratusan korban berjatuhan baru dibahas besaran santunan?

Pelajaran ke depan: KPU harus membuat jelas skop kerja dan fasilitas bahkan asuransi bagi setiap anggota KPPS.

Begitu juga para pelamar harus membaca dengan jelas apa skop kerjanya, apa risiko kerjanya, apa fasilitas kesehatannya, apa fasilitas istirahatnya, apa santunannya kalau sakit atau meninggal. Kalau tidak jelas, jangan mau melamar jadi KPPS. Anda sama sekali TIDAK DIPAKSA seperti Romusha (kerja paksa) zaman Jepang dulu.

Ketiga: Siapa anggota KPPS yang ada dalam simulasi di 300 lebih TPS?

KPU mengaku telah membuat simulasi di lebih dari 300 TPS seluruh Indonesia. Tentu saja biayanya besar dan itu dari uang negara. Nah siapa saja anggota KPPS yang dipakai dalam simulasi di lebih dari 300 TPPS itu? Apakah mereka ROBOT semua, sehingga di 300 lebih TPS tersebut sepertinya tidak ditemukan satupun gejala kelelahan atau kesakitan? Sementara serentak nasional pemberitaan media massa menyebutkan penyebab meninggalnya mereka karena KELELAHAN.

Saya sangat awam dengan dunia medis. Namun nalar sehat terus saja bertanya-tanya apa iya kelelahan menjadi penyebab utama kematian? Biarlah wilayah ini menjadi sumbangsih para ahli dan tenaga medis untuk menjawabnya. Pastinya, masyarakat yang turut berduka juga menanti jawaban pasti penuh akurasi, bukan sekadar opini apalagi asumsi.

Keempat: Atau tekanan psikis yang berujung kematian anggota KPPS?

Atau mungkin ada tekanan psikis yang berujung kematian pada anggota KPPS. Misalnya ada berkecamuk perasaan tertentu dengan pesan tertentu, baik yang harus maupun tak boleh dilaksanakan. Atau terbebani rasa cemas pada massa dan saksi yang hadir sebagai pemilih? Karena FAKTANYA pada tahun 2014, RAKYAT SUDAH PUNYA PENGALAMAN melaksanakan Pemilu 4 Kotak atau Pemilu 4 Surat Suara pada Pemilu Legislatif 2014. Ini kan hanya ditambah satu kotak atau satu surat suara Pemilu Presiden, yang jauh lebih mudah, dan tidak serumit Pemilu Legislatif.

Tentu kita tidak boleh menuduh, tapi keseluruhan fakta ini harus diperiksa, harus diaudit! Ini harus menjadi bahan pelajaran penting ke depan bagi kita semua dan KPU untuk mencari FAKTOR TEKANAN PSIKIS macam apa yang membuat begitu berbeda Pemilu 2014 (4 Kotak) dan Pemilu 2019 (5 Kotak)?

Sekali lagi, amat naif untuk menyalahkan sistem pemilu serentak atau bahkan mengambinghitamkan mereka yang mengusulkan pemilu serentak sebagai penyebab kematian para petugas KPPS. Para anggota KPPS ini pada hakikatnya bebas untuk tidak melamar jadi anggota KPPS, supaya KPU bisa belajar memberi ganjaran besar yang lengkap dengan skop kerja yang jelas.

Jika sudah ada hal tersebut, maka risiko harusnya ditanggung oleh para pelamar kerja ini. Atau setidaknya mereka sudah memahami beban risiko kerjanya.

Menarik untuk mencatat jika ada 300 lebih korban meninggal dan 1.000 lebih yang sakit, artinya ada sekitar 5.671.003 orang KPPS di 810.329 TPS yang selamat dan tetap sehat.  Kita bisa bertanya kepada mereka, kenapa mereka bisa tetap sehat? Apakah mereka mempersiapkan fisik dengan baik, dan banyak berzikir, serta tidak takut terhadap tekanan? Ini harus dilakukan agar kita tahu semua misteri di balik para anggota KPPS yang melamar untuk pekerjaan ini, dan kemudian meninggal, tanpa mengetahui risiko pekerjaan serta santunan kalau sakit dan meninggal.

Cukupkah sebutan “pahlawan” atau “syuhada” untuk mereka, tanpa disertai perbaikan apapun ke depan. Ini semua harus diaudit demi asas transparansi dan akuntabilitas manajemen penyelenggaraan pemilu dan pemenuhan prinsip kedaulatan rakyat. Rakyat berhak atas keterbukaan informasi publik Pemilu 2019, khususnya kepiluan yang menimpa ratusan nyawa.

Sampaikan fakta apa adanya! Kalau boleh meminjam lagu lama, katakanlah sejujurnya jangan ada dusta di antara kita. Ada yang bilang dunia ini tidak kekurangan orang pintar, namun kekurangan orang yang jujur.

Karena pada hakikatnya dusta itu ada tiga. Pertama, murni dusta karena bertentangan dengan fakta. Kemudian, “mengobok-obok” antara dusta dan fakta kebenaran. Terakhir, sengaja MENYEMBUNYIKAN dan MENUTUP-NUTUPI fakta kebenaran padahal sejatinya mengetahui.

Sesungguhnya ada ayat Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 42 yang mengatakan: “Dan janganlah kamu campur-adukkan yang haq (kebenaran) dengan yang bathil (dusta) dan janganlah kamu sembunyikan yang haq (kebenaran) itu sedang kamu mengetahui”.

Sekali lagi kita sangat berduka yang teramat mendalam atas wafatnya para syuhada pemilu dan demokrasi Indonesia. Salah satu wujud penghormatan atas seluruh kerja, perjuangan dan pengorbanan anggota KPPS, Panwaslu dan aparat terutama yang gugur adalah kita berkewajiban menjaga serta mengawal kemuliaan dan kedewasaan dalam berdemokrasi. Tak kalah pentingnya juga adalah kewajiban untuk terus menjaga kehangatan dan keakraban antarwarga yang terbelah bisa kembali bersemi. Termasuk menjaga hasil mutlak penjumlahan 01+02=03. PERSATUAN INDONESIA.(*)

Sumber: https://rmol.co/read/2019/05/09/389209/kenapa-mau-jadi-kpps

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *