Oleh A. Malik Ibrahim
MEMBACA surat Ketua ISNU Provinsi Maluku Utara, Dr. Mukhtar Adam soal
Pembangunan Jalan Trans Kieraha, kita seperti diseret dalam belantara klobotisme.
Selain meraba-raba, publik seolah di-dikte oleh gagasan yang kabur.
Klobot atau klobotisme adalah istilah yang kerap dipakai untuk mengkritik
cara berpikir akademisi yang dianggap tak epistemik. Konteksnya cuma membuat ramai dan berisik, karena tidak didasari konsep dan metodologi yang jelas.
Dan saya tidak berkesimpulan lain, kecuali mengatakan; bahwa saudaraku
Dr. Ota terlalu terpesona dalam paradigma politik perencanaan kawasan yang penuh kata-kata simbolis.
Suatu paradigma seolah-olah Weda dan Maba akan tumbuh mengikuti jalan
trans Kieraha. Namun pada saat yang sama, koridor ini akan jadi pipa pengisap kekayaan alam untuk kemudian disedot ke pasar dunia.
Kelak di koridor ini pula, segala yang tak masuk akal menjadi mungkin. Penggusuran ruang hidup masyarakat, di laut ikan-ikan keracunan, dan orang-
orang mandi dan minum dari air sungai yang tercemar. Di balik rimbunan hutan
yang dilintasi jalan, tersimpan kisah tentang petani yang menjadi buruh di bekas tanahnya sendiri.
“Ketika alam Halmahera sekarat, terselip pertanyaan, “apakah ini yang
disebut pembangunan? Faktanya, alam sudah tidak punya nilai lagi–kecuali untuk pilihan pembangunan keserakahan”.
Pembangunan pada dasarnya adalah keberpihakan. Pembangunan yang
berpihak merupakan upaya mewujudkan keadilan sosial melalui kebijakan yang
mengutamakan kelompok rentan dan terpinggirkan.
Amartya Sen dalam Development as Freedom, pembangunan seharusnya
meningkatkan kemampuan manusia (capability) untuk menentukan hidupnya
sendiri, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi (Sen, 1999: 87). Kebijakan publik yang memihak harus memfasilitasi akses pendidikan, kesehatan, dan sumberdaya
ekonomi secara merata. Hal yang sama dikemukakan Joseph Stiglitz, dalam
bukunya The Price of Inequality, ketimpangan kebijakan acap memperdalam kesenjangan sosial bila negara abai terhadap distribusi manfaat pembangunan (Stiglitz, 2012: 55).
Karena itu, pembangunan yang adil menuntut keberpihakan aktif pada
rakyat kecil demi terciptanya kesejahteraan inklusif.
Idealnya, semua kebijakan dalam tata kelola pemerintahan yang dijalankan
harus berdasarkan prinsip teknokratik, yakni evidence based policy. Bukan sekedar opini orang dekat, yang urgensinya tidak penting dan tidak prioritas.
Sementara itu, Trans Kieraha tidak ada dalam RTRW Provinsi, maupun
RTRW Halteng dan Haltim. Tidak dirumuskan dalam RPJMD, yang didukung oleh naskah akademis, KLHS dan studi kelayakan serta Amdal Regional.
“Jadi praktik pembangunan selama ini, AMDAL sepenuhnya tidak
terintegrasi dalam proses perijinan satu rencana kegiatan pembangunan, sehingga tidak terdapat kejelasan; apakah AMDAL dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui suatu rencana pembangunan?”
Dalam hal ini, rencana pembangunan jalan trans Kieraha oleh pemerintahan
Sherly-Sarbin secara eksplisit tidak berangkat dari kajian mendalam yang bisa memproyeksi potensi kerusakan maupun ketimpangan ekonomi antar wilayah.
Kebijakan ini tidak lain hanya ambisi dan kepentingan segelintir orang. Rencana pembukaan ruas jalan trans Kieraha itu bagi saya, justru mendorong
upaya percepatan laju eksploitasi sumber daya alam di daratan Halmahera.
Ide tentang jalan Trans Kieraha merupakan ide kerusakan ekologi dan
kesengsaraan warga sekitarnya yang diproyeksikan tidak dapat dihindari. Apa yang anda maksudkan sebagai segregasi bermukim dengan istilah zona pemukiman kieraha merupakan sebuah kemunduran cara berpikir dan dalil pembodohan untuk memuluskan rencana yang tak masuk akal dari sisi akademis-teknokratik.
Karenanya, Zona Pemukiman Kieraha, Perkampungan Nusantara dan Kawasan
Harmoni Sosial merupakan halusinasi dan bukan konsep imajiner pembangunan Halmahera yang berbasis kajian mendalam.
Fakta hari ini memperlihatkan adanya daya rusak lingkungan dan dampak
negatif terhadap masyarakat yang terus direproduksi oleh tambang. Jadi intinya
Trans Kieraha hanya sarana bancakan keserakahan oligarki yang dilaksanakan
Sherly Tjoanda.
Demikian juga, klasifikasi tentang kota, harus melalui tahapan dari kota kecil,
sedang, besar dan metropolitan. Bagaimana tiba-tiba sudah melompat menjadi metropolitan? Apa dasar analisisnya? Ini mengaburkan proses dialektis – bukan hanya abstrak, tapi juga pembenaran asumsi dan logika tanpa dasar ilmiah yang kuat dan applicable. Dipredikasi akan terjadi penumpukan penduduk miskin di
sekitar kawasan pertambangan, sebagaimana rilis BPS untuk Halteng dan Haltim.
Banyak hal dapat dipelajari, sebagaimana yang kerap terjadi dalam praktik
pembangunan :
1. Proses perencanaan proyek ini diduga penuh dengan kejanggalan dan tidak
transparan, karena keputusan diambil begitu saja tanpa melalui pengkajian dan sosialisasi.
2. Pajak rakyat untuk APBD, sepertinya dirampas untuk membiayai kepentingan
jalan oligarki tambang.
3. Anggaran sebesar 98 Miliar seharusnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat di sektor kesehatan, pendidikan dan pertanian, bukan membangun sesuatu yang sekedar jadi proyek titipan elit dan oligarki.
4. Ruas jalan itu justru mendorong upaya percepatan laju peengrusakan dan eksploitasi sumberdaya alam di daratan Halmahera.
5. Tidak dikajinya keragaman flora dan fauna pada lahan yang dibuka sehingga
proyek ini akan mempunyai dampak negatif terhadap kawasan penting seperti Taman Nasional Aketajawe dan hutan lindung di wilayah itu akan mengalami degradasi berat. Bahkan masyarakat Tobelo Dalam yang mendiami wilayah Akejira dan Ake Sangaji akan terus tergusur oleh gempuran investasi yang akan
memanfaatkan ruas jalan itu untuk kepentingan mereka.
6. Perbedaan dan pertentangan kepentingan akibat perencanaan top-down; membuat Bupati Haltim dan Halteng cenderung diam tanpa inisiatif dalam mempengaruhi kebijakan politis Sherly Tjoanda.
7. Seharusnya Sherly Tjoanda keluar dari konflik kepentingan pengusaha tambang dan memberi proteksi untuk melindungi paru-paru Halmahera. Karena wilayah
ini menjadi penyangga untuk menjaga keseimbangan ekosistem Halmahera.
8. Dari ukuran teknis, lingkungan, ekonomi, sosial dan spasial, banyak kalangan cenderung mengatakan bahwa proyek tersebut tidak layak. Dampak negatif dianggap lebih banyak daripada dampak positifnya.
Akhirnya, pendekatan kewilayahan yang berbasis pada potensi lokal
setidaknya akan banyak membantu pertumbuhan baru tanpa mengabaikan warga setempat. Gagasan jalan Trans Kieraha yang dibiayai dari hasil pajak 1. 394.231 jiwa penduduk Maluku Utara selayaknya dikaji kembali. Untuk apa membuat pembangunan jalan jika masyarakat tetap miskin.(***)













