OpiniZona Kampus

Masjid Tertua di Sumatera Barat

×

Masjid Tertua di Sumatera Barat

Sebarkan artikel ini
Salah satu masjid tertua di Indonesia

Oleh: Jihan Rafifah Syafni,

(Mahasiswi Universitas Andalas Jurusan Sastra Minangkabau)

  1. Masjid Tuo Kayu Jao

Masjid Nurul Islam Koto Kayu Jao adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang terletak di Jorong Kayu Jao, Nagari Batang Barus, Kecamatan Gunung Talang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat. Masjid ini diperkirakan sebagai peninggalan abad ke-17 dan menjadi masjid tertua di Kabupaten Solok. Tidak diketahui pasti tahun berapa sebetulnya masjid ini berdiri. Masjid ini diperkirakan berasal dari abad ke-17.

Perkiraan tersebut merujuk pada abad dimulainya perkembangan agama Islam di Solok. Nagari tempat masjid ini berada maupun sekitarnya juga telah dibentuk sebelumnya lengkap dengan tiga unsur kepemimpinan yang dikenal oleh masyarakat Minangkabau, yaitu alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak. Menurut pemuka masyarakat setempat, terdapat dua orang yang berperan dalam pembangunan masjid ini, yakni Angku Musaur dan Angku Labai, yang keduanya dimakamkan tidak jauh dari lingkungan masjid. Arsitektur yang dimiliki masjid ini secara keseluruhan dipengaruhi oleh corak Minangkabau.

Masjid ini memiliki tatanan atap sebanyak tiga tingkat yang terbuat dari ijuk dengan ketebalan sekitar 15 cm dan permukaan dibuat tidak datar melainkan sedikit cekung; permukaan atap yang cekung cocok untuk daerah beriklim tropis karena dapat lebih cepat mengalirkan air hujan ke bawah. Antara tingkatan atap yang satu dengan yang lain terdapat celah yang dibuat untuk pencahayaan dengan tingkatan teratas merupakan atap berbentuk limas. Bagian mihrab memiliki atap dengan bentuk berbeda, yaitu berbentuk gonjong layaknya Rumah Gadang.

Di sisi lain, corak Islam terlihat pada masing-masing puncak atap yang dilengkapi mustaka. Atap masjid ini disangga oleh 27 tiang, simbolisasi dari enam suku di sekitar masjid ini yang masing-masing terdiri dari empat unsur pemerintahan ditambah dengan tiga unsur dari agama yakni khatib, imam, dan bilal. Simbolisasi lain juga terdapat dalam jumlah jendela yang sebanyak 13, yang mengisyaratkan jumlah rukun salat. Masjid Tuo Kayu Jao juga merupakan salah satu cagar budaya di Sumatra Barat yang diawasi oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Masjid ini telah beberapa kali mengalami pemugaran, seperti pemugaran salah satu tiang dan penggantian atap ijuk yang lama dengan yang baru karena telah lapuk. Meskipun telah beberapa kali dipugar, keaslian masjid ini masih tetap dipertahankan.  Saat ini selain digunakan untuk aktivitas ibadah umat Islam, masjid satu lantai ini juga digunakan sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat, bahkan telah menjadi salah satu daya tarik wisata terkenal di Sumatra Barat terutama di Kabupaten Solok.

  1. Masjid Raya Syekh Burhanuddin (Masjid Ulakan)

Kehadiran masjid jami ini sangat erat kaitannya dengan sejarah berkembangnya Islam di Sumatra Barat, khususnya di daerah Maninjau. Dan, itu tidak dapat dilepaskan dari peran seorang tokoh penyebar Islam yang paling terkemuka di Ranah Minang yang bernama Syekh Burhanuddin. Ia bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang syekh, suatu gelar kehormatan yang hanya diberikan kepada seorang ulama yang menjadi mursyid (pemimpin, pembimbing) dari suatu aliran tarekat (thariqah).

Memang, Syekh Burhanuddin adalah seorang Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah, tarekat yang menjadi pegangan ulama-ulama Sumatra, khususnya di Sumatra Barat. Masjid ini didirikan pada tahun 1670 M, dipimpin langsung oleh Syekh Burhanuddin dengan dukungan para ninik mamak pada waktu itu, yaitu Rangkayo Rajo di Hulu, Rangkayo Rajo Sulaiman, Rangkayo Rajo Mangkuto, dan Rangkayo Rajo Massaid. Adapun tanah tempat berdirinya masjid ini adalah wakaf dari seorang bangsawan yang bernama Tuangku Kampung Ibrahim. Pada awalnya, masjid ini tanpa nama.

Masyarakat menyebutnya Masjid Jami karena masjid ini menjadi pusat penyebaran Islam di Sumatra Barat. Di Masjid Jami inilah Syekh Burhanuddin mengajar dan sekaligus menggembleng santri-santrinya menjadi juru dakwah (dai) yang tangguh untuk menyebarkan Islam di seluruh pelosok Ranah Minang, bahkan sampai ke Tapanuli Selatan. Setelah ia wafat maka Untuk menghormati jasa-jasanya, masyarakat pada waktu itu memberikan nama masjid tersebut dengan nama Masjid Jami Syekh Burhanuddin.

Warna tasawuf, terutama yang bersumber dari tarekat Naqsyabandiyah, amat berpengaruh terhadap sistem nilai dan tradisi masyrakat pada waktu itu sehingga upacara-upacara tradisi keagamaan seperti terbunuhnya Imam Husein, cucu Rasulullah saw. (10 Muharram), suk tradisi pada bulan Shafar, kerap diadakan di masjid ini. Sejalan dengan perkembangan zaman, saat ini upacara-upacara tradisi tersebut sudah tidak lagi diadakan. Apalagi setelah kaum muda, suatu istilah yang diberikan kepada kelompok pembaharu keagamaan di Sumatra Barat, berhasil memberi wama dalam gerakan dakwah Islam Minangkabau. Meskipun begitu, sisa-sisa pengaruh tasawuf belum hilang sama sekali.

Terbukti dengan masih adanya segelintir orang yang datang untuk berziarah ke makam Syekh Burhanuddin. Memang untuk para rengikut tarekat di Sumatra Barat, Syekh Burhanuddin dianggap seorang waliyullah yang memiliki keramat (karomah). Sedangkan, Masjid Jami peninggalannya itu, sejak dibangunnya sampai hari ini telah mengalami 4 kali perbaikan. Dan, seperti dapat vang Anda saksikan hari ini, arsitektur masjid ini adalah perpaduan antara Timur Tengah dan Minangkabau. Memiliki 2 Kubah yang menjulang ke angkasa, merupakan symbol kejayaan Islam. Sedangkan dindig da atapnya yang berwarna kebiruan, adalah simbol keakraban masjid dengan lingkungan.

  1. Masjid Jami’ Taluak

Masjid Jamik Taluak adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang terletak di Nagari Taluak IV Suku, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Letak masjid ini dekat dengan perbatasan Kota Bukittinggi, sehingga juga dikenal sebagai Masjid Jamik Taluak Bukittinggi. Pembangunan masjid ini diprakarsai oleh Haji Abdul Majid pada tahun 1860, yang pada mulanya hanya terbuat dari kayu beratapkan ijuk. Masjid ini sempat mengalami beberapa kerusakan cukup berarti akibat gempa, seperti pada tahun 2007 yang mengakibatkan masjid ini rusak parah.

Meski telah beberapa kali dilakukan perbaikan, keaslian masjid ini masih tetap dipertahankan. Arsitektur yang dimiliki masjid ini secara keseluruhan dipengaruhi oleh corak Minangkabau. Pengaruh Arab datang kemudian dengan dibangunnya minaret lalu disusul pembuatan fasad. Dengan arsitektur yang dimilikinya, masjid ini juga menjadi salah satu masjid yang paling banyak difoto selama masa Pemerintahan Hindia Belanda, yang kini dikoleksi oleh Tropenmuseum di Amsterdam, Belanda.

  1. Masjid Raya Limo Kaum

Masjid Raya Limo Kaum adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang terletak di Nagari Lima Kaum, Kecamatan Lima Kaum, Kabupaten Tanah Datar, Sumatra Barat. Masjid ini diperkirakan berdiri pada tahun 1710.  Lokasinya berada di pusat Nagari Lima Kaum, yakni di Balai Sariak, Jorong Tigo Tumpuak, sekitar 20 meter dari jalan arah Batusangkar menuju Padang. Tidak diketahui pasti tahun berapa sebetulnya masjid ini didirikan. Meskipun demikian, cikal bakal keberadaan masjid ini berawal dari sebuah masjid di Nagari Lima Kaum yang didirikan pada pertengahan abad ke-17, menyusul masuknya Islam ke Dataran Tinggi Minangkabau.

Masjid itu terletak di Jorong Balai Batu dan masih berupa bangunan sederhana beralaskan batu tanpa dinding dan atap, atau dalam bahasa Minangkabau dijuluki dengan baaleh batu, badindiang angin, baatok langik. Pada waktu yang tidak diketahui, dibangun masjid pengganti di lokasi lain, yaitu di Jorong Tigo Tumpuak, yang keberadaannya tidak bertahan lama karena kapasitasnya tak memadai. Pada tahun 1710, di atas lokasi sebuah pagoda yang telah lama ditinggalkan penganutnya karena masuk Islam, dibangunlah masjid yang kini dikenal sebagai Masjid Raya Lima Kaum.

  1. Masjid Bawan Tuo

Masjid Bawan Tuo merupakan salah satu masjid tertua di Indonesia yang terletak di Nagari Bawan, Kecamatan Ampek Nagari, Kabupaten Agam, Sumatra Barat. Masjid yang pertama kali berdiri pada tahun 1800 ini merupakan peninggalan Rajo Kaciak, seorang Raja yang berkuasa di Lembah Bawan, di wilayah Kerajaan Lambah Bawan, wilayah terakhir di Minangkabau yang dikuasai Kompeni. Menurut Abdul Baqir Zein dalam bukunya yang berjudul Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia, pembangunan masjid ini diprakarsai oleh Rajo Kacik pada tahun 1800. Pada awalnya lokasi masjid ini berada di kawasan tanah berlumpur, kemudian karena kian lama dikhawatirkan akan terbenam, pada tahun 1942 masjid ini dibangun kembali tidak jauh dari lokasi tersebut, yaitu di lokasi masjid ini berdiri sekarang.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *