Opini

Melawan Banalitas Hoaks Politik

×

Melawan Banalitas Hoaks Politik

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi (Foto : Net)

Oleh: Lasarus Jehamat
Dosen Sosiologi FISIP Undana Kupang

 

BANYAK elemen bangsa mengajak semua pihak untuk segera membangun narasi positif pascapemilu. Beberapa minggu terakhir, hoaks berbasis politik muncul dengan sangat banal di tengah situasi panas politik nasional.

Pascapemilihan, beberapa pihak melakukan klaim kemenangan dan kerap mendeklarasikan kemenangan itu dalam perayaan bersama. Di kasus yang lain, kematian Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) pun menjadi modus lain hoaks politik.

Semua manusia di Republik ini tentu masih ingat deklarasi kemenangan yang dilakukan pasangan capres 02. Dalam proses itu, capres 02 Prabowo bahkan menyebut kemenangannya mencapai 62%.

Semua terperangah. Banyak pihak bertanya. Dari mana mereka bisa mendapatkan angka kemenangan sebesar itu? Itu karena di hari pencoblosan 17 April, hampir semua lembaga survei di Tanah Air menge­luarkan kesimpulan yang nyaris sama, bahwa capres-cawapres 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, menjadi pemenang pemilu.

Tercatat tiga kali pasangan Prabowo mendeklarasikan kemenangan saat dan setelah hari pencoblosan. Luar biasa. Masalahnya, di tengah riuhnya klaim kemenangan tersebut, pasangan capres 02 menuduh lembaga survei dibiayai kelompok tertentu.

Beberapa lembaga survei yang bernaung di bawah perhimpunan survei Indonesia meradang. Membuka semua metode, sampel, dan sumber biaya terpaksa dilakukan. Lembaga survei pun meminta pasangan capres 02 membuka informasi survei yang disebut memenangkan Prabowo. Nyatanya, pihak Badan Pemenangan Nasional (BPN) menutup rapat-rapat sumber data tersebut. Yang terjadi ialah debat panas dalam kamar pribadi koalisi BPN.

Di sisi yang lain, kerumitan pemi­lu menjadi alasan petugas pemilu bekerja ekstra keras. Banyak petugas pemilihan yang kelelahan dan akhirnya meninggal dunia. Terkait dengan hal itu, perlu dilakukan riset ilmiah untuk mengetahui penyebab kematian petugas pemilihan.

Realitas kebohongan memang tidak hanya menjadi monopoli pasangan capres 02. Bisa saja kebohong­an yang sama dilakukan pasangan capres 01. Perkara dasar kemudian ialah mengapa pihak TKN berani membuka ruang transparansi dengan membuka data survei secara amat terang benderang, sedangkan pasangan 02 tidak? Lalu, bagaimana bisa beberapa pihak mempolitisasi kematian petugas pemilih hanya untuk tujuan kekuasaan?

Posisi Negara Bangsa

Posisi negara-bangsa perlu dikaji dan laik didiskusikan ketika menyebut hoaks, berita bohong, dan ujaran kebencian. Didiskusikan karena beberapa hal negatif itu tidak saja hadir di tengah perjalanan bangsa, tetapi juga jika tidak dikontrol, dapat menyebabkan negara-bangsa mati (Everard, 2000).

Menurut Everard, dunia maya harus disebut ketika mendiskusikan beragam bentuk hoaks, berita bohong, dan ujaran kebencian itu. Itu karena yang terjadi selama ini, wujud perilaku negatif masyarakat tersebut masif disiarkan media masa dalam banyak jaringan.

Dengan kata lain, realitas kebohongan dan ujaran apa pun di dunia sosial, menjadi fatal ketika direproduksi dalam dunia ‘dalam jaringan’ (online). Ketika hoaks, berita bohong, dan ujaran kebencian berpengaruh besar pada masyarakat, kebenaran di titik yang lain semakin tersingkir.

Dalam kerangka itu, benar yang disampakan Brenner (2009). Dalam Cyberthreats: The Emerging Fault Lines of the Nation State, Brenner menyebutkan bahwa dunia maya sebagai zombi pe­nye­bar tidak hanya ketakutan, tetapi juga kebohongan, ketidakjelasan, dan anomali.

Realitas itu berdampak pada munculnya ancaman keterpecahan negara bangsa. Masyarakat tidak hanya hidup dalam ketidakteraturan, tetapi juga tumbuhnya gejala fragilitas (keterpecahan). Dengan demikian, sumbangan utama ketidaksehatan dunia maya berdampak langsung pada kehidupan sosial kemasyarakatan.

Hoaks politik, berita bohong, dan ujaran kebencian memang tidak muncul di ruang hampa. Ketiganya datang dalam langgam kondisi tertentu. Di sana, liberalisasi politik dan ekonomi dituduh sebagai agen utama munculnya perilaku buruk masyarakat.

Menurut Wissenburg (2009), liberalisasi politik menyebabkan masyarakat masuk dalam kubangan fragmentatif. Persaingan politik yang tidak sehat membuat banyak orang menggunakan beragam cara untuk mendapatkan kekuasaan.

Dengan begitu, kedaulatan sebuah negara-bangsa menjadi sungguh dipertaruhkan sebab setiap elemen pasti bekerja dan berjuang dengan menggerakkan semua potensi yang ada. Semua pihak akan menggunakan semua peluang, baik dan buruk, untuk mendapatkan kekuasaan.

Bangsa Beradab

Indonesia merupakan bangsa beradab. Beradab karena Indonesia telah melewati fase praliterer. Indonesia sudah masuk ke alam sejarah, yang menempatkan tulisan sebagai indikator ke­majuan.

Masalahnya, di ruang yang disebut politik liberal, banyak pihak di negara ini masih gagap dalam bertindak benar, seperti disampaikan Wissenburg di atas. Dengan kata lain, masyarakat di ruang politik liberalis masih ke­rap menggunakan cara-cara negatif untuk tujuan kekuasaan.

Tesis seperti ini memang perlu pembuktian. Itu karena membaca Indonesia, sulit untuk tidak mengatakan bahwa masyarakat Indonesia sebenarnya sudah melek huruf. Di Indonesia, yang belum bisa beranjak dari dunia prasejarah sebenarnya elite kekuasaan dan politik.

Hal itu ditunjukkan dengan banyaknya usaha elite politik memanipulasi dan menggerakkan masyarakat bawah dengan jalan salah dan keliru untuk tujuan kekuasaan individualistisnya. Saya yakin benar bahwa penyebaran hoaks politik, berita bohong, dan ujaran kebencian tidak akan terjadi kalau elite yang melek huruf di Republik ini memberi contoh literasi positif.

Persoalannya, banyak pihak di negara ini cenderung menggunakan hoaks, berita bohong, dan ujaran kebencian untuk kepentingan kekuasaan. Karena itu, masyarakat akar rumput dibawa-bawa dan diseret masuk ke alam sosial dan alam maya untuk menyebar beragam contoh negatif.

Pilihan saat ini ialah ingin agar bangsa ini tetap ada atau menjadi bangsa pura-pura dalam segala hal. Yang jelas, setiap pilihan menuntut adanya tuntutan lain di belakangnya. Pilihan keutuhan bangsa menuntut semua pihak untuk segera meninggalkan penyebaran hoaks, berita bohong, dan ujaran kebencian.

Meminjam ajakan calon presiden nomor urut 1 Jokowi, semua pihak harus segera berhijrah dari ujaran kebencian ke ujaran kebenaran. Setiap pernyataan kebenaran merupakan hasil olahan jiwa dan pergumulan batiniah karena didukung asupan fakta-fakta empiris yang sangat objektif sifatnya.

Sebaliknya, jika ingin agar bangsa dan negara ini hancur, semua pihak membiarkan hoaks, berita bohong, dan ujaran kebencian terus berkembang di masyarakat. Implikasinya, kita semua tinggal menunggu lonceng kematian bangsa dan negara.

Adakah kita rela Indonesia hancur? Jawabannya tidak. Kita ingin Indonesia terus hidup, bahkan menjadi lebih hebat dan besar.(*)

Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/235326-melawan-banalitas-hoaks-politik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *