Oleh: Adi Prayitno
Direktur Eksekutif Parameter Politik dan Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta
PEMILU 2019 baru usai. Jejak politiknya masih membekas. Namun, persaingan menuju Pemilu 2024 sudah dimulai. Wacana menaikkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) kini kembali mencuat. Hasil rakernas PDIP bulan lalu mengusulkan ambang batas parlemen naik menjadi 5% untuk DPR, 4% untuk DPRD provinsi, serta 3% untuk DPRD kabupaten dan kota. Golkar dan NasDem mengusulkan hal serupa naik menjadi 6% hingga 7%. Sementara itu, PPP dan Partai Berkarya protes keras.
Merujuk pengalaman sebelumnya, perdebatan soal ambang batas parlemen cukup alot, bahkan buntu. Sulit ditemukan titik kompromi. Pro dan kontra tak bisa dihindari. Parpol besar dan menengah cenderung mendukung gagasan kenaikan. Alasannya sederhana, menyederhanakan parpol. Sementara itu, parpol kecil dan nonparlemen menolak karena dianggap menyumbat kesempatan mereka lolos ke parlemen.
Ambang batas parlemen adalah batas minimal persentase jumlah suara yang harus diraup parpol untuk meloloskan para wakilnya ke parlemen. Selama ini, ambang batas hanya berlaku di tingkat DPR. Belakangan muncul usulan ambang batas juga berlaku untuk DPRD provinsi, kabupaten, dan kota demi menghindari satu fraksi yang hanya diisi satu kursi anggota dewan.
Bagi parpol kecil dan nonparlemen, kenaikan ambang batas di DPR pusat dan mulai diberlakukan untuk DPRD tentu menjadi persoalan. Beban elektoral mereka cukup berat. Di level pusat, misalnya, jangankan naik 5% hingga 7%, ambang batas 4% yang berlaku saat ini saja bikin kalang kabut. Termasuk ambang batas di level dewan daerah makin membuat parpol kecil ke bawah kesulitan merebut kursi dewan legislatif.
Biasanya, parpol terbelah menyikapi opsi kenaikan ambang batas parlemen. Pertama, parpol pendukung kenaikan ambang batas. Argumen utamanya menyederhanakan parpol lolos ke parlemen. Argumen lain ialah sistem multipartai ekstrem dalam banyak hal meresahkan. Sering menciptakan instabilitas yang sukar ditebak. Friksi politik parlemen menjadi rumit. Satu sisi menjadi teman koalisi, tapi saat bersamaan bisa menjadi lawan.
Sebagai penegas, menaikkan ambang batas parlemen ialah ikhtiar memangkas jumlah parpol sehingga dinamika politik relatif mudah dikendalikan. Minimal ada garis penegas antara pemenang dan yang kalah pemilu. Potret politik saat ini cukup menjadi pelajaran penting multipartai ekstrem telah merusak sistem komptetisi elektoral. Parpol yang kalah pemilu tanpa rasa malu merapat ke pemenang. Ironis dan menyebalkan memang.
Kedua, parpol kontra yang menilai kenaikan ambang batas parlemen wujud nyata upaya memberangus parpol kecil dan nonparlemen masuk ke Senayan. Mereka berdalih demokrasi menjamin setiap kelompok bebas mendirikan parpol ikut pemilu. Parpol tak bisa ‘dibunuh’ dengan dalih menaikkan ambang batas. Biarkan parpol tumbuh mekar berkembang sebagai ekspresi kebebasan berpolitik. Bukan malah dihambat dengan regulasi yang menyulitkan.
Ledakan parpol baru yang selalu muncul setiap lima tahun memang bagian kehendak berdemokrasi. Itu sah dan dilindungi konstitusi. Ada harapan yang selalu membuncah bahwa mereka bisa meloloskan kader terbaik menjadi anggota dewan bersaing dengan parpol mapan.
Problemnya, sampai kapan parpol kecil dan pendatang baru mau menaikkan level kompetisi mengejar target ambang batas yang selalu ditinggikan setiap pemilu? Secara alamiah, desakan kenaikan ambang batas sukar dihindari.
Kelebihan dan Kekurangan
Di luar perdebatan kepentingan elektoral, kenaikan ambang batas parlemen menyimpan sejumlah kelebihan dan kekurangan bagi pembangunan demokrasi. Kelebihan paling utama dari kenaikan ambang batas memaksa semua parpol mengetatkan kaderisasi yang amburadul.
Parpol tak bisa lagi longgar dalam rekrutmen politik. Implikasinya, parpol harus kerja serius merangkul dan mengonsolidasi kader terbaik untuk dipersiapkan bertarung menghadapi setiap hajatan politik di level nasional maupun daerah. Ini menjadi kabar baik bagi perbaikan kualitas rekrutmen dan kaderisasi parpol ke depan.
Kelebihan lainnya, parpol pasti melakukan kerja politik setiap saat. Menyelami sisi terdalam suasana hati rakyat yang menjerit. Selama ini, kerja politik cenderung dilakukan lima tahun sekali. Hanya jelang pemilu. Selebihnya, rakyat dianggap sebatas komoditas politik yang bisa dibarter dengan uang maupun iming-iming logistik. Rakyat hanya didatangi saat parpol ada maunya, yakni dukungan politik jelang pemilu.
Satu-satunya kekurangan dari kenaikan ambang batas soal potensi menghilangkan keberagaman representasi anggota dewan pusat dan daerah. Parpol akan tersentralisasi pada kekuatan dominan yang memiliki sumber daya politik lebih besar. Sementara itu, parpol kecil dan nonparlemen akan teralienasi secara teratur karena kalah bersaing. Wajah parlemen dipastikan akan diisi parpol yang ‘itu-itu saja’.
Ke depan, mungkin tak ada lagi parpol gurem yang kerap bermanuver keras meski tak punya wakil di parlemen. Tak akan ada lagi parpol penggembira yang menjejali ruang publik dengan atribut yang menempel di pepohonan. Tak akan ada lagi aksesori politik parpol kecil yang kerap singgah di perkampungan kumuh. Psikologi politik mereka ambruk total karena tak punya wakil di dewan.
Memutus Dilema
Wacana kenaikan ambang batas bisa menjadi momentum memutus dilema keinginan menyederhanakan parpol. Selama ini pemerintah dan DPR kerap bersitegang. Terjebak pada pertarungan panjang tentang bagaimana menyikapi kerumitan sistem partai. Serba tak enak hati. Jika dinaikkan dituding antidemokrasi, jika dibiarkan sistem kepartaian makin ekstrem. Dinamika politik sulit dikendalikan karena banyak parpol kecil dan nonparlemen yang terus bermanuver tanpa henti.
Kenaikan ambang batas juga harus dimaknai sebagai bentuk kompromi politik yang layak diterima semua kalangan. Kompetisi mesti menyediakan instrumen sebagai parameter mengukur batas paling bawah perolehan suara parpol lolos ke parlemen. Hakitat pemilu saling mengalahkan mengeruk semaksimal mungkin semua kursi di DPR.
Oleh karena itu, usulan menaikkan ambang batas parlemen harus diposisikan sebagai tantangan kepada parpol untuk kerja keras meyakinkan rakyat. Parpol yang setiap saat bekerja maksimal menyerap setiap denyut nadi kehidupan rakyat otomatis mendapat insentif elektoral berlipat. Sebaliknya, parpol yang hanya sibuk berwacana siap tereliminasi dari persaingan yang makin cadas.
Opsi meninggikan ambang batas parlemen menjadi 5% maupun 7% sebatas angka matematika politik. Di balik itu semua, ada satu makna tersirat yang sangat fundamental bagi pembangunan demokrasi, yakni parpol harus menjelma sebagai alat kepentingan menyerap aspirasi rakyat. Parpol mesti dekat dengan konstituen yang diwakili. Jika itu yang dilakukan, parpol mana pun tak perlu risau dengan kenaikan ambang batas. Toh, kerja politik populis akan berbanding lurus dengan dukungan penuh rakyat. Hanya parpol elitis tak bekerja yang takut dengan kenaikan ambang batas parlemen.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/286362-menaikkan-ambang-batas-parlemen