Oleh: Mutlaben Kapita
Pegiat Literasi Maluku Utara, Tokoh Pemuda Kao Barat, Mantan Wakil Sekretaris Himaju Administrasi Fisip Unsrat.
TERJAL dunia politik. Saling menegasikan antar politisi adalah lumrah dalam politik praktis, akibatnya citra politik kian buruk di mata masyarakat. Politik dikonotasikan sesuatu yang tidak baik, tidak heran sebagian orang melabelkan politik sebagai hal yang kotor.
Namun secara teoretis, politik esensialnya kontradiktif dengan apa yang dilabelkan. Karena secara sederhana, definisi politik bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat secara umum. Pun demikian politik sebagai ‘urat nadi’ roda pemerintahan, karena melalui politiklah segala kebutuhan masyarakat dipresur lewat keputusan politik yang melahirkan produk kebijakan publik (public policy). Sehingga, sikap apolitis atau antipati terhadap politik merupakan akibat dari kekaburan memahami ilmu politik.
Hal senada dikatakan Berthold Brecht, seorang penyair Jerman menurutnya; buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik.
Ia lanjut mengatakan bahwa orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri.
Jelas apa yang dikatakan oleh Berthold Brecht di atas; karena setiap penyelesaian kompleksitas masalah yang dirasakan masyarakat dapat diselesaikan lewat keputusan politik. Akan tetapi, konstruk paradigma masyarakat yang demikian berpangkal dari buruknya kinerja anggota legislatif.
Sebagaimana dikatakan Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, tidak ada yang patut dibanggakan dari DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya. Lucius menilai kinerja DPR periode ini adalah yang paling buruk, sejak era reformasi.
Ia pun menjelaskan bahwa untuk tahun pertama pemerintahan terdapat tiga RUU yang disahkan. Selanjutnya di tahun kedua mengalami peningkatan, terdapat 10 RUU yang disahkan. Namun, di tahun ketiga mulai merosot, DPR hanya mensahkan enam RUU. Dan di tahun ke empat, hanya ada empat RUU yang disahkan oleh DPR.
Di tambah lagi dengan banyaknya anggota legislatif yang kini mendekam dibalik jeruji besi, karena melakukan tindak korupsi. Sehingga menambah krisis kepercayaan masyarakat terhadap anggota legislatif selaku representatif di lembaga legislatif, pula timbul skeptisisme masyarakat dalam memberikan hak politik dalam pemilihan.
Mengeliminasi Caleg Lewat Hak Politik
Beranjak dari ulasan masalah di atas, kini masyarakat kembali diberikan kesempatan memilih calon legislatif periode mendatang, tepatnya 17 April 2019 yang dilaksanakan secara serentak yakni: pemilihan Presiden dan Wakil Presiden bersamaan dengan pemilihan anggota legislatif dari tingkat pusat sampai di tingkat daerah (DPR/D dan DPD).
Dalam perhelatan tersebut, Partai Politik telah merekomendasikan calon legislatif dengan ragam latar belakang (backround). Ada politisi, selebriti dan ada pula pengusaha yang turut meramaikan panggung politik.
Krusialnya dari banyaknya calon anggota legislatif ada yang mempunyai rekam jejak (track record) pernah tersangkut kasus korupsi. Hal tersebut awalnya di polemikkan oleh Komisi Pemilihan Umum bahwa mantan terpidana korupsi tidak diperbolehkan ikut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Namun langkah preventif Komisi Pemilihan Umum tersebut, karena Mahkamah Agung telah membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum perihal melarang terpidana kasus korupsi ikut calon legislatif.
Pembatalan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 sekiranya dilihat dari dua perspektif yaitu: perspektif Hukum Asasi Manusia dan perspektif hierarki pembuatan Perundang-Undangan.
Idealisasinya bahwa hak memilih dan dipilih sebagai anggota legislatif merupakan hak dasar di bidang politik yang dijamin oleh konstitusi yaitu, Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.
Bahkan hak politik juga diakui dalam Konvenan Internasional Hak-hak Sipil (International Covenant on Civil and Political Rights disingkat ICCPR) yang ditetapkan Majelis Umum PBB berdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966. Konvenan itu juga telah diratifikasi melalui UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik).
Lebih lanjut hak politik diatur dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pun demikian, norma Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d dan Lampiran Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018 bertentangan pula dengan Pasal 12 huruf d Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Tata Urutan Perundang-Undangan, yang menentukan peraturan di bawah undang-undang berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Selaras bunyi pasal tersebut, Mahkamah Agung menilai Komisi Pemilihan Umum telah membuat ketentuan yang tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan di atasnya.
Sehingga dari hasil uji materi tersebut, Mahkamah Agung membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 Tahun 2018; dengan memberikan ruang mantan terpidana korupsi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Namun kendati dibatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum oleh Mahkamah Agung. Tampaknya Komisi Pemilihan Umum tidak menyurutkan langkah untuk membatasi orang-orang yang tidak berintegritas masuk dalam lembaga legislatif.
Alhasil, belum lama ini Komisi Pemilihan Umum mengumumkan nama-nama calon legislatif mantan terpidana kasus korupsi. Berdasarkan data yang disampaikan Komisi Pemilihan Umum terdapat 49 calon legislatif mantan terpidana korupsi, antara lain: 16 calon legislatif DPRD Provinsi, 24 calon legislatif DPRD Kabupaten/Kota dan 9 calon legislatif DPD.
Hal demikian dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, agar masyarakat tahu dan tidak memberikan hak politik kepada calon legislatif yang pernah tersangkut kasus korupsi. Olehnya itu, masyarakat sebagai ‘juri’ penentu yang mempunyai hak kedaulatan, perlu mengeliminasi secara selektif terhadap calon legislatif yang dinilai tidak layak masuk dalam ruang lembaga legislatif.
Mengeliminasi yang dimaksudkan di sini adalah menyingkirkan calon legislatif melalui hak politik yang hendak diberikan pada pemilihan umum dengan menilai tiga indikator penting yaitu: kualitas, rekam jejak dan integritasnya calon. Indikator-indikator tersebut; bukan hanya berlaku khusus pada calon legislatif mantan terpidana korupsi, tetapi juga kepada calon legislatif incumbent yang kembali mencalonkan sebagai calon legislatif, dan juga politisi berwajah baru dalam panggung politik.
Agar ruang lembaga legislatif periode mendatang di isi oleh orang-orang baik, punya prestasi secara rekam jejak, dengan integritas yang teruji tanpa ada cacat hukum, pula berkualitas yang memahami fungsi selaku wakil rakyat (legislasi, budgeting, pengawasan)–atau yang terpilih merupakan hasil penilaian secara selektif, sehingga kebijakan yang dibuat dalam masa periodisasi merupakan hasil penyatuan ide dari orang-orang yang berkualitas.
Sebab, keunggulan kebijakan publik sangat dipengaruhi kualitas pembuat kebijakan. Sehingga, masyarakat mesti cerdas memberikan hak politik terhadap calon legislatif, dengan pilihan berlandas pada indikator yang profesional bukan atas dasar ‘like and dislike’. Apalagi didasarkan pada politik uang dan politik identitas.(*)