Oleh: Margarito Kamis
Doktor Hukum Tata Negara dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate
PEMILU terluka, curang, sama dengan terlukanya, rontoknya, rule of law, sebuah konsep mengagumkan karena mengagungkan hak asasi manusia, jujur dan adil. Konsep ini, begitu kelebihannya, digunakan mengukur hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk pemilu.
Tetapi bila dilihat secara formal semata, pemilu Orba pun selalu dianggap sah segera setelah selesai dilaksanakan, tanpa memperhitungkan curang terencana yang menyertainya.
International Commission of Jurist, yang meneliti 20 tahun postur rule of law pada masa orde baru, menemukan sejumlah kelemahan pemilu.
Kelemahannya adalah pemilu dilaksanakan, tetapi calon anggota legislatif discerning oleh Kopkamtib, organ yang tidak memiliki basis konstitusional.
Pemilu dilaksanakan oleh organ bentukan pemerintah dan dilaksanakan oleh pemerintah. Kerangka kerja ini jelas tidak senafas dengan rule of law.
Lukanya
Selalu seperti biasanya, orang cepat memuaskan diri dengan melihat huruf-huruf konstitusi yang menuliskan prinsip itu, bahkan menuliskannya nama itu di dalamnya. Seperti itu pulalah rule of law dipandang dalam berbicara dan menganalisis penyelengaraan pemilu. Tatanan berganti, berubah dari yang lama ke yang baru, maka rule of law dianggap, dalam konteks itu, eksis.
Dalam kenyataannya tidak selalu begitu. Rule of law selalu, seperti di negara yang paling demokratis sekalipun, dapat diselewengkan. Itu disebabkan rule of law memiliki sudut toleransi khas Jeremy Bentham, pioner utilitarian ini. Keadilan dalam langgam utilitarian Bentham, dianggap ada sejauh sebuah peristiwa hukum, pemilu misalnya, dapat dilangsungkan, diikuti orang dengan jumlah terbanyak.
Keadilan tipikal itu terlihat dari fenomena aparatur negara yang tidak cuti dalam kampanye, termasuk dalam batas tertentu, aparatur negara mengambil sikap partisan dalam pemilu, nyata-nyata bekerja untuk memenangkan salah satu pasangan calon presiden. Menariknya dalam sejumlah kasus pilpres ini parsialitas itu selalu berlalu bersama waktu.
Luka-luka, sebut saja kecil itu, di hari-hari setelah berakhirnya kampanye terbuka pemilihan presiden dan wakil presiden, juga calon anggota legislatif, yang tidak sampai seminggu ini, mulai terlihat bergelora. Belum lagi jelas duduk soal surat suara tercoblos di Selangor Malaysia di luar skema waktu pencoblosan yang ditetapkan KPU, yang sialnya dianggap “sampah” sepele itu, muncul soal lain.
Soal lain itu adalah sejumlah warga negara di Melbourne, Australia yang telah lebih dahulu mencoblos surat suara, dalam kenyataannya, karena terbatasi waktu, tak dapat menggunakan haknya. Akankah luka itu dapat disembuhkan, misalnya dengan memungkinkan pencoblosan suara lanjutan? Sulit diberi jawabannya.
Rule of law memang mengimpikan penyelenggaraan, apapun urusan negara, bersikap imparsial. Tetapi sejarah rule of law menunjukan tantangan terberat, untuk tak mengatakan tersulit adalah mengontrol perilaku penyelenggara. Sulit betul meminta penyelengara urusan pemerintahan tunduk, taat dan tak menyepelekan persoalan-persoalan yang timbul.
Kapasitas pemimpin memang dikesampingkan dalam konsep rule of law. Ini disebabkan dalam sejarahnya, rule of law muncul sebagai lawan tanding paling sepadan dalam menantang hasrat kotor pemimpin. Menariknya di belahan dunia manapun, kepemimpinan, dalam batas tertentu, telah memungkinkan rule of law menemukan jalannya.
Menariknya sejauh ini tak terlihat sikap pemerintah dalam kasus yang menimpa Pak Said Didu dan Ustaz Abdul Somad, figur sejuk nan santun ini. Sepersonal apapun kasus yang dialami dua warga negara ini, tidak bisa disepelekan. Ini disebabkan, sikap keduanya yang tersajikan dalam medan bergelombang pilpres ini, tertambat pada Pak Prabowo dan Pak Sandi.
Tidak ada kaitan fungsional apapun antara rule of law dengan kecurigaan, ambil misalnya terhadap ketidaknyamanan Ustaz Abdul Somad, pria murah senyum ini. Tetapi masalahnya kasus terjadi hampir bersamaan dengan sikap terbukanya bertemu dengan Pak Prabowo, capres dalam pilpres ini. Di situ masalahnya. Di situlah letak munculnya titik kait kasus ini dengan rule of law.
Berpartisipasilah
Amerika memang bukan negeri terbaik dalam urusan realisasi total rule of law dalam arti substansial. Tetapi harus diakui sejarah hukum dan politik mereka menyajikan catatan kepemimpinan hebat, berandil top dalam upaya mengagungkan rule of law.
Itu diperlihatkan, ambil salah satunya, Dwight D. Eishenhower. Pria dengan kompetensi kelas tinggi ini, tak mampu diam seribu bahasa menghadapi Orval Faubus, Gubernur Arkansas, pada tahun 1957.
Gubernur yang menolak mematuhi putusan Mahkamah Agung, yang dipimpin Earl Warren, mantan gubernur California, yang diangkat menjadi Ketua Mahkamah oleh Eishenhower, membuat pria hebat ini berang. Eishenhower mengirimkan garda nasional memaksa Faubus tunduk pada putusan itu. Putusan ini, dalam sifat esensilanya mereduksi kebijakan diskriminatif kulit putih dan hitam di Arkansas dalam bidang pendidikan.
Realistiskah menanti sikap sejenis dari Pak Jokowi, presiden yang menjadi capres ini, dalam merespon persoalan-persoalan parsial, yang terasa melukai rule of law dalam aspek penegakan hukum dalam pemilu ini? Entahlah.
Tetapi menarik melihat kenyataan munculnya hasrat PDIP misalnya. Melalui eksponennya, partai ini terlihat hendak mengambil peran, tak membiarkan hari-hari tenang pilpres dan pileg ini terluka dengan tindak-tanduk bandit.
Tidak usahlah menunjuk kasus tertangkapnya seorang caleg Golkar, dengan ratusan ribu amplob berisi uang, sebagai patokan hipotesa tentang kemungkinan bandit-bergerak membeli suara pada H minus 3 (tiga) hari sampai dengan 6 (enam) 8 (delapan) jam. Tidak usah juga menunjuk tindak bagi uang seorang istri Caleg di Pnorogo sebagai basis hiopotesis. Tidak usah juga berhipotesa tentang kemungkinan aparatur negara mengajak bicara bahwa pileg untuk DPR dan presiden itu urusan Jakarta. Tak memilih mereka pun tak apa secara hukum.
Tetapi harus diakui, sikap PDIP yang hedak memastikan lingkungan masing-masing tak terganggu oleh tindak-tanduk bagi-bagi uang khas bandit, bagus. Sikap ini membuktikan hioptesa Prabowo-Sandi valid. Ini PDIP ini bagus dalam dimensi rule of law.
Demi bangsa besar dengan Pancasila yang hebat ini, diperlukan partisipasi berkelas, beraturan dari seluruh peserta pemilu legislatif dan pilpres. Singsingkanlah lengan baju, luangkanlah waktu untuk bersama Bawaslu memastikan suasana tenang hari-hari menjelang pencoblosan surat suara sebagai hari yang hebat, nampak menjadi pilihan berkelas.
Partisipasi ini memiliki bobot sebagai sumbangan terbaik bagi bangsa besar ini langkah maju. Partisipasi ini memungkinkan bangsa besar ini menjemput pemimpin berkelas. Partisipasi ini juga memungkinkan rule of law dalam aspek pemilu tak terluka.
Jangan terluka, karena rule of law dalam kenyataan pemilu presiden Indonesia, tak cukup andal mengoreksi luka-lukanya, yang mengakibatkan perbedaan perolehan suara.(*)
Sumber: https://rmol.co/read/2019/04/15/386146/pemilu-jangan-terluka-lagi