Opini

Pemilu Oligarkis

×

Pemilu Oligarkis

Sebarkan artikel ini

Oleh: Margarito Kamis
Doktor hukum tata negara, staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate

 

SETIAP hari di sepanjang hari-hari penghitungan suara ini menjadi hari paling berat. Tindak-tanduk kotor, curang, batil pada serangkaian aspek penghitungan suara, begitu mudah tersaji sejumlah laman berita online. Tiada hari tanpa salah input suara, suara berkurang, suara hilang, yang entah apa sebabnya menempatkan Prabowo-Sandi sebagai pihak yang dirugikan.

Di setiap sudut dunia ini, itu yang dibicarakan, sengaja atau tidak. Asal bicara pemilu, keluar kalimat curang gila-gilaan, kotor dan sejenisnya. Semuanya diungkapkan dalam nada pilu dan memuakan. Demokrasi menghasilkan kecurangan khas pemilu-pemilu pada rezim-rezim kakitokrasi, yang otoritarian.

Selalu Prabowo-Sandi

Seperti pemilu otoritarian di masa lalu yang selalu menempatkan salah satu kekuatan politik sebagai unggulan, kini Prabowo-Sandi, begitu yang terberitakan, selalu keluar sebagai pihak yang dirugikan. Selalu begitu setiap kali sejumlah laman berita online dibuka. Perolehan angkanya, selalu begitu, berkurang. Sedemikian seringnya kenyataan itu terjadi, sehingga menyulitkan betul untuk tak mengatakan kenyataan-kenyataan itu tersaji layaknya kenyataan yang terkondisikan, untuk tak mengatakan kenyataan yang terkordinasi khas pemilu otoritarian.

Bila kenyataan itu beralasan dikategorikan sebagai tindakan terkordinasikan, maka diperlukan pemeriksaan yang agak detail tentang kedua capres dan cawapres ini. Apa sebenarnya masalah yang dibawa Prabowo-Sandi sehingga tindakan, maaf harus disebut biadab, harus dilakukan dan ditujukan kepada keduanya? Apa karena Prabowo terlalu cerdas untuk bisa dikendalikan oleh pemain bermental korporatis? Apa Prabowo terlalu banyak tahu tabiat korporatis, sehingga akan menyulitkan mereka merealisasikan rencana-rencana untung ruginya? Entahlah.

Apakah Prabowo-Sandi teridentifikasi sebagai capres dan cawapres yang memiliki kepedulian 24 karat terhadap orang miskin, dan memiliki keinginan tak tertahankan untuk memakmurkan mereka, sejauh yang bisa? Apa karena kedua capres dan cawapres ini memiliki ambisi ternalar  meringankan beban harga listrik yang dipikul rakyat kecil? Apa karena ambisi mereka menurunkan harga telur, beras, daging dan lainnya, termasuk membatasi sebisa mungkin impor berbagai kebutuhan dasar rakyat?

Itukah penyebab mereka mengalami nasib seperti saat ini? Apa keduanya, terutama Prabowo terlalu cerdas bicara martabat bangsa, dalam nada penuh ambisi dan ketegasan ternalar yang tak tertawar, dengan segala konsekuensinya? Tidakkah itu bagus untuk bangsa besar ini? Apakah ia begitu jelas terlihat hendak berlaku adil kepada umat Islam, ummat yang Rand Corporation dan media-media barat melakukan tipikalisasi menjadi Islam modern, tradisional dan radikal?

Bila semua yang bersifat hipotetik di atas tak masuk dalam kerangka penyebab yang mengakibatkan perolehan suara mereka selalu menjadi objek perubahan, salah input dan pengurangan, lalu apa? Apakah karena keduanya berambisi membuat pemerintahan bersih, dengan konsekuensi pemerintahannya kelak tak bisa ditunggangi untuk kepentingan ekonomis? Jujur semua hipotetis ini membutuhkan penelurusan mendalam, dan terpercaya, yang semuanya tak mudah dilakukan.

Mental Terabas

Hebatnya hiruk-pikuk angka yang telah terpublikasi sejauh ini disambut beberapa analisis Barat sebagai naiknya kekuatan Islam moderat dipanggung politik Indonesia. Angka-angka itu, dalam analisis mereka membalik secara fundamental fenomena politik pemilihan kepala daerah DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Angka-angka perolehan suara yang telah dipublikasikan sejauh ini, dalam analisis mereka, bermakna Indonesia sedang bergerak ke arah yang menggembirakan.

Persis seperti respons sebagian orang saat ini, mereka sama sekali menutup mata terhadap proses keluarnya angka-angka itu. Proses tidak penting, yang penting hasil. Bagaimana hasil itu diperoleh, sekali lagi, tidak penting. Yang penting, sekali lagi, hasil. Mau curang, mau jorok, mau batil, masa bodoh. Yang penting adalah semua tindakan busuk, kotor dan jijik itu dapat dan berhasil menenggelamkan, melemparkan kedua dua capres dan cawapres ini dari gelanggang pemenang. Titik.

Mental yang penting hasil, bukan proses, jelas merupakan mental yang puluhan tahun lalu digambarkan oleh bengawan antropologi kita, Kuntjaraningrat, dengan sebutan “mental terabas,”  mental “main sikat.” Mental ini bersifat materistik, bukan mental Pancasila, karena tak sejalan dengan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Mental ini menyepelekan keadilan, tidak mengenal prosedur. Prosedur diterima sebagai barang yang lebih rendah dari sampah. Yang bernilai hanyalah hasil.

Prosedur dicampakkan bila hasilnya tidak menguntungkan. Dalam mental ini, prosedur tidak memiliki nilai sebagai kendali dan cara melembagakan kejuruan dan  keadilan, dua hal yang UUD 1945 menjadikannya sebagai asas pemilu. Jujur dan adil, yang sejarah pengaturannya dalam UUD 1945 dimaksudkan untuk mencegah terulangnya praktik pemilu otoritarian, tidak memperlakukan semua peserta pemilu secara setara, sama, dalam setiap aspek dan tahap, kini terlihat sedang berada di dasar laut.

Kesulitan pemilih dalam pemilu otoritarian mengawasi Badan Pemilihan Umum, karena mereka adalah aparatur pemerintah, kini terlihat dalam nuansa menyayat rasa. Bukan soal demokrasi mundur atau tidak mundur, tetapi cara itu sama sekali tidak memiliki nalar filosofis dalam Pancasila, negara hukum demokratis dan suara batin sebagai manusia beragama.

Mental terabas sejatinya setali tiga uang dengan mental oligarkis, mental yang ditunjuk oleh Noam Chomski sebagai mental khas dunia korporasi. Katanya dunia korporasi tidak pernah, dan tidak akan demokratis. Ini mental untung-rugi, bukan mental memakmurkan rakyat dalam kadar keadilan khas Pancasila. Bukan.  Mental ini tidak mengenal nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam pasal 6A UUD 1945. Pasal 6A dilihat hanya sebatas angka, persentase perolehan suara sebagai syarat ditetapkan menjadi presiden terpilih.

Nilai rasa kebangsaan dan integrasi wilayah NKRI yang ada dibalik angka-angka prosentase pada pasal 6A itu tak penting. Angka-angka itu tidak lebih dari sekadar angka kemenangan. Titik. Mau sebagian besar angka kemenangan disumbangkan oleh dua provinsi yang memiliki jumlah suara besar di Indonesia, dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di luar Jawa,  tidak penting. Yang penting menang. Mau suara di lebih dari setengah provinsi luar Jawa tidak sampai minimum 20 persen, masa bodoh.

Mental terabas, oligarkis khas korporasi tidak bakal terusik dengan kenyataan hasil data terinput di KPU mirip dengan hasil QC dua jam usai pencoblosan surat suara. Hebat sekali. Mental praktis materilistik ini begitu, tidak peduli pada, sekali lagi, proses dan prosedur. Mental ini dituntun oleh kehendak untung rugi, yang teknisnya dilakukan dengan cara, kalau tidak menguasai, akrab dengan perumus dan pembuat kebijakan.

Setiap aspek kebijakan dalam pemerintahan, dalam mental ini, harus menghasilkan keuntungan korporatis. Siapa ikut dia selamat, dan siapa menantang akan terpelanting. Mental tipikal ini  ditunjukan, salah satunya oleh salah satu Bos Keuangan dunia kepada Theodore Rosevelt, presiden penerus William McKenly.

Mental korporatis ini sempat teridentifikasi oleh anggota PAH I BP MPR pada waktu merumuskan pasal 6A ayat (3) dan ayat (4) UUD 1945. Tetapi harus diakui, kala itu yang mereka tunjuk adalah bila pemilu ulang dilakukan oleh MPR. Sayangnya tesis mereka tidak sepenuhnya teruji. Mental oligarkis khas korporasi, dalam kenyataannya bekerja dengan efektif pada pemilihan langsung, persis pemilu saat ini.(*)

Sumber: https://rmol.co/read/2019/04/24/387364/pemilu-oligarkis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *