Oleh: Cecep Darmawan
Guru Besar Ilmu Politik dan Pengurus Pusat Kajian Pendidikan Pancasila dan Wawasan Kebangsaan Universitas Pendidikan Indonesia
POLEMIK Rancangan Undang- Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) terus berlanjut. RUU HIP ini telah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat yang sedang mengalami ujian pandemi covid-19.
Konsentrasi publik dalam menangani wabah pandemi ini terganggu oleh kegaduhan akibat Sidang Paripurna DPR RI yang telah memuluskan jalan RUU HIP menjadi usul inisiatif DPR. Kegaduhan di ruang publik tak terelakkan. Berbagai pihak keberatan dan bahkan marak penolakan yang diviralkan di media sosial. Sejumlah organisasi kemasyarakatan keberatan dengan RUU itu, di antaranya MUI, NU, dan Muhammadiyah.
Penolakan yang keras datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat melalui maklumat mereka. Pernyataan MUI ini didukung 34 pemimpin MUI se-Indonesia. MUI berpandangan RUU ini ialah bagian dari upaya menghidupkan paham komunisme dan mencurigai adanya oknum konseptor RUU yang ingin membangkitkan kembali paham dan Partai Komunis Indonesia.
Begitu pun para akademisi keberatan dan meminta RUU ini segera dibatalkan. Prof Rochmat Wahab, Ketua Dewan Pakar Institut KH Ha syim Muzadi, misalnya, mengingin kan pembatalan RUU karena RUU HIP itu isinya tidak hanya terkait dengan haluan ideologi Pancasila, tetapi juga menyangkut materi OTK (organisasi dan tata kerja) BPIP.
Bahkan, Prof Rochmat Wahab mengkhawatirkan Indonesia akan menjadi negara sekuler dan dapat memberikan kemudahan akses masuknya ideologi terlarang, seperti PKI. Selanjutnya, ia meminta agar tidak ada pemerasan lima sila Pancasila menjadi Trisila, dan berakhir dengan Ekasila (Gotong Royong). Ini sangatlah bertentangan dengan rumusan Pancasila yang sah yang tercantum di Pembukaan UUD 1945.
Sebenarnya pemerintah sendiri, melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menegaskan pemerintah akan mempertahankan bahwa Pancasila yang kita anut ialah Pancasila yang disahkan 18 Agustus 1945, bukan yang trisila atau ekasila. Mahfud pun menyatakan, bagi pemerintah, Pancasila adalah lima sila yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan paham.
Terkait dengan komunisme, Mahfud menegaskan pelarangan komunisme di Indonesia telah final berdasarkan Ketetapan MPR Nomor I Tahun 2003, bahwa tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut Tap MPRS XXV/MPRS/1966 Tahun 1966. Kita patut lega atas pernyataan Menko Polhukam tersebut.
Pandangan Mahfud sebenarnya sesuai dengan konsiderans Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila yang menyatakan bahwa rumusan Pancasila sejak 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir Soekarno, rumusan Piagam Jakarta 22 Juni 1945, hingga rumusan final 18 Agustus 1945 ialah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara. Kita tunggu langkah pemerintah untuk konsisten dan tegas dalam upaya pelarangan penyebaran ajaran komunisme/ marxisme-leninisme.
Kesalahan Konsepsi
Kalau kita cermati Pasal 1 RUU HIP, dinyatakan: ‘Haluan Ideologi Pancasila adalah pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan pelaksanaan dan evaluasi terhadap kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan dan keamanan yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, serta arah bagi seluruh warga negara dan penduduk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan pada nilainilai Pancasila’.
Secara definisi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), haluan memiliki arti arah, tujuan, dan pedoman. Jimly Asshiddiqie (2019) dalam artikelnya menyebutkan bahwa haluan negara merupakan pedoman arah atau panduan bagi seluruh penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dan masyarakat dalam menjalankan roda pembangunan nasional.
Jadi, menurut penulis, haluan negara itu memuat kepentingan nasional (national interest) sudah termaktub dalam Pembukaan, yang kemudian diderivasikan ke dalam pasal-pasal UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Selain itu, terdapat dalam naskah RPJP, RPJM, dan renja serta dokumen perencanaan pembangunan di daerah. Meskipun pascaamendemen UUD 1945, MPR tidak memiliki kewenangan menetapkan GBHN, NKRI masih tetap memiliki haluan pembangunan dalam naskah perencanaan pembangunan seperti RPJP, RPJM, rensta, renja, dan turunannya. Rumusan haluan ideologi itu rancu sejak awal penamaan RUU HIP ini.
Apakah sebuah ideologi butuh haluan atau pedoman? Bukankah ideologi itu sumber utama dari haluan negara? Kemudian, kalaupun harus ada haluan ideologi misalnya, apakah selama ini sejak NKRI merdeka tidak memiliki haluan tersebut? Kalau haluan ideologi memang perlu dirumuskan, berarti haluan bidang lain juga harus ada, misalnya haluan politik, haluan ekonomi, haluan sosial-budaya, dan haluan pertahanan keamanan.
Bukankah selama ini haluan atau rumusan perencanaan pembangunan nasional selalu ada apa pun namanya. Jadi, sekali lagi kesalahan berpikir seperti dalam RUU HIP ini harus diluruskan. Ideologi itu sumber haluan, artinya ideologi memberikan pedoman bagi penyelenggara negara dan seluruh warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, termasuk dalam merumuskan perencanaan pembangunan nasional di seluruh bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan hankam.
Begitu pun kalau ditilik dari UU No 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, sudah jelas hierarki tata urutan peraturan perundang-undangannya dan Pancasila dinyatakan sebagai sumber segala sumber hukum negara. Pancasila harus diposisikan sebagai sumber dari segala sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Masalahnya, sekarang ialah belum sepenuhnya seluruh materi per aturan perundang-undangan mencerminkan nilai-nilai Pancasila.
Segenap keputusan politik dalam peraturan perundang-undangan pun belum seutuhnya merefl eksikan nilai-nilai Pancasila. Padahal, seluruh peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Jangankan dengan Pancasila, dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 saja, UU itu banyak yang bermasalah. Berapa ratus UU yang dicabut atau dibatalkan Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi.
Padahal sejatinya, peraturan perundang-undangan haruslah mencerminkan kepentingan nasional, tidak diskriminatif, bernuansa keadilan, dan adanya persamaan hukum. Oleh karena itu, setiap pembentukan dan pengimplementasian peraturan perundang-undangan di Indonesia harus berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
Persoalan Implementasi
Harus dipahami bahwa nilainilai Pancasila saat ini sedang mengalami benturan nilai peradaban, khususnya dengan ideologi kapitalismeliberalisme yang mengusung kebebasan dan bahaya laten ideologi komunisme serta ancaman radikalisme. Pancasila sebagai sumber nilai haluan negara belum sepenuhnya diejawantahkan secara utuh dan sistemis dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara.
Persoalan paling fundamental dari Pancasila bukan persoalan haluan, melainkan persoal an implementasinya. Khususnya, bagaimana melakukan delivery konseptual dan nilainya ke dalam tataran praksis operasional. Dengan kata lain, bagaimana nilai ideal Pancasila yang universal diderivasikan ke domain nilai-nilai instrumental dalam ranah pembentukan peraturan perundang-undangan, dan bagaimana nilai-nilai ideal Pancasila terinternalisasi ke dalam nilai-nilai praktis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bahkan yang tidak kalah pentingnya, bagaimana praktik sikap dan perilaku para elite dapat menjadi sikap keteladanan dalam kehidupan kebangsaan kita hari ini. Bukan malah sebaliknya, rakyat disuguhi tontonan praktik yang tak Pancasilais.
Saat ini berkembang ide bahwa bagaimana kalau seluruh RUU sebelum disahkan DPR dan pemerintah menjadi UU dikaji dan diberi masukan terlebih dahulu oleh Mahkamah Konstitusi. Kewenangan ini di beberapa negara dinamakan judicial preview. Meskipun MK belum memiliki kewenangan itu, proses ini sifatnya bisa dilakukan secara informal dan berupa masukan substantif dari materi RUU, dan tidak mengarah kepada persoal an teknis di DPR.
Upaya ini merupakan terobosan politik hukum untuk memperkecil peluang judicial review di kemudian hari. Khusus kepada DPR, mohon kaji ulang secara mendalam RUU HIP ini agar kita tidak mengalami distorsi sejarah dan salah konsep mengenai ideologi dan haluan. Lalu pelajari kembali filsafat Pancasila secara keilmuan agar lebih memahami kedudukan dan fungsi Pancasila secara utuh. Perdalam juga pemahaman baik teori Stufenbau (Hans Kelsen) maupun teori Hans Nawiasky.
Lalu, libatkan perguruan tinggi secara lebih masif dalam setiap pembahasan RUU. Terakhir, jangan pernah lagi terjadi proses pendangkalan atau pembelokan makna Pancasila oleh kelompok-kelompok yang tidak paham akan Pancasila. Distorsi pemahaman dan peminggiran Pancasila amat berbahaya, bahkan bisa berpotensi memicu disintegrasi bangsa.(*)
(Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/320669-perlukah-haluan-ideologi)