Opini

Politik Kuasa, Pilpres Dan Pengaruh Media

×

Politik Kuasa, Pilpres Dan Pengaruh Media

Sebarkan artikel ini

Oleh: Yudhi Hertanto
Mahasiswa program doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid

 

KEBERADAAN media menjadi bagian penyerta dari fase kesejarahan lokal, termasuk pada persoalan tampuk kekuasaan di ranah politik. Buku Ross Tapsell, Kuasa Media di Indonesia: Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital, yang setebal 298 halaman itu mengurai secara mendetail.

Fungsi media tidak hanya menjadi sarana reflektif dari apa yang terjadi di dalam masyarakat, tetapi sekaligus menjadi alat serta instrumen bagi penciptaan opini dan persepsi publik. Media pada prinsip dasarnya tidak bebas kepentingan, justru sebaliknya dapat mengkonstruksi cara berpikir, bahkan menciptakan suatu realitas baru yang berbeda.

Di tengah tantangan zaman yang mengalami perubahan, akibat gerak laku digitalisasi melalui koneksi internet. Media tetap memainkan peran signifikan, terutama karena kehadirannya beradaptasi dengan gerak laku modernisasi teknologi, dimana media konvensional bertransformasi membangun divisi digital sebagai platform media baru.

Pertanyaan penting yang sejalan dengan apa yang termuat dalam kalimat pembuka artikel ini adalah, apakah media benar-benar menandai terjadinya suatu gerak perubahan sosial di masyarakat? Bagaimana posisi media baru berhadapan dengan eksistensi media tradisional cetak dan elektronik?

Sesuai dengan definisinya, menggunakan pendekatan Laswell, maka media adalah sarana dalam menerjemahkan penyampaian pesan dari pihak komunikator kepada khalayak. Dengan begitu, koran, majalah, radio dan televisi menjadi sumber pengetahuan baru. Akses langsung pada media menciptakan struktur otoritatif atas dominasi pengetahuan, sifatnya terbatas.

Media Lokal dari Masa ke Masa

Para pengakses media sejak zaman pra kemerdekaan adalah mereka yang terkategorisasi berpendidikan, dan dalam struktur sosial masyarakat dapat pula menjadi opinion leader bagi komunitas lingkungan sosialnya. Perjuangan kemerdekaan di awal kehidupan bernegara, dimulai dengan pertarungan wacana dan gagasan, dalam pergulatan mencapai Indonesia merdeka.

Dilanjutkan pada era pasca kemerdekaan, media pun menjadi ruang perdebatan ideologis antara para partai pemilik kepentingan politik untuk melakukan pengaturan tata hidup berbangsa dan bernegara. Orde Lama menampilkan media partisan, yang hidup dan tumbuh dalam mewakili kepentingan praktis dari partai politik yang melahirkan media tersebut.

Situasi tersebut, berubah setelah Orde Lama jatuh dan digantikan Orde Baru yang menjadi cita-cita pembaharuan dari dinamika politik yang saling bergesekan di tingkat bawah. Lambat laun otoritarianisme orde baru muncul, karena ketiadaan antitesis kekuasaan. Ruang narasi yang kosong itu, termasuk media yang menjadi corong penguasa.

Penyeragaman dan represi terjadi, manakala ada pendapat serta suara yang berbeda dari selera kekuasaan. Media menjadi pembawa pesan penguasa, meski seiring waktu terjadi pergolakan internal di tubuh elit yang menghendaki terjadinya perubahan, pun berujung pada penggunaan media. Orde Reformasi sebagai fase keluar dari Orde Baru tidak dipungkiri terjadi karena kelahiran media elektronik swasta pada periode pergolakan tersebut.

Anomali Sosial Media: Pilpres 2014

Para pemilik media menjadi penguasa baru, dalam makna yang tidak langsung. Kepemilikan media, yang terintegrasi melalui elektronik dan cetak, hanya mungkin dilakukan dengan jalur konglomerasi, tidak hanya menggantungkan diri pada tumpuan bisnis media semata, tetapi juga melakukan melakukan pola subsidi silang dengan berbagai bisnis lain.

Keberadaan industri media oleh para taipan media, ditujukan bagi kemampuan perluasan pengaruh, pembentukan wacana dan alat pencapaian kepentingan. Tapsell menyatakan, konglomerasi media di Asia dan Afrika memiliki perbedaan dengan apa yang ada di Barat dan Amerika sebagai barometer, dikarenakan susunan regulasi media dan politik lebih rigid dan spesifik. Asia dan Afrika tidak mengenal pembatasan serta larangan pemilik media untuk berpolitik praktis, bahkan dengan mempergunakan medianya untuk mendapatkan dukungan serta legitimasi publik.

Pemilik media di Indonesia kemudian bertindak sebagai bagian dari oligarki kekuasaan, karena pada bisnis media ada hambatan besar mengingat tingginya investasi dan kapasitas modal untuk bisa bertahan dalam industri tersebut, barrier to entry business tinggi, sehingga hanya terdapat sekelompok kecil penguasa media. Guna memastikan eksistensinya, pemilik media kemudian ikut aktif pada berbagai kegiatan politik, dengan berbagai motif.

Dengan demikian, pertarungan politik tidak ubahnya menjadi laga antar media dengan dukungan kepentingannya. Studi kasus keberhasilan Jokowi memasuki belantara politik dari level Walikota hingga menjadi Presiden melalui Pemilu 2014, menurut Tapsell berada dalam perdebatan kajian apakah merupakan hasil langsung dari politik elektoral, ataukah menjadi proyeksi dari pertaruhan konglomerasi media dibelakangnya?

Gerak-gerik Jokowi menjadi media darling tidak terkonstruksi begitu saja, istilah blusukan menjadi fenomena kerakyatan, disukai publik, dibentuk dan bukan tidak mungkin diskenariokan oleh media itu sendiri. Kekuatan besar yang bertarung saat itu Prabowo dan Jokowi, keduanya adalah bersaing untuk mengisi kekosongan kursi kepresidenan pasca SBY yang telah dua kali memimpin.

Situasinya Prabowo didukung oleh koalisi besar dengan perangkat media pendukungnya, kemudian takluk dari Jokowi dengan konstruksi realitasnya sebagai figur merakyat. Amplifikasi sosial media dimanfaatkan dengan baik oleh Jokowi untuk melakukan counter narasi dari media mainstream, dan hal itu berhasil merebut hati publik saat itu. Dunia digital begitu luar biasa fenomenal pengaruhnya, terutama ketika terjadi penurunan minat pada kanal media tradisional oleh kaum muda.

Oligarki penguasa media seolah terbalik dari arus besar yang terjadi di sosial media, terjungkir balik. Ada sekuens terpisah antara kemampuan mengelola isu di media konvensional, berhadapan dengan viralitas percakapan publik di media sosial. Terbukti bahwa media sosial, kemudian mendapatkan momentum masuk ke dalam kerangka berpikir publik. Sehingga, keterpilihan Jokowi bisa dikategorisasikan sebagai hasil yang tidak terelakkan dari kontestasi kala itu, sesuatu yang tidak diinginkan oleh oligarki media, tapi angin mudah berhembus dan berpindah.

Pilpres 2019 di Sosial Media?

Beda dulu lain sekarang. Jokowi kini petahana, dengan segala perangkat pendukungnya, termasuk kolaborasinya dengan partai-partai politik pengusung serta pendukung, serta oligarki media yang berada di sekelilingnya. Kajian Tapsell dapat dijadikan sebagai alat uji, karena situasinya berbalik dari apa yang terjadi pada Pilpres 2014, dengan aktor-aktor yang sama, dimana peta politik serta medianya berubah.

Bila kemudian sosial media, sebagaimana Tapsell menyatakan, dapat dipergunakan untuk melihat apa yang berkembang di tingkat perbincangan publik, maka mudah melihat kemana sentimen itu. Suara ketidakpuasan publik, termanifestasi melalui hastag (#). Jika kemudian bot, buzzer dan fake account dieliminasi dari percakapan organik di sosial media, agaknya proporsi dominan cenderung ada dalam ketidakpuasan terhadap petahana.

Situasi tersebut, jelas memberikan keuntungan bagi pihak oposisi. Oligarki media dengan kekuatan serta dengan kemampuan persuasi dalam pembentukan opini melalui narasi yang dimilikinya, kini berlindung di balik punggung kekuasaan. Bisa jadi, hal tersebut ditujukan untuk mengamankan posisinya, berhadapan dengan krisis eksistensi media mainstream di dunia digital.

Titik terpenting pada kontestasi Pilpres 2019 kali ini, sampai situasi akhir pencoblosan 17 April nanti, adalah kemampuan mendekati publik yang masih belum menentukan pilihan, termasuk membangun peneguhan politik bagi mereka yang menyembunyikan pilihan. Bagaimana dengan hasil survei? Potret kontinu orientasi politik, bisa jadi tidak terbaca melalui survei yang dibatasi waktu tertentu. Perilaku politik pemilih, adalah kondisi dinamis yang berubah-ubah, berdasarkan kedekatan tematik.

Stamina kedua kubu dalam kontestasi Pilpres 2019, harus terus dijaga sampai titik akhir. Pada akhirnya, sosial media tetap menjadi alat perlawanan dari media mainstream, yang memiliki tendensi kepentingan spesifik dari oligarki pemilik media. Jika dibaca lebih teliti melalui sosial media, agaknya angin perubahan telah berhembus!(*)

Sumber: https://rmol.co/read/2019/04/03/384574/politik-kuasa-pilpres-dan-pengaruh-media

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *