Oleh: Fuad Fachruddin
Divisi Penjaminan Mutu Pendidikan Yayasan Sukma
IBADAH saum (puasa) dari perspektif pendidikan adalah merupakan proses edukasi spiritual (tahdziib, tarbiyatur ruhaniyah), yaitu pertama, pembersihan jiwa atau diri dari akhlak tercela atau penyakit hati, seperti iri, serakah, takabur, khianat, zalim, melakukan tindakan yang memberi mudarat kepada orang banyak, atau transformasi diri menjadi seorang berakhlak terpuji (Ibnu Katsir).
Kedua, madrasah (wahana) menanamkan kesabaran dan jihad (usaha sungguh-sungguh) serta kemampuan menghadapi kesulitan. Ketiga, cara/jalan untuk menyiapkan diri (wasilah) untuk mencapai ketakwaan, yaitu suatu derajat tinggi di sisi Sang Khalik. Ketaatan terhadap ketentuan Sang Khalik dalam keadaan apa pun (Ibnu Katsir, Alhumaad, Sayyid Thanthawi, Alwasiith al-Jahiily)—atau dengan kata lain ‘menjadi insan mutaqin adalah hasil akhir (the ultimate result) yang ingin diraih melalui ibadah saum.
Pada hari ini kaum muslimin tengah menjalani ibadah saum hari ke-22 dan tidak akan lama lagi akan merayakan Idul Fitri. Di sela menjalani ibadah saum, empat hari sebelumnya kita dihadapkan pada drama kehidupan yang memilukan, yaitu tindakan kerusuhan yang menimbulkan mudarat kepada orang banyak, atau bahkan dapat mengancam keutuhan bangsa (insiden 21-22 Mei 2019).
Insiden tersebut membuat kita mempertanyakan kembali pemahaman, dan apresiasi makna kesakralan bulan Ramadan serta penerapan hakikat ibadah saum dalam kehidupan kita dalam masyarakat.
Banyak pertanyaan reflektif yang dapat kita munculkan, antara lain “Apakah pelaksanaan ibadah saum sudah mulai dipandang seperti upacara-upacara tradisi yang ada di masyarakat (formalitas semata)? Sebagai festival semata yang telah kehilangan rohnya? Naudzubillah.
Nilai Utama Ibadah Saum
Tentu kita sangat yakin bahwa ibadah saum mengandung makna besar dalam mewujudkan individu dan masyarakat baik (berakhlak mulia) yang diperlukan bangsa ini kini dan mendatang.
Kaum muslimin sangat yakin bahwa akhlak merupakan penyangga utama kelangsungan kehidupan umat sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah SAW, “Sesunggunya tegak atau jayanya suatu umat atau bangsa lantaran akhlak mereka. Jika akhlak mereka baik, maka umat atau bangsa tersebut akan baik atau sehat. Sebaliknya, kalau akhlak umat atau bangsa itu rusak (bejat), maka umat atau bangsa tersebut akan hancur.”
Tokoh pemikir barat, Billy Graham (William Franklin Graham Jr), mengakui peran akhlak yang disampaikan dalam ungkapkan, “If wealth is lost, nothing is lost. If health is lost, something is lost. But, if character is lost, everything is lost.”
Berdasarkan beberapa sumber rujukan (Maraaghy. Qusyairi, Asy-Sya’rasi, dan Sibaa’i) dapat ditarik beberapa nilai utama dari ibadah saum untuk membangun diri individu dan masyarakat sebagaimana dimaksud. Pertama, keyakinan yang kukuh terhadap Yang Mahakuasa dalam situasi dan keadaan apa pun/ihsan. Keyakinan pada apa yang dilakukan dalam kehidupan di dunia akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
Ini merupakan manifestasi dari konsep ihsan dan akan menjadi benteng bagi seseorang dalam menghadapi ajakan untuk menyimpang dari koridor yang telah ditetapkan Al-Khaliq.
Kedua, kebebasan (hurriyah atau freedom) diri dalam pengertian; (1) bebas melakukan hal yang baik bagi dirinya dan orang lain sebagai perwujudan konsep ‘kesalehan individual dan kesalehan sosial’, dan (2) terbebas dari cengkeraman nafsu syahwat atau angkara yang cenderung membawa kepada tindakan destruktif terhadap kehidupan atau nafsu amarah dalam terma Al Ghazali (Ihyaa Ulumuddin).
Ketiga, syafaqah dan rahmah (kasih sayang) merupakan kemampuan dalam hubungan antarpribadi (interpersonal). Hal ini dimaknai sebagai tindakan/sikap memperlakukan orang lain dengan baik dan bersahabat. Penuh cinta kasih yang dicirikan, antara lain oleh sikap dan perlakuan hangat dalam menghadapi orang lain, kesediaan berbagi, pemurah, berbuat baik kepada orang lain, membantu orang lain dan penuh perhatian kepada orang lain, serta memahami atau merasakan perasaan orang lain (empati).
Keempat, kesetaraan atau persamaan bahwa derajat manusia di sisi Tuhan ialah sama. Oleh karenanya, ketakwaan menjadi parameter utama (determinant) untuk menentukan derajat seseorang bukan status sosial dan materi, seperti ras, harta benda, kekuasaan, atau pangkat.
Kelima, kesederhanaan (qanaah) dalam pengertian tidak kikir dan berlebih-lebihan (israf) atau boros dalam memenuhi kebutuhan hidup. Israf adalah membelanjakan harta di luar kemampuan, membelanjakan harta untuk foya-foya atau kegiatan maksiat. Selain itu, ibadah saum mengajarkan mensyukuri apa yang diperoleh dan menjadikan konsep halal dalam mengais rezeki.
Keenam, nidhaami fil mai’syah (aturan dalam kehidupan), yakni ibadah saum mengajarkan keteraturan dalam kehidupan. Makna dalam terminologi kontemporer adalah komitmen terhadap ketentuan atau aturan yang telah disepakati bersama dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. Baik dalam lingkup sempit/personal maupun lingkup luas seperti berbangsa atau kehidupan global.
Hal-hal di atas ialah beberapa nilai pokok yang terkandung dalam ibadah saum yang dapat dimanfaatkan atau diperlukan manusia untuk menata kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, baik di masa kini maupun masa depan.
Nilai-nilai pokok ibadah saum akan melahirkan sosok diri individu yang baik atau saleh, baik untuk dirinya maupun orang lain. Selanjutnya, ibadah saum semestinya menjadi alasan sosok invidividu untuk melahirkan komunitas yang saleh, baik untuk komunitas itu sendiri maupun untuk komunitas yang lebih luas.
Oleh sebab itu, mewujudkan nilai-nilai luhur tersebut memerlukan usaha sungguh-sungguh (jihad) dari individu masing-masing. Terutama pada masa Ramadan maupun sepanjang kehidupan.
Pada akhirnya, upaya ini juga harus menjadi tanggung jawab bersama masyarakat. Secara khusus, para pendidik baik yang bertugas di lembaga pendidikan formal seperti sekolah maupun di masyarakat dihadapkan pada tantangan untuk selalu memperbaiki pendekatan dan metode dalam menanamkan nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan. Wallahualam.(*)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/237953-puasa-sebagai-pendidikan-rohani