Oleh: Gamal Hadi
Mahasiswa Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
ISTILAH kutukan sumber daya alam (SDA) dipopulerkan oleh Richard M. Auty pada tahun 1993, yang menjelaskan tentang bagaimana negara-negara yang memiliki anugerah SDA yang melimpah apabila tidak mampu melakukan tata kelola terhadap SDA yang dimiliki dengan baik dan bijak untuk mencapai kesajahteraan dan kemakmuran rakyat, maka SDA yang dianggap anugerah itu pada akhirnya akan berubah menjadi kutukan dengan menyebabkan sejumlah permasalahan.
Pada tahun 2007 Humphreys, dkk dalam bukunya “Escaping The Resource Course/ Berkelit dari Kutukan Sumber Daya Alam” mengemukakan ada dua perbedaan utama yang menonjol yang membuat kekayaan SDA berbeda dari jenis-jenis kekayaan lainnya. Pertama kekayaan SDA tidak perlu diproduksi namun diekstraksi atau digali sehingga diperoleh tanpa terkait dengan proses ekonomi lainnya. Kedua adalah fakta bahwa banyak sumberdaya alam (khususnya tambang) tidak bisa diperbarui.
Dalam aspek ekonomi, kekayaan seperti itu kurang layak disebut sebagai sumber penghasilan (income) namun lebih tepat dikategorikan sebagai asset. Dikarenakan tidak dapat diperbaharui dan proses untuk mendapatkannya dilakukan dengan cara eksploitasi terhadap lingkungan, proses eksplorasi SDA selain memperoleh keuntungan ekonomi juga menciptakan eksternalitas baik terhadap lingkungan maupun terhadap struktur tatanan kehidupan masyarakat (Dutch Disease).
Sejak jaman penjajahan telah terjadi eksplorasi atas SDA di Indonesia hingga saat ini, dengan harapan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis dari kegiatan tersebut. Sebagai bangsa yang merdeka, tujuan dari eksplorasi SDA adalah untuk menciptakan kesejahteraan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 45 Pasal 33 ayat 3 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dalam pelaksanaannya, pemanfaatan SDA yang tidak dilakukan dengan baik menimbulkan berbagai implikasi yang menyebabkan tujuan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran sulit tercapai ataupun hanya tercapai sesaat saja seiring dengan berakhirnya kandungan SDA yang dieksplorasi.
Berakhirnya kandungan SDA tersebut akan menyisakan berbagai persoalan baru bagi daerah atau negara dari sisi lingkungan, ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Daerah atau negara penghasil SDA bagaikan menerima kutukan setelah anugerah.
Berangkat dari fenomena kondisi SDA tersebut menimbulkan satu pertanyaan besar bagi Indonesia, tidak terkecuali bagi wilayah Provinsi Maluku Utara yang saat ini mengandalkan sektor SDA sebagai salah satu sumber penopang pendapatan asli daearah (PAD): adakah harapan bagi Maluku Utara untuk berkelit dari kutukan SDA?
Pada masa otonomi daerah sekarang ini, fenomena kutukan sumber daya alam ikut membayangi. Daerah yang memiliki potensi SDA dan mengandalkannya sebagai sumber pendapatan terbesar terindikasi ada yang belum bijak dalam pengelolaannya.
Beberapa daerah penghasil sumber daya alam di Indonesia telah menunjukan dampak anomali bahwasanya tingginya pendapatan daerah yang diperoleh tidak berbanding lurus dengan indikator pembangunan yang dilaksakan, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Indeks Pembangunan Manusia (IPM) maupun Angka kemiskinan. Secara mikro fenomena kutukan SDA dapat diamati di Indonesia.
Beberapa wilayah, yang punya sumber daya alam melimpah terbukti memiliki IPM yang cukup rendah. seperti yang terjadi di Riau yang penghasil minyak terbesar, Aceh penghasil gas, serta Papua dengan tambang tembaga dan emasnya, dalam kenyataannya ketiga daerah tersebut memiliki angka kemiskinan dan buta huruf yang tinggi di Indonesia. Secara makro, pendapatan dari sektor SDA memang mempengaruhi pendapatan APBN namun secara mikro eksploitasi SDA yang dilakukan seperti buah simalakama bagi masyarakat lokal di sekitar tambang (Hutapea, 2015).
Humphreys, dkk mengemukakan ada sejumlah kondisi yang menyebabkan suatu daerah atau negara dapat mengalami kutukan SDA, dintaranya yaitu: 1) Penyakit Belanda (Dutch Disease), merupakan istilah yang menggambarkan kehancuran perekonomian suatu wilayah setelah SDA yang dimiliki telah habis dieksploitasi yang disebabkan karena kesalahan dalam mengelola keuntungan yang diterima dari ekspolitasi SDA tersebut.
2) Investasi pendidikan yang tidak memadai, pandangan bahwa SDA adalah asset yang jika semakin dieksploitasi maka akan semakin kehilangan asset, idealnya asset SDA yang hilang diganti dengan asset non SDA, dalam mengeksploirasi SDA sering dilupakan untuk bagaimana mempersiapkan SDM yang mempunyai keahlian dan kompetensi lain, sehingga apabila SDA sudah habis diproduksi, masyarakat mampu beradaptasi dan menggerakan sektor-sektor ekonomi lainnya.
Hal yang tidak kalah penting adalah aktifitas Eksploitasi SDA menimbulkan dampak eksternalitas negatif yaitu dampak lingkungan baik berbentuk fisik seperti penggundulan hutan, serta pencemaran air dan udara. juga bersifat sosial, yaitu hilangnya mata pencaharian masyarakat yang tadinya hidup dari hasil hutan, perairan maupun hasil pertambangan itu sendiri (Darc, Manik, & Hum, 2009).
Sebagai daerah yang mengandalkan SDA sebagai salah satu sumber PAD, perlu dilakukan kajian mendalam mengenai potensi kutukan SDA di Maluku Utara. Sepintas dapat terlihat gejala kutukan tersebut pernah terjadi di beberapa daerah pertambangan di Maluku Utara. Contohnya yang terjadi di Pulau Gebe. Ichi, (2018) dalam artikelnya Nasib ‘Penonton’ Kekayaan Pulau Gebe, menjelaskan Pulau Gebe yang kaya akan kandungan nikel, telah dilakukan eksplorasi sejak tahun 70-an hingga tahun 2004.
Dengan segala fasilitas dan kemudahan yang diberikan oleh perusahan kepada masyarakat serta kemudahan perputaran uang pada saat itu membuat masyarakat seperti terbuai dan dimanjakan oleh perusahan tambang. Masyarakat lebih bergantung pada sektor pertambangan dan meninggalkan sumber sektor ekonomi potensial yang dimiliki lainnya yaitu perikanan, kelautan, pertanian dan juga potensi pariwisata. Pasca dari kegiatan tambang menyisakan sejumlah kondisi dan permasalahan terhadap nilai tatanan sosial dan budaya serta permasalahan lingkungan.
Pulau Gebe yang tadinya tampak gemerlap bagaikan kota berubah menjadi seperti kota mati karena kehilangan dukungan fasilitas dan sumberdaya yang dulunya didapatkan dari perusahan tambang. Perputaran ekonomi menurun drastis karena kehilangan mata pencaharian, tatanan struktur eknomi dan sosial budaya mengalami perubahan, juga menyisakan dampak lingkungan penggundulan lahan dan kolam besar bekas tambang, serta dampak gangguan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang tidak hanya terjadi di darat tetapi juga berpengaruh sampai ke laut. Potret tersebut menggambarkan seakan pulau Gebe seperti menerima kutukan setelah sebelumnya menuai manfaat dari keuntungan SDA yang dimiliki.
Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara pada tahun 2018 tercatat lebih dari 7%, lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi nasional yaitu pada angka lebih dari 5%. Peningkatan pertumbuhan ekonomi tersebut bersumber dari sektor pertambangan yang melakukan aktifitas eksplorasi di Provinsi Maluku Utara. Provinsi Maluku Utara memiliki berbagai kandungan potensi SDA tambang yang terdiri atas nikel-kobal, tembaga, uranium, batubara, aluminium/bauksit, magnesit, pasir besi, emas, dan juga perak.
Dalam rencana pengembangan kedepan, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah memproyeksikan Pulau Halmahera sebagai pusat pengembangan SDA berbasis energi bersih karena Pulau Halmahera memiliki kekayaan SDA melimpah baik pertambangan logam, perikanan, pertanian, maupun potensi panas bumi (wartaekonomi.co.id, 2018)
Melihat potensi SDA yang dimiliki serta proyeksi pengembangan kedepan, Maluku Utara harus mempersiapkan diri bagaimana memanfaatkan kekayaan SDA yang dimiliki dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, tidak hanya pada masa eksplorasi tambang berlangsung tetapi juga dipersiapkan pada saat pasca eksplorasi tambang bagaimana masyarakat mampu beradaptasi dan memiliki daya lenting sehingga mampu menata kembali struktur tatanan ekonomi dan sosial budaya tanpa dipengaruhi oleh ketergantungan terhadap sektor pertambangan.
Dari hasil studi literatur dan data sekunder serta analisis penulis, penulis merumuskan kesimpulan terkait rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam upayan untuk menghindar dari kutukan SDA yaitu sebagai berikut:
- Merumuskan dan mengimplementasi kebijakan strategis pencegahan efek Dutch Disease sebagai “strategi daya lenting” untuk membangkitkan pertumbuhan ekonomi yang menurun apabila kandungan SDA telah habis dieksplorasi. Program yang dapat dilakukan antara lain yaitu: Pengembangan sektor industri hilir dalam negeri yang terintegrasi sebagai industri turunan yang menciptakan nilai ekonomi memanfaatkan hasil SDA yang dihasilkan; Menumbuhkan sektor-sektor ekonomi lainnya sebagai sektor andalan selain sektor SDA pertambangan agar menciptakan diversifikasi sektor pendorong pertumbuhan ekonomi; dan Mencadangkan dana cadangan sebagai tabungan untuk mengantisipasi efek Dutch Disease ketika SDA telah habis dikelola serta dampak lingkungan yang ditimbulkan. Contohnya seperti kebijakan strategis Dana Abadi Minyak Bumi dan Gas Alam yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro.
- Meningkatkan investasi di bidang pendidikan khususnya bagi masyarakat di daerah kawasan tambang sehingga mendorong peningkatan kompetensi sumber daya manusia yang mampu berinovasi dan menciptakan peluang sehingga dapat mandiri, dan berkompetisi untuk mendapatkan nilai ekonomi dari sektor lain, tidak hanya bergantung pada sektor SDA pertambangan saja.
- Mengurangi ketergantungan terhadap SDA pertambangan sebagai sumber utama pendapatan daerah dengan mengembangakan potensi andalan daerah yang lain misalnya perikanan, pertanian, atau jasa.
- Pengawasan internal untuk peningkatan efektivitas pengendalian, yang dapat dilakukan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan pengawasan internal lainnya.
Dari penelitian yang pernah dilakukan, secara umum menegaskan bahwa Indonesia mampu untuk berkelit dari kutukan SDA. Kunci utama yang dilakukan agar bisa terhindar dari kutukan SDA adalah terletak pada manajemen tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang semata-mata bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi rakyat.(*)