OpiniZona Kampus

Tradisi Menjelang Puasa Ramadhan di Minangkabau

×

Tradisi Menjelang Puasa Ramadhan di Minangkabau

Sebarkan artikel ini
suasana di suangai jelang ramadhan bagi warga Minangkabau

Oleh: Givel Aftriyade,

(Mahasiswa Universitas Andalas jurusan Sastra Minangkabau)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tradisi adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan adat, kepercayaa, kebiasaan, dan ajaran yang berasal dari nenek moyang dan terus dilakukan secara turun tumurun. Tradisi juga diartikan sebagai suatu kebiasaan yang berkembang di masyarakat, baik yang menjadi adat kebiasaan, atau yang diasimilasikan dengan ritual adat atau agama. Dan dalam pengertian yang lain, sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Tradisi merupakan sebuah persoalan dan lebih penting lagi adalah bagaimana tradisi tersebut terbentuk.

Tradisi dimaknai sebagai pengetahuan doktrin, kebiasaan, praktek dan lain-lain yang dipahami sebagai pengetahuan yang telah diwariskan secara turun-tumurun termasuk cara penyampaian doktrin dan praktek tersebut. Tradisi dapat diartikan sebagai sekumpulan praktek dan kepercayaan yang secara sosial ditransmisikan dari masa lalu, atau warisan kepercayaan atau kebiasaan dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya. Praktek dan kepercayaan ini dipandang memiliki otoritas pada zaman sekarang karena berasal dari masa lalu.

Istilah lain tradisi merupakan suatu adat kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun dan masih dilaksanakan oleh masyarakat atau merupakan suatu penilaian bahwa cara-cara yang telah ada adalah cara yang dianggap paling baik. Berikut ini akan dijelaskan beberapa tradisi yang berkembang dari zaman dahulu sampai sekarang di Minangkabau menjelang masuknya bulan suci Ramadhan:

  1. Malamang

Malamang adalah tradisi nenek moyang masyarakat Sumatra Barat yang dilakukan oleh kaum ibu-ibu. Malamang dipastikan tidak ada hubungan dengan adat Minangkabau. Ini murni berkaitan dengan ajaran Syekh Burhanuddin. Malamang, sebutan yang biasa masyarakat gunakan, berarti memasak lemang yang terbuat dari penggabungan antara beras ketan putih dan santan yang dimasukkan ke dalam bambu yang dijadikan sebagai simbol saat beberapa hari memasuki bulan suci Ramadhan. Cara memasaknya adalah dengan mendirikan batang bambu lemang di atas tungku khusus pembakaran.

Tradisi malamang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam dan berlangsung secara turun temurun sampai sekarang. Menurut tambo (kisah yang meriwayatkan tentang asal usul dan kejadian masa lalu yang terjadi di Minangkabau), tradisi ini berlangsung dari peran Syekh Burhanuddin (pembawa ajaran Islam di Minangkabau). Saat itu Syekh Burhanuddin melakukan perjalanan ke daerah pesisir Minangkabau untuk menyampaikan agama Islam serta bersilaturrahmi ke rumah penduduk.

Dari kunjungannya, masyarakat sering memberikan makanan yang masih diragukan kehalalannya. Dia pun menyarankan kepada masyarakat yang dikunjungi agar mencari bambu, kemudian mengalasnya dengan daun pisang muda. Setelah itu dimasukan beras ketan putih dan santan, kemudian dipanggang di atas tungku kayu bakar. Syekh Burhanuddin pun menyarankan kepada setiap masyarakat agar menyajikan makanan lamang ini menjadi simbol makanan yang dihidangkan dalam silaturahim. Tradisi ini bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan sebagai bagian dari kebiasaan masyarakat yang dilakukan secara bersama oleh sekelompok atau kerabat. Tujuannya untuk sarana berkumpul dan mempererat tali silaturahmi menunggu datangnya Bulan Ramadhan.

  1. Balimau

Balimau adalah tradisi mandi menggunakan jeruk nipis yang berkembang di kalangan masyarakat Minangkabau dan biasanya dilakukan pada kawasan tertentu yang memiliki aliran sungai dan tempat pemandian. Diwariskan secara turun temurun, tradisi ini dipercaya telah berlangsung selama berabad-abad. Latar belakang dari balimau adalah membersihkan diri secara lahir dan batin sebelum memasuki bulan Ramadan, sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu menyucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa. Secara lahir, menyucikan diri adalah mandi yang bersih. Zaman dahulu tidak setiap orang bisa mandi dengan bersih, baik karena tidak ada sabun, wilayah yang kekurangan air, atau bahkan karena sibuk bekerja maupun sebab yang lain. Saat itu pengganti sabun di beberapa wilayah di Minangkabau adalah limau (jeruk nipis), karena sifatnya yang melarutkan minyak atau keringat di badan.

  1. Marandang

Sejarah, budaya, dan tradisi Minangkabau banyak diwariskan secara lisan. Hal tersbut menyebabkan sulitnya menemukan kapan mulai dilakukan dan bagaimana asal-muasal tradisi marandang. Namun, tradisi marandang yang masih eksis di masa kini, secara tidak langsung merupakan bukti bahwa tradisi ini sudah dilakukan secara turun temurun. Marandang dan Minangkabau adalah dua hal yang tak terpisahkan. Di mana ada hari besar, maka di sana akan ada randang sebagai sajian utama. Ketika menyambut Ramadhan, satu atau dua hari sebelum puasa aroma wangi randang biasanya sudah tercium dari dapur masyarakat. Aromanya yang khas sangat menggugah selera, apalagi banyak yang memasak di luar rumah dengan tungku.

  1. Manjalang Mintuo

Manjalang atau mengunjungi mintuo (mertua) dilakukan oleh perempuan yang telah punya suami di Minangkabau saat menjelang bulan puasa. Manjalang mintuo merupakan upaya menantu perempuan bersilaturahmi dengan mertua dan keluarga besar suaminya. Tradisi ini menjadi rutinitas bagi perempuan Minangkabau, terutama yang baru menikah. Tradisi manjalang mintuo merupakan tradisi turun temurun orang Minang dalam bersilaturahmi ke rumah mertua.

Manjalang mintuo tidak hanya sebatas kunjungan antara menantu ke rumah mertua, namun ini juga menjadi simbol keakraban kedua belah pihak antara keluarga laki-laki dan perempuan. Karena pada acara manjalang mintuo, sang menantu tidak datang sendirian namun ditemani oleh kedua orang tua kerabat dekat lainnya. Artinya selain mempererat hubungan antara menantu dengan mertua akan tetapi juga mempererat hubungan antara besan, serta semua keluarga terdekat sang menantu.

Manjalang mintuo, bagi perempuan yang baru menikah menjadi suatu hal yang tidak boleh ditinggalkan. Bahkan, akan dinilai lebih baik jika turut mengunjungi saudara orang tua. Jika pasangan suami istri baru pertama kali melakukan manjalang mintuo, biasanya sang istri juga membawa beberapa keluarga dekatnya untuk manjalang ke orang tua suami. Selain untuk menjaga silahturahmi, juga sebagai salah satu bentuk bakti seorang menantu kepada mertuanya di ranah minang.Meski tradisi tersebut sudah menjadi turun-temurun, namun tak jarang jika sebagian masyarakat tidak melaksanakan. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ekonomi dan lain-lain.(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *