FeatureMaluku UtaraPeristiwa

Pilih Kabur dari Tempat Karantina karena Tak Ada Bantuan untuk Keluarga di Rumah

×

Pilih Kabur dari Tempat Karantina karena Tak Ada Bantuan untuk Keluarga di Rumah

Sebarkan artikel ini
Potongan video yang memperlihatkan sejumlah pasien Covid-19 meninggalkan Grand Sahid Hotel Ternate

Dilemanya Pasien Covid-19 yang Dikarantina di Grand Sahid Hotel

HARIANHALMAHERA.COM – “Dikurung” berminggu-minggu di Grand Sahid Hotel Ternate meninggalkan nafkah kepada anak istri di rumah yang harus bergelut dengan urusan perut dan kebutuhan lainnya, siapapun tentu tidak akan tega dengan situasi ini.

Kondisi dilematis inilah yang dihadapai sejumlah pasien Covid-19 yang kemarin terpaksa memutuskan meninggalkan tempat karantina secara diam-diam. Indien itu membuktikan bahwa penanganan pasien Covid-19 baik dari sisi medis maupun ekonomi sosial oleh gugus tugas selama ini ternyata tidak berjalan sama sekali.

Dalam rekaman video yang viral di sosial media kemarin, sebagian pasien berstatus PDP (pasien dalam pengawasan) dan postifi Covid-19 yang meninggalkan Grand Sahid Hotel ini mengaku selain jenuh karena terlalu lama di karantina, mereka juga terpaksa harus kembali ke rumah karena tak tahan melihat anak istri di rumah yang terancam kelaparan lantaran tidak ada bantuan yang diberikan pemerintah sebagaimana yang dijanjikan.

“Torang pe listrik di rumah juga sudah dikasi putus, kost-kosan dong tara bayar akhirnya dapa kasi kaluar,” teriak salah satu pasien saat hendak dijemput petugas medis yang mengenakan APD lengkap di tengah jalan.

Beberapa petugas sempat ketakutan mendekati para pasien lantaran tidak menggunakan APD. Alhasil mereka hanya bisa mengikuti  dari jarak jauh sambil berteriak kepada para pasien yang kabur itu agar segera kembali.

Hingga berita ini ditulis, belum ada keterangan resmi pihak gugus tugas (gustu) percepatan penanganan Civid-19 Malut terkait insiden tersebut. Namun, Kepala Biro Kerja Sama dan Komunikasi Publik (KKP) Malut Mulyadi Tutupoho mengakui para pasien ini memilih kabur karena jenuh sebab berminggu-minggu hanya berada di kamar. “Sekarang mereka sudah  di masukan kembali denggan tertib,” terang Mulyadi.

Dia menyebutkan, jumlah pasien yang sudah diamankan petugas adalah delapan orang. Padahal, dalam video yang beredar, mereka yang kabur diperkirakan jumlahnya 10-11 orang.

Direktur LSM Rorano Malut, Asghar Saleh menilai, inside ini membuktikan bahwa penanganan medis dengan sosial ekonomi dan sebagainya belum seimbang. “Karena ini bencana maka penanganannya harus simultan dan komprehensif. Satu kali tangani samua aspek. Tidak bisa terpisah,” katanya.

Dalam insiden di Sahid itu, dia melihat wajar jika alasan para pasien ini karena tidak ada jaminan kepada keluarga. Apalagi sebagian besar pasien yang dikarantina adalah laki laki dan kepala keluarga yang selama ini menafkahi hidup mereka. “Sebulan atau lebih dikarantina itu memukul ekonomi keluarga mereka,” ucapnya.

Bagi dia, dimanapun bencana selalu mengakibatkan terputusnya siklus hidup. Ada rutinitas yang hilang. Ada tanggungjawab yang tak bisa dilakukan. “Karena di karantina, fungsi sebagai pemberi nafkah hilang. Keluarganya susah. Sebulan tidak ada uang. Harus ada yang mengganti peran ini. Siapa? Pemerintah daerah. Mengapa Pemda? Karena ini bencana nasional. Kan tiap daerah ada SK Tanggap Darurat Bencana. SK itu tidak sebatas karantina orang tetapi memastikan seluruh kehidupan sosial ekonomi keluarga pasien berjalan normal. Tidak terputus karena kepala keluarganya positif,” ucapnya.

Karena Pemprov sudah menangani aspek kesehatan, maka untuk urusan sosial ekonomi keluarga pasien harus menjadi jadi tanggung jawab Pemkab/Pemkot.

“Ini tanggap darurat Bencana. Wajib hukumnya setiap Pemda membiayai hidup KK pasien positif atau yang sedang dikarantina karena itu bagian dari alur penanganan bencana. Namanya Dukungan Psikososial,” ucapnya.

“Katanya punya dana miliaran. Kalo satu KK yang sementara dikarantina disubsidi 3 juta per  bulan untuk beli beras, bayar listrik dan air, beli ikan, beli susu untuk anak mereka, pasti tidak sampai 100 juta. Masa tidak bisa?,” sambung mantan anggota DPRD Kota Ternate ini.

Dikatakan, para pasien ini seharusnya dijaga kondisi imumnya. Mereka jangan sampai dibuat stress karena memikirkan keluarga di rumah yang terancam kelaparan. “Jika stres, imunitas tidak akan tumbuh. Mudah sakit. Dan itu membuat proses penyembuhan lama,” terangnya.

Dia pun menegaskan anggaran Darurat itu tak sekedar membiayai posko dan sebagianya, namun juga subsidi hidup keluarga dari mereka yang lagi dikarantina. “Agar mereka tenang jalani karantina dan cepat sembuh. Biar hidup samua bisa normal lagi,” pungkasnya.(lfa/pur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *