HARIANHALMAHERA.COM— Rasanya tidak mungkin terjadi jual beli suara. Pasalnya, penghitungan dilakukan secara terbuka. Disaksikan banyak orang, termasuk para saksi, baik dari masing-masing caleg, parpol, maupun lembaga-lembaga independen.
Namun, tidak demikian bagi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Lembaga yang dikomandoi Abhan ini justru mewaspadai praktik politik uang melalui jual beli suara dalam Pemilu 2019. Bahkan, Bawaslu mencatat ada delapan modus jual beli suara yang mungkin terjadi selama penyelenggaraan Pemilu.
Kemungkinan tersebut ternyata didasari oleh pengamatan Bawaslu terhadap aktivitas Pemilu, baik di dalam maupun luar negeri selama ini. “Kami prediksi ada delapan modus money politic dalam bentuk jual beli suara,” kata Tim Asistensi Bidang Hukum Bawaslu Bachtiar Baital di Hotel Ashley, Jakarta, Jumat (5/4), melansir katadata.co.id.
Bachtiar menjelaskan, salah satu modus jual beli suara adalah dengan memanfaatkan sisa surat suara yang tidak terpakai di TPS untuk dicoblos. Kemudian, surat suara tersebut nantinya diberikan kepada kubu yang sudah memesan.
Modus kedua, lanjutnya, dengan menuliskan hasil yang berbeda antara hasil pada lembar C1 plano dengan penulisan hasil pada formulir C1. Modus ketiga dilakukan oleh Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dengan mengalihkan perolehan suara dari satu atau lebih calon kepada calon lainnya dari partai politik yang sama di satu daerah pemilihan.
Kemudian, modus keempat dilakukan dengan mengalihkan suara calon yang tidak memiliki kemungkinan terpilih dengan atau tanpa persetujuan bersama. Modus selanjutnya dilakukan dengan mengalihkan suara yang diterima partai politik secara langsung dari pemilih kepada calon lain, dengan persetujuan PPK atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Selanjutnya, modus tersebut dilakukan dengan cara calon dan saksi partai politik meminta persetujuan KPPS dan PPK. Mereka berdalih pengalihan suara merupakan urusan internal partai politik. Modus ketujuh dilakukan dengan mengalihkan suara melalui perantara.
“Hal itu dilakukan dengan membayar sejumlah uang,” ungkapnya.
Terakhir, Bachtiar menyebut modus kecurangan yang mungkin saja terjadi, yakni berupa penambahan atau pengurangan suara caleg atau partai politik dengan mengganti angka di belakang dan depan. Hal itu agar terkesan tidak teliti dalam proses rekapitulasi. Namun, untuk mengatasi modus tersebut, Bachtiar mengatakan Bawaslu telah menyiapkan strategi pencegahan.
“Dengan fungsi dan kewenangan yang kami punya, kami akan berusaha melakukan pencegahan kemungkinan terjadinya modus seperti itu,” kata dia.
Bawaslu sebelumnya mencatat ada 28 kasus pelanggaran Pemilu 2019 yang telah diputuskan dalam persidangan. Dari jumlah tersebut, pelanggaran berupa politik uang paling banyak terjadi.
“Paling banyak dari 28 (kasus) itu persoalan politik uang,” kata Ketua Bawaslu Abhan di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (11/2).
Politik uang terjadi dengan berbagai macam modus, seperti membagikan sembako kepada masyarakat. Kemudian ada pula praktik politik uang yang langsung dilakukan dengan memberikan uang kepada para pemilih atau bahkan mengiming-imingi sesuatu untuk menambah jumlah suara pemilih.
Hal tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Calon Anggota Legislatif dari Partai Amanat Nasional (PAN) DPRD DKI Mandala Shoji dan Lucky Andriani. Mandala dan Lucky ketahuan membagikan kupon undian berhadiah umrah ketika berkampanye di Pasar Gembrong Lama, Johar Baru, Jakarta.(kdc/fir)
Catatan: Berita ini sudah tayang di edisi cetak Harian Halmahera pada Senin, 8 April 2019