Hari-hari ini para kandidat kepala daerah sibuk bukan main. Mereka berburu surat rekomendasi parpol untuk bekal mengikuti pilkada. Segala cara bisa ditempuh. Ketika jalur resmi buntu, jalan basah pun bisa dipilih.
==
HARIANHALMAHERA.COM–LOBI salah satu hotel di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pagi itu terlihat ramai. Beberapa orang terlihat duduk di sofa panjang, tak jauh dari meja resepsionis. Di antara tamu yang duduk itu, ada seorang pejabat pemerintah asal Sulawesi. Usianya sekitar 50 tahun.
Dia menginap di hotel tersebut bersama beberapa pengurus partai dari daerah yang sama. ”Saya yang membiayai operasional mereka,” ujar pejabat itu.
Peristiwa tersebut terjadi sebelum pandemi Covid-19. Pejabat itu tengah mengikuti prosedur penjaringan bakal calon kepala daerah (bacakada) di tingkat pusat. Mengikutsertakan rombongan politisi daerah adalah konsekuensi dari prosedur itu. Termasuk mengeluarkan anggaran operasional perjalanan yang tidak sedikit.
Tahapan penjaringan selesai beberapa bulan kemudian. Pejabat itu menunggu pengumuman rekomendasi partai politik (parpol). Rekom tersebut adalah tiket agar dia bisa mendaftar sebagai calon kepala daerah (cakada). Pandemi Covid-19 membuat tahapan pilkada mundur. Begitu pula pengumuman rekom partai. Sesuai dengan jadwal, pendaftaran calon kepala daerah dibuka pada 4–6 September 2020.
Meski tahapan pilkada mundur, lobi-lobi tetap berlangsung di tengah pandemi. Nyaris semua partai memberikan penawaran kepada cakada sebelum rekom dikeluarkan. Baik berupa nama calon wakil maupun dukungan logistik untuk pilkada. Ada juga tawar-menawar harga untuk sebuah rekom. Negosiasi besaran angka itulah yang membuat resah pejabat tersebut.
Dia menceritakan, tarif sebuah rekom bakal calon wali kota (bacawalkot) secara terang-terangan disampaikan oknum yang mengaku memiliki kedekatan dengan elite salah satu partai. Harga awal yang ditawarkan Rp 10 miliar. ”Tidak ada bahas tentang ideologi. Yang ada bahas uang,” ungkap pria yang enggan disebutkan namanya itu.
Ada pula oknum yang membuka penawaran di angka Rp 2,5 miliar. Belakangan, angka penawaran itu naik dua kali lipat karena perebutan rekom yang makin ketat. Kemudian, ada juga yang ”menjual” rekom dengan besaran menyesuaikan jumlah kursi di DPRD. Satu kursi dihargai Rp 500 juta. ”Yang dijanjikan tidak hanya rekom, tapi juga jaminan mesin partai di daerah bergerak,” katanya.
Menjelang turunnya rekomendasi parpol seperti sekarang ini, makelar politik berkeliaran mencari mangsa. Misalnya, yang diceritakan seorang aparatur sipil yang berdinas di salah satu institusi negara. Dia mengaku bisa membantu memuluskan rekomendasi salah satu partai. Dengan catatan, ada tanda jadi untuk operasional. ”Minimal (tanda jadi) Rp 500 juta. Kalau rekom gagal, uang kembali,” ujarnya.
Makelar lain mengatakan hal yang sama. Menariknya, makelar yang satu ini bekerja sebagai tukang pijat panggilan di salah satu platform digital. Kepada Jawa Pos, dia mengaku memiliki kenalan elite partai yang bisa memuluskan keluarnya rekom untuk bakal calon. Setingkat pimpinan DPP. ”Kalau rekom keluar, nanti saya minta fee,” tuturnya.
Aroma praktik ”makelar” dalam memburu rekom calon kepala daerah juga tercium di lingkungan parlemen. Mereka kerap mengantarkan si calon atau utusan calon untuk bertemu dengan anggota dewan. Dari sana, anggota dewan itu akan menyambungkan dengan ketua partai. Biasanya, anggota dewan tersebut merupakan pejabat teras sekaligus orang dekat ketua umum partai.
Misalnya, yang ditemui Jawa Pos pada awal Juli lalu. Saat itu seorang pengurus parpol mengantar sekelompok orang. Mereka ingin bertemu dengan seorang pimpinan fraksi. Tujuannya, urusan pencalonan kepala daerah. Namun, pengurus parpol itu mengaku tidak mendapat keuntungan apa pun. ”Saya hanya mengantar. Paling-paling cuma diberi uang transpor,” kilahnya.
Dia menolak bahwa aktivitasnya dianggap bagian dari kerja makelar politik. Dia berdalih, sebagai pengurus DPP, dirinya merasa terpanggil untuk ikut membesarkan partai. Minimal dalam momen pemenangan pilkada.
Politik uang menjelang pilkada bukan barang baru. Direktur Pendidikan dan Pelayanan Masyarakat (Dikyanmas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Giri Suprapdiono mengungkapkan, korupsi di sektor politik dan mahalnya biaya politik memang menjadi pekerjaan rumah (PR) besar bangsa ini. ”Praktik politik berbiaya mahal kerap menimbulkan politik transaksional.”
Salah satu masalah pilkada yang menjadi perhatian KPK adalah potensi munculnya biaya tinggi kontestasi. KPK melihat potensi benturan kepentingan dalam pendanaan pilkada. Salah satunya ditunjukkan dengan pengeluaran dana pilkada yang melebihi harta kas paslon. Kajian KPK pada Pilkada 2017 menyebutkan, sekitar 47,3 persen paslon mengeluarkan dana pilkada melebihi harta kas.
Mahar politik, kata Giri, menunjukkan realitas bahwa pilkada masih berbiaya mahal. Berdasar kajian penelitian dan pengembangan (litbang) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menjadi studi KPK, dana yang dihabiskan untuk menjadi bupati/wali kota mencapai Rp 30 miliar. Sementara itu, pemilihan gubernur sampai Rp 100 miliar.
Tingginya biaya itu mendorong kepala daerah melakukan korupsi untuk menutupi modal pencalonan. Data KPK menyebutkan, hingga 31 Desember 2019, tercatat 397 kasus korupsi yang melibatkan politisi. Di antaranya, menyeret 21 gubernur dan 119 bupati/wali kota. ”Ada keterkaitan kuat antara tingginya biaya politik dan praktik korupsi kepala daerah,” imbuh dia.
Giri menambahkan, parpol semestinya dikelola secara transparan, demokratis, dan akuntabel. Baik terkait dengan tata kelola sumber daya manusia (SDM), pengelolaan aset, sumber finansial, maupun manajemen partai sebagai organisasi modern. Termasuk dalam hal mengambil keputusan rekomendasi.
Hasil penelitian KPK dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan, ada beberapa faktor utama yang mengakibatkan parpol tidak berintegritas. Yakni, tidak adanya standar etik partai dan politisi, rekrutmen politik dan kaderisasi yang masih tradisional, pendanaan yang tidak transparan, serta tidak berjalannya demokrasi internal.
”Harus ada keputusan politik yang kuat agar masalah politik yang tidak rasional ini segera diselesaikan sampai akarnya,” terang mantan direktur gratifikasi KPK itu. ”Kalau tidak diselesaikan, penegak hukum akan terus sibuk dengan penanganan perkara politik saja,” imbuh dia. (jpc/pur)