HARIANHALMAHERA.COM – Ancaman pidana tidak membuat masyarakat takut menerima politik uang atau jual beli suara di pilkada 2020 mendatang. Berdasar survei Sindikasi Pemilu dan Demokrasi bersama Institut Riset Indonesia, mayoritas pemilih akan menerima ’’uang sogokan’’ tersebut.
Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Dian Permata menjelaskan, persentase pemilih yang menyatakan bersedia menerima politik uang relatif tidak jauh berbeda. Berada di kisaran 60 sampai 64 persen.
”Rata-rata sekitar 62 persen pemilih mengaku akan menerima ketika ditawari politik uang beserta perangkat turunannya dari kandidat,’’ ujarnya dalam diskusi virtual kemarin (2/7).
Alasan warga yang menyatakan mau menerima pun sangat sederhana. Mayoritas mengganggap politik uang sebagai rezeki. Sementara itu, sebagian lainnya menganggap sebagai uang pengganti tidak bekerja karena harus datang ke tempat pemungutan suara (TPS). ’’Sebagai tambahan untuk kebutuhan dapur dan mencukupi kebutuhan seharihari,” imbuhnya.
Untuk jenis ’’pelicinnya’,’ baik di Jawa, Sumatera, maupun Kalimantan menginginkan berbentuk uang. Besarannya cukup beragam.
Di Jawa, sebagian besar mematok nominal di atas Rp 100 ribu. Di Sumatera, mayoritas cukup antara Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu.
Meski 62 persen publik mau menerima politik uang, tidak semua orang menjamin akan mencoblos sesuai keinginan pihak pemberi. Hasil survei menunjukkan, efektivitasnya di bawah 60 persen. Bahkan, di Jawa angkanya di bawah 50 persen. Hal itu menunjukkan adanya kelompok masyarakat yang hanya menjadikan pilkada sebagai momen mengeruk keuntungan tanpa memengaruhi pilihan politiknya.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Abhan menyatakan, potensi politik transaksional pada pilkada 2020 cukup terbuka. Apalagi, kondisi keuangan masyarakat tidak cukup baik akibat pandemi. ”Ekonomi kurang baik, money politics bisa tinggi. Ada relasinya ekonomi dengan politik,’’ ujarnya.
Dari sisi hukum, Abhan menyebut UU No 10 Tahun 2016 sudah cukup progresif. Pemberi dan penerima politik sama-sama bisa dijerat. Namun, dalam implementasinya, ancaman itu membuat sebagian masyarakat enggan melaporkan karena takut ikut terjerat.
Imbasnya, yang benar-benar bisa terjerat saat ini hanya yang berasal dari operasi tangkap tangan. Sementara laporan masyarakat sangat minim. ’’Di pilkada 2018 lalu, ada 22 kasus yang sampai ke putusan pengadilan,’’ katanya.
Untuk pasangan calon, UU No 10 Tahun 2016 juga menerapkan sanksi administrasi berupa pembatalan dari pencalonan. Namun, syaratnya harus memenuhi unsur terstruktur, sistematis, dan masif.
Dalam praktiknya, pembuktiannya sulit dilakukan. Apalagi, UU hanya memberi waktu Bawaslu lima hari kerja untuk pembuktian.
Anggota KPU RI Hasyim Asyari menambahkan, persoalan politik uang memang tidak bisa diselesaikan dengan hukum semata. Sebab, fenomena itu sudah menjadi budaya di masyarakat. ’’Bahkan, ada kampung-kampung yang membuat spanduk menerima money politics,’’ ujarnya.
Untuk itu, selain penegakan hukum, Hasyim menilai perlu upaya lain. Misalnya dengan melakukan sosialisasi masif atau melakukan gerakan yang melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat.(jpc/pur)