HARIANHALMAHERA.COM – Arus balik gelombang menghempas sebuah longboat di Dermaga Sulamadaha, Ternate Barat. Gulungan ombak membuat bagian buritan terangkat tinggi, lalu terhempas ke bawah dan oleng ke kiri dan kanan tak karuan.
Seorang ABK fokus menahan sisi kanan bodi longboat agar tidak terbentur ke dinding dermaga. Sementara, sejumlah calon penumpang terlihat antre dengan raut wajah yang waswas.
Lokasi tersebut menjadi satu-satunya akses penyeberangan masyarakat Pulau Hiri di Kota Ternate. Meski sedang dalam tahap pengerjaan, namun kesan asal-asalan tampak terlihat jelas.
Setidaknya, ini bermula dari pembangunan Kantor Perhubungan di area pelabuhan. Pantauan Harian Halmahera di pertengahan November, gedung yang dikerjakan CV. Pelita Cahaya dengan anggaran Rp200 juta itu, diduga hanya direnovasi.
Tiang lama dari bangunan yang awalnya ruang tunggu itu, tidak dibongkar. Hanya menyesuaikan dengan pemasangan batako dari setiap sudut tiang lama yang lapuk termakan usia. Di sisi lain, fondasi dibangun menempel ke fondasi lama.
Padahal dalam nomenklatur tertulis ‘dibangun baru.’ Nanti ketika diprotes oleh Aliansi Masyarakat Pulau Hiri (AMPUH) – yang konsisten mengawal proses pembangunan – barulah bangunan tersebut dibongkar pada Rabu sore (18/11).
Di sektor laut, proyek pembangunan talud atau bronjong dibawa tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Ternate. Nilai proyek yang bersumber dari APBD sebesar Rp174.637 itu, dikerjakan oleh CV. Adiguna Sarana.
Salah satu pemuda Hiri yang tergabung dalam AMPUH, Zulkifli Tomahir, kepada Harian Halmahera, mengira yang dibangun lebih dulu adalah talud pemecah ombak.
“Dari situ baru tambatan perahu dari belakang. Tapi ini tarada (tidak), dorang (mereka – kontraktor) bangun tambatan kamuka (duluan). Akhirnya gelombang pantai masuk leluasa,” tuturnya.
Pernyataan Zulkifli seakan relevan dengan kondisi fondasi tambatan. Dari video yang beredar, fondasi yang baru dibangun tampak mengantung. Terlihat jelas struktur fondasinya tak rapat ke permukaan tanah.
Jika berlangsung dalam waktu lama, dikhawatirkan terjadi penurunan permukaan tanah, dinding, hingga struktur beton yang bisa saja bakal colapse lantaran tak mampu membendung kekuatan arus dan gelombang pantai.
Dalam proyek di areal dermaga, Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Ternate bertanggungjawab pada 4 item. Seperti dermaga dengan anggaran Rp1.670 miliar, ruang tunggu Rp700 juta, kantor pelabuhan Rp200 juta, dan tempat parkiran Rp100 juta. Totalnya Rp2.670 miliar dan dikerjakan CV. Cahaya Pelita.
Sedangkan Dinas PUPR Kota Ternate bertanggung jawab pada pembangunan talud dengan anggaran Rp175 juta, sekaligus pengerukan jembatan Pulau Hiri yang dianggarkan Rp175 juta.
Sebelumnya, Kepala Dishub Kota Ternate, Faruk Albaar, mengaku seharusnya proyek tersebut dikerjakan di 2021. “Tapi karena didesak, jadi harus bikin. Supaya orang (masyarakat) tahu torang (kami) bikin,” tutur Faruk menanggapi pembongkaran Kantor Perhubungan.
Saat ditanya, apakah dengan prinsip demikian membuat seluruh proyek terkesan dikerjakan asal-asalan, Faruk murka. “Ngana (Anda) wartawan kok bilang (kerja) asal-asalan itu keliru,” tegas Faruk, lalu mematikan sambungan telepon.
Salah satu pemuda Hiri, Ardian Kader, merasa seakan dikhianati Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate. Sebab dermaga yang baru beberapa kali diuji coba oleh para motoris longboat dan warga Hiri, bagian alas dermaga terlihat hancur dihantam ombak.
“Padahal dari awal Pemkot sudah tahu, bahwa lokasi pelabuhan memang rawan ombak. Tetapi pengerjaan di lapangan seperti tidak menunjukkan pertimbangan matang,” urainya.
Sudah begitu, lanjut dia, beberapa kali Pemkot Ternate diajak audiens tak pernah digubris. “Kami sudah menyurat beberapa kali, tapi tidak pernah respon. Ini kurang ajar namanya,” tegasnya.
Hal senada diungkapkan Syahroni A. Hirto. Akademisi Ilmu Administrasi Negara Universitas Muhammadiyah Maluku Utara ini menegaskan, proyek tersebut bisa dibilang asal buat. “Dan itu sangat tidak dibenarkan,” tandasnya.
Menurut pria asal Pulau Hiri ini, kondisi di lapangan sangat jauh dari ekspektasi masyarakat. “Ada kesan menyepelekan di sini. Karena tidak ada rencana yang matang,” katanya.
Bahkan, permintaan melampirkan gambaran perencanaan lewat papan informasi di lokasi proyek, belum juga dilaksanakan. “Jangan – jangan papan proyeknya juga belum ada,” jelasnya.
Ini kemudian diperparah dengan sikap dan bentuk komunikasi Kepala Dishub Kota Ternate, Faruk Albaar, yang terkesan tertutup dan tidak kooperatif menjalankan tugas dan fungsinya.
“Minimal kan dia bisa sampaikan, sejauh mana progres pengerjaannya di lapangan, bagaimana sikapnya melihat kesan asal-asalan itu,” terangnya.
Menurut Syahroni, ini penting agar memperkecil sikap apatis dan kepercayaan masyarakat terhadap Wali Kota Burhan Abdurrahman di akhir masa jabatannya.
“Saya harap di akhir masa jabatannya, Bapak Wali Kota menyikapi persoalan ini yang dibuktikan dengan lembaran ABPD 2021 nanti,” harapnya.
Sementara, Presidium Madopolo Keluarga Malamo Tarnate, M. Ronny Saleh, mengakui bahwa sejak awal pembangunan dermaga Pulau Hiri di Kota Ternate, pemerintah terkesan tidak serius.
Menurut dia, sejatinya proyek dermaga tersebut mudah saja. Apalagi di masa kepemimpinan Burhan Abdurrahman selama 10 tahun. “Karena logisnya, pemerintah itu tidak ada yang tidak bisa. Semua tergantung kemauan,” tandasnya.
Sebab, kata dia, hampir semua kewenangan berupa kebijakan hingga penganggaran ada pada pemerintah. “Jadi pemerintah itu kuncinya ada pada kemauan. Mau bangun atau tidak, itu saja,” katanya.
Bagi Ronny, dermaga Pulau Hiri harus dilihat dalam skala prioritas. “Pertanyaannya, kenapa pembangunan di wilayah tengah dan selatan jauh lebih dulu dari pada tuntutan masyarakat yang ada di Pulau Hiri,” tegasnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pola pembangunan dibawa Burhan Abdurrahman terkesan tidak merata. Hampir semuanya hanya difokuskan di wilayah tengah dan selatan. “Padahal dermaga Pulau Hiri itu sangat urgen,” tandasnya.
Sebab, kata dia, dari aspek sosial hingga roda perputaran ekonomi masyarakat di Pulau Hiri hampir terjadi setiap hari. “Tapi kan pemerintah terkesan tutup mata. Buktinya saat ini proyek dermaga terkesan asal-asalan,” katanya.
Bahkan di penghujung masa kepemimpinan Burhan Abdurrahman, pembangunan dermaga berangkat dari desakan masyarakat, yang sejatinya sudah disuarakan lama. “Kalau tidak ada desakan, saya yakin, pemerintah pasti diam juga,” katanya.
Dengan demikian, jika pembangunan berangkat dari desakan, maka tidak menutup kemungkinan, kesan asal-asalan bakal terjadi. “Dan ini dibuktikan di lapangan. Nah, kalau sudah begitu kan gambarannya bukan membangun, tapi malah menghancurkan,” tandasnya. (kho)