Opini

Tagihan Listrik di Tengah Pandemi

×

Tagihan Listrik di Tengah Pandemi

Sebarkan artikel ini

Oleh: Rony Seto Wibowo

Dosen Teknik Elektro ITS, anggota Dewan Pakar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia

 

COVID-19 telah menyebar ke lebih dari 200 negara dan menginfeksi lebih dari 7 juta penduduk dunia. Untuk mencegah penularan yang lebih parah, berbagai negara telah mendorong warganya untuk menjaga jarak dan menghindari kerumunan.

Mengikuti anjuran pemerintah untuk mencegah penularan virus, masyarakat berbondong-bondong bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Konsumsi listrik rumah tangga yang meningkat dan tagihan listrik yang membengkak menjadi perhatian publik. Masyarakat yang sedang mengalami kesusahan bertanya mengapa tarif listrik tidak turun. Bahkan, akhir-akhir ini, media massa dan media sosial diramaikan dengan keluhan masyarakat yang mempertanyakan mengapa tagihan listrik mereka naik dengan drastis. Bukankah PLN bersama Kementerian ESDM telah mengumumkan bahwa tarif listrik tidak naik.

Tarif Listrik

Tarif listrik meliputi biaya pokok penyediaan (BPP) dan margin keuntungan PLN. Idealnya, tarif ini dikenakan kepada semua pelanggan. Namun, sesuai dengan UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, pemerintah harus memberikan subsidi kepada masyarakat ekonomi lemah. Karena itu, tarif listrik dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu tarif listrik bersubsidi dan nonsubsidi. Pelanggan rumah tangga bersubsidi adalah golongan tarif R-1/TR 450 VA dan sebagian R-1/TR 900 VA, sedangkan golongan tarif nonsubsidi adalah sebagian R-1/TR 900 VA (rumah tangga mampu) dan pelanggan rumah tangga 1.300 VA ke atas.

BPP tenaga listrik terdiri atas biaya pembelian listrik ke pembangkit swasta, sewa pembangkit, bahan bakar, kepegawaian, administrasi, penyusutan, dan beban bunga pinjaman. Hampir semua komponen biaya dipengaruhi oleh perubahan nilai tukar mata uang dolar Amerika Serikat (AS) terhadap mata uang rupiah, kecuali biaya kepegawaian, administrasi, dan penyusutan yang hanya dipengaruhi inflasi.

Biaya bahan bakar dipengaruhi oleh kurs dan Indonesian crude price (ICP), sedangkan bunga pinjaman dipengaruhi kurs dan inflasi. Inilah yang menjadi dasar pemerintah menerbitkan Permen ESDM No 31 Tahun 2014 tentang Tarif Tenaga Listrik yang Disediakan PLN yang memuat penyesuaian tarif tenaga listrik (tarif adjustment) bagi pelanggan nonsubsidi berdasar perubahan kurs, ICP, dan inflasi.

Pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, penyesuaian tarif diterapkan secara rutin. Tarif listrik rumah tangga pernah mencapai Rp 1.509,38 per kWh pada Desember 2015, kemudian turun hingga Rp 1.342,98 per kWh pada April 2016, dengan asumsi harga kurs Rp 13.515 per dolar AS, ICP 28,92 dolar AS per barel, dan inflasi per bulan 0,09 persen. Namun, dari Januari 2017 hingga sekarang, tarif listrik rumah tangga nonsubsidi tetap Rp 1.467,28 per kWh walaupun besaran kurs, ICP, dan inflasi berfluktuasi.

Perhitungan Tagihan Listrik

Secara umum, ada empat komponen tagihan listrik pelanggan rumah tangga, yaitu biaya energi listrik, pajak penerangan jalan, biaya materai, dan biaya administrasi. Berikut ini adalah penjelasan dari masing-masing komponen.

Pertama, biaya energi listrik adalah biaya yang dikenakan pada penggunaan energi listrik dengan satuan kWh (kilowatt hours). Penggunaan kWh dapat dilihat pada meter yang ada di rumah pelanggan. Penggunaan energi setiap bulan dihitung dari selisih angka stan meter di bulan tagihan dikurangi angka stan meter di bulan sebelumnya. Biasanya, angka meter ini dicatat oleh petugas baca meter yang setiap bulan mendatangi rumah pelanggan.

Kedua, pajak penerangan jalan (PPJ) adalah pungutan daerah atas penggunaan listrik. Besar nilai PPJ umumnya sama dengan suatu angka persentase dikalikan dengan biaya energi listrik yang digunakan. Angka persentase ini berbeda-beda di setiap pemerintahan daerah tingkat II. Misalnya di Surabaya PPJ adalah 8 persen dari biaya energi listrik yang digunakan, sedangkan di Malang PPJ adalah 7 persen.

Ketiga, setiap surat yang menyebutkan penerimaan uang dikenakan biaya materai sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 2000 tentang Tarif Bea Meterai. Misalnya, surat penerimaan uang dari 250 ribu hingga 1 juta dikenakan biaya materai 3 ribu rupiah, sedangkan di bawah 250 ribu tidak dikenakan biaya meterai.

Keempat, biaya administrasi adalah biaya yang dikenakan penyedia layanan pembayaran tagihan listrik (seperti toko, minimarket, dan bank) dan nilainya sangat bervariasi. Namun, biasanya berkisar 3 ribu rupiah.

Dalam beberapa kasus, rumah yang tidak ditempati tetap mendapatkan tagihan listrik. Ini karena PLN menerapkan rekening minimum (RM), yaitu biaya energi listrik minimal yang harus dibayarkan pelanggan ke PLN. Hal ini terjadi bila penggunaan energi listrik lebih kecil dari penggunaan minimum. Nilai RM adalah 40 jam nyala x daya tersambung (misal 1.300 VA atau 2.200 VA) x biaya pemakaian (tarif listrik). RM ini hanya dikenakan pada pelanggan PLN pascabayar. Tujuan penerapan RM ini adalah untuk membantu menutup biaya investasi fasilitas kelistrikan seperti pembangkit, jaringan transmisi, dan jaringan distribusi (di luar biaya pembangkitan energi listrik).

Berbeda dengan pelanggan rumah tangga yang hanya membayar pemakaian energi kWh, pelanggan bisnis dan industri juga harus membayar biaya kVarh. Tujuan biaya kVarh ini adalah agar pelanggan menurunkan konsumsi daya reaktif (kVar) sehingga fasilitas kelistrikan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk membangkitkan dan menyalurkan energi kWh.

Cermat dan Responsif

Kesalahan pencatatan meter mungkin saja terjadi, apalagi di masa pandemi. Namun, perlu ditekankan bahwa sebenarnya pengeluaran listrik hanya bergantung pada angka stan meter di awal dan angka stan meter di akhir. Bisa jadi tagihan listrik bulanan (angka stan meter di tengah) kurang akurat, tetapi pembayaran tagihan listrik secara keseluruhan (tahunan) akan mendekati akurat.

Untuk memperbaiki keakuratan tagihan listrik bulanan, pencatatan meter listrik harus dilakukan dengan lebih cermat. Selain itu, pelanggan dapat ikut berpastisipasi dalam melaporkan penggunan listrik melalui layanan yang disediakan PLN.

Di tengah pandemi Covid-19, banyak orang yang mengalami penurunan pendapatan sehingga pengeluaran uang menjadi suatu hal yang sensitif. Untuk itu, PLN wajib melayani komplain pelanggan dengan sabar, jujur, dan terbuka. Pelanggan juga tidak perlu terlalu cemas. Pemeriksaan kembali penggunaan listrik dan tagihan listrik sangat mudah dilakukan. Bila data pencatatan dan tagihan tersedia dengan lengkap, PLN pasti dapat menjelaskan dan menyelesaikan keluhan pelanggan dengan mudah.(*)

(Sumber: https://www.jawapos.com/opini/15/06/2020/tagihan-listrik-di-tengah-pandemi/)

Respon (1)

  1. Terimakasih atas penjelasan artikelnya yg menurut saya penting untuk ‘diviralkan’ agar masyarakat luas memahami mengenai perhitungan pembayaran tagihan listrik.
    Menyambung peristiwa di atas, pembayaran tagihan listrik pasca bayar bulan Agustus dengan Daya 2200 VA di rumah kami terdapat faktor biaya angsuran sebesar Rp. 112.687 yg mulai dibebankan semenjak bulan Juni 2020, padahal semenjak bulan Juni 2020 kami rutin melaporkan foto stand kWh meter yg dihimbau oleh PLN, maka dari itu kami akan melakukan complain atas pembebanan biaya tersebut karena sebelum peristiwa pandemi, rata-rata tagihan listrik kami diinterval 600-700 ribuan, di masa pandemi sekarang berada di interval 800-900 ribuan, padahal konsumsi listrik tidak terlalu signifikan kenaikannya jika dilihat dari foto stand meter yg kami kirimkan setiap bulannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *