Oleh: Sirayandris J. Botara
Wakil Rektor 1, Universitas Halmahera
Mengikuti pemberitaan beberapa hari terakhir yang viral tentang dugaan penghinaan kepada subetnis Loloda menjadi inspirasi tulisan ini. Jika tidak salah ingat, ini kali kedua seorang pejabat publik melontarkan kata atau ungkapan yang melukai hati subetnis ini. Tentu saja pernyataan “bodoh” maupun “kaskado” yang dilontarkan oleh pejabat publik itu memiliki konteksnya, sehingga memerlukan konfirmasi kepada yang bersangkutan.
Namun karena saat ini kita telah memasuki tahapan pilkada, tentu mudah saja pernyataan-pernyataan seperti itu digiring ke ranah politik, sekalipun kita tahu bahwa aspek hukum dari setiap pernyataan publik juga dapat ditegakkan.
Tulisan ini tidak dalam rangka urusan politik ataupun hukum, melainkan sekadar sharing untuk belajar memahami, atau seni memahami sebuah pernyataan dalam konteksnya agar kita tidak jatuh pada kepentingan sesaat yang memecah belah. Apalagi kita sekarang juga adalah bagian dari masyarakat post-truth, dimana kebenaran dan kebohongan datang beriringan sehingga sulit untuk membedakannya, dan yang berbahaya dari semua itu adalah ukuran kebenaran diletakkan pada sejauh mana pemberitaan itu diviralkan. Untuk memahami kebenaran suatu pernyataan sebagai realitas kita mememerlukan seni memahami.
Dalam kajian-kajian hermeneutis seni memahami adalah salah satu cara ilmiah untuk memahami makna sesungguhnya suatu kata atau kalimat atau ungkapan serta pernyataan. Salah seorang pelopor, Friedrich Schleiermacher (1768-1834), menegaskan bahwa kita perlu membedakan antara memahami dan pemahaman.
Memahami bertautan dengan proses dan pemahaman adalah hasilnya. Seni memahami mencakup memahami dengan spontan ataukah memahami dengan usaha. Contoh: saya dapat memahami anak kami bercita-cita menjadi Spiderman sebagai tokoh superhero kegemarannya karena konteks kami sama, yaitu hidup bersama di rumah. Tetapi sewaktu SMA di Makassar, saya memerlukan usaha untuk memahami bahasa mereka, karena setiap kali nama saya ditanyakan, mereka menggunakan ungkapan: “nama kita siapa?” ; yang sulit bagi saya untuk mengerti maksud dari pertanyaan ini karena latarbelakang konteks saya dari Loloda yang memahami “kita” berarti “saya”. Tetapi bagi teman-teman saya di Makassar itu berarti “Anda”.
Maka adalah rumit dan bisa menyebabkan salah paham apabila memahami suatu kata, ungkapan dan pernyataan di luar konteks. Suatu ungkapan atau pernyataan (teks) tidak terlepas dari konteks. F.B. Hardiman (2015:32) menyebutkan bahwa memahami suatu pernyataan sebagai teks yang terungkapan atau terartikulasi bisa memiliki segala kemungkinannya yang bisa saja berbeda dari suatu pernyataan sebagai fakta dalam pemikiran si penutur.
Oleh karena itu, seseorang bisa saja salah memahami maksud penutur suatu pernyataan atau ungkapan. Mengapa? Karena ada prasangka. Kita salah memahami maksud penutur (pembuat teks) karena prasangka kita terlalu dominan. Menurut Schleiermacher, seorang dengan prasangka akan cenderung hanya memahami maksud suatu pernyataan atau ungkapan dari perspektif sendiri. Tidak salah sepenuhnya; tetapi dapat membuat “teks“ atau “makna penuturan“ awal itu menyimpan dari yang sebenarnya. Tetapi juga sebuah “teks“ atau “penuturan“ atau “ungkapan“ yang di ruang publik pembaca bebas menafsirkannya. Oleh karena itu, perlu juga kehati-hatian dalam mengomunikasikan maksud baik. Perlu memperhatikan “konteks ruang publik“ yang tidak selalu netral.
Mengingat kompleksnya suatu pernyataan seperti disebutkan di atas maka saya ingin jalan ke Loloda itu bukan sebagai komoditas politik yang perlu dikapitalisasi oleh para calon dengan cara-cara yang tidak bijaksana.
Saya mengajak kita membaca dan memahami teks jalan ke Loloda itu dari perspektif persahabatan sebagaimana Platon dalam bukunya: Lysis. Siapapun pasti memiliki kepentingan. Tetapi kepentingan itu harus dibangun di atas dasar persahabatan yang saling berkontribusi. Seorang politisi membutuhkan konstituen dan dalam masyarakat kita menemukan banyak profesi. Itulah realitas kehidupan yang saling bertautan dan kita semua ditopang oleh mozaik profesi yang saling berkontribusi. Profesi (Latin: profitero, professo) bermakna bahwa seseorang yang memiliki keterampilan khusus adalah orang-orang yang mengucapkan janji di depan banyak orang yang mendengarkan janji itu.
Para dokter, polisi, tentara, advokat bersumpah setia pada pekerjaannya. Para pegawai negeri sipil, atau bahkan politisi juga berjanji. Itu berarti, profession (pernyataan public) nyata hampir pada semua bidang profesi. Dan seorang professional, mereka adalah orang yang sudah mengucapkan sumpah dan mengikatkan dirinya sendiri untuk melakukan pekerjaannya dengan benar.
Makna profesi yang disebutkan terakhir hendak menegaskan bahwa tiap profesi erat kaitannya dengan komitmen (= janji) yang telah diucapkan. Pada titik ini, janji atau komitmen yang telah diucapkan di depan banyak orang wajib untuk ditepati. Pertanyaannya adalah apa yang dimaksudkan dengan komitmen? Komitmen (Latin: commitere, cum-mittere) berarti diutus bersama, mengerjakan sesuatu secara bersama, mempercayakan sesuatu kepada orang lain. Dalam pengertiannya yang lebih luas, komitmen adalah tindakan melakukan sesuatu dalam kerjasama dengan orang lain. Konkritnya, bila saya berkomitmen menjadi PNS, berarti ada tindakan riil mempercayakan diri pada instansi pemerintah. Selain pada instansi tertentu, atau perusahaan, komitmen juga merupakan tindakan riil mempercayakan diri pada orang lain. Amatilah pasangan muda-mudi yang lagi pacaran, tanpa komitmen yang kuat maka tiap usaha sia-sia adanya.
Politikus berkomitmen di depan banyak orang tentu karena ia melihat ada nilai yang pantas diperjuangkan. Banyak orang tua berkomitmen menyekolahkan anaknya agar kelak dapat mengupayakan hidupnya yang layak, sebuah nilai yang pantas diperjuangkan. Dan yang bernilai tentunya berguna dan sudah pasti baik. Pekerjaan itu berguna, uang itu berguna, dst. Bukan saja bernilai bagi dirinya melainkan juga bagi orang lain. Kegunaan memiliki nilai intrisik: persahabatan kekal. Itulah yang semestinya diperjuangkan oleh para politisi dan orang-orang Loloda, yaitu: membangun persahabatan yang membuat Loloda lebih maju lagi.
Itulah arti bersahabat dengan orang-orang Loloda. Mereka bukan sekadar objek melainkan juga subyek yang memungkinkan persahabatan itu mewujud dalam karya-karya nyata tanpa harus menganggap diri lebih hebat dari orang lain. Dan itu ada hanya pada sama-sama orang baik. Kesamaan hati yang saling memajukan itulah yang memungkinkan persahabatan antara politisi dan rakyatnya menjadi saling bersahabat. Setiap calon Bupati dan Wakil Bupati bersahabat dengan orang-orang Loloda karena sama-sama suka-kemajuan. Punya kerinduan yang sama. Atau dalam ungkapan Platonian disebut: resiprositas untuk kemajuan bersama. Orang-orang Loloda maju berarti calon Bupati dan Wakil Bupati pun orang-orang maju.
Kalau bilang orang-orang Loloda “bodoh”, “kaskado” sama dengan menghina dirinya sendiri. Seorang pemuda yang menghina kekasihnya sejatinya ia telah menghina dirinya sendiri. Mengapa karena dia sedang dikendalikan oleh kepentingan dirinya secara egoistis. Ia lupa pada komitmen nilai instrisik dari saling mencintai dan saling bersahabat: saling berkontribusi untuk saling memajukan.
Komitmen terhadap nilai adalah kebaikan yang dilandaskan pada pengetahuan (rasio), sebuah kebaikan yang dengan sendirinya elok. Politisi yang komitmen terhadap janjinya, pada level ini akan mengalami kebahagiaan, sebuah rasa tanpa beban, tetapi toh dipilih dan dijalani. Level kebaikannya berada pada level logistikon (rasio). Sama halnya dengan komitmen membangun jalan ke Loloda, tetapi kalaupun tidak dapat diselesaikan, mungkin ada baiknya bila warga Lolodalah yang meminta maaf, karena telalu berharap.
Dengan cara memahami perbedaan dan persahabatan seperti di atas maka semua pihak tidak tinggal dalam retorika tetapi mengembangkan karakter diri yang berkomitmen bagi kemajuan bersama. Setiap calon Bupati dan Wakil Bupati dapat menguji identitas dan karakter kepemimpinannya dengan komitmen untuk terus bersahabat dengan orang-orang Loloda yang adalah juga subyek dalam pembangunan bersama. Demikian juga orang-orang Loloda menguji identitas dan karakter ke-Loloda-an ialah tidak pernah mundur untuk kemajuan daerahnya dan Halmahera Utara pada umumnya.
Dengan demikian para pihak yang saling menguji kepentingan itu tidak lagi memahami perbedaan dengan prasangka tetapi dengan saling bersahabat. Memahami dengan penuh persahabatan membuat seseorang tidak akan melepaskan setiap “teks percakapan” dari konteks. Dengan melakukan demikian kita sedang melawan “post-truth” yang sedang menjadi kebiasaan baru bagi mereka yang tidak cerdas dan cermat menggunakan dan membaca berita-berita di media sosial! Selamat bersahabat dengan orang-orang Loloda bukan saja bagi kemajuan Loloda melainkan juga siapa pun yang sedang merindukan keadilan dan kebenaran bergulung-gulung seperti sungai yang mengalir! (*)