HARIANHALMAHERA.COM– Di tengah riuh protes ketidaksiapan pemerintah menjalankan program zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), namun banyak pakar pendidikan menilai sistem tersebut sangat baik untuk memperbaiki keadilan dalam pendidikan.
Sebagaimana diberitakan beritasatu.com, dari neraca pendidikan daerah (NPD), ternyata masih sangat minim pemerintah daerah/kota serta provinsi yang sudah mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai amanah undang-undang yaitu 20 persen dari APBD. Akibatnya, akses yakni sarana dan prasarana (sarpras) sekolah masih menjadi masalah pendidikan di setiap daerah.
Pakar Pendidikan Itje Chodijah menuturkan, adanya skema pemerataan pendidikan berbasis pada zonasi, tentu mendorong daerah untuk memperhatikan sarana dan prasarana sekolah dan kesiapan tenaga pendidikan setiap daerah. Sehingga semua masyarakat mendapat akses pendidikan yang sama.
Itje berharap, skema zonasi ini menghasilkan kebijakan turunan terkait anggaran untuk pendidikan agar setiap zona memiliki sekolah dengan sarana dan prasarana yang memadai dan bersifat berkeadilan. Pasalnya, dengan skema zonasi ini baru diketahui ternyata banyak zonasi yang tidak memiliki sekolah negeri yang layak karena jumlah sekolah negeri berakreditasi masih 25 persen dari keseluruhannya. Hal ini yang memicu masyarakat mengejar sekolah berlabel favorit.
”Yang kita bicara bukan lagi sekolah. Kita bicara konstitusi. Bagaimana pemda tidak bisa memenuhi undang-undang karena 20 persen anggaran untuk pendidikan itu perintah undang-undang, bukan perintah Kemdikbud,” kata Itje.
“Jadi mereka memang harus mengeluarkan itu (anggaran 20 persen). Kalau mereka tidak melakukan itu, mereka sengaja merugikan daerahnya sendiri,” kata Itje pada diskusi “Kebijakan PPDB dan Rotasi Guru Dengan Sistem Zonasi Sebagai Upaya Pemerataan Kualitas Pendidikan Dalam Persfektif Kepentingan Terbaik Bagi Anak” di Gedung Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Jakarta, Rabu (20/6).
Dia menambahkan, pemda yang tidak mengalokasikan anggaran APBD 20 persen untuk peningkatan akses dan mutu pendidikan, berarti merelakan kualitas pendidikan seadanya di daerahnya. Sebab pendidikan sudah desentralisasi, seharusnya dapat segera ditingkatkan karena telah ada pembagian tugas.
Pemda/pemkot menangani SD dan SMP sedangkan pemerintah provinsi (pemprov) menangani SMA dan SMK. Dalam hal ini, daerah harus fokus pada perbaikan akses yakni sarpras dan mutu guru.
Menurut Itje, dengan skema zonasi ini mengharuskan semua pemda untuk fokus pada pendidikan secara keseluruhan. Pasalnya, yang terjadi saat ini banyak daerah membangun pendidikan hanya untuk menjaga gengsi. Sehingga hanya sekolah-sekolah yang bagus diberi bantuan dana. Dengan begitu sekolah tersebut tumbuh semakin baik. Sedangkan sekolah lainnya tidak mengalami perubahan karena minim perhatian dan anggaran.
“Memang yang dibangunkan hanya image saja. Makanya yang dapat bantuan hanya sekolah itu-itu saja. Dengan alasan sekolah itu jadi rujukan. Kalau sudah jadi rujukan so whats? Sekolah yang merujuk ini dapat apa? Apa sekolah yang merujuk ini terbentuk lebih baik. Karena dana yang masuk ke sekolah rujukan yang sedangkan sekolah yang menerima pengimbasan siapa yang jamin jika imbasan meningkatkan kualitas pendidikan?” papar anggota Badan Akreditasi Nasional (BAN) ini.
Untuk itu, Itje juga menyebut, kebijakan zonasi untuk PPDB ini perlu didukung karena untuk pemerataan pendidikan yang berkeadilan. Menurutnya, skema zonasi ini memang belum dapat menunjukkan dampak besar bagi dunia pendidikan. Sebab, baru tiga tahun diterapkan, tentu membutuh waktu yang lama.
Namun kebijakan ini, kata Itje, baik karena mengarah pada pemerataan pendidikan bagi seluruh anak bangsa. Pasalnya, selama ini fasilitas terbaik hanya dinikmati oleh anak dari ekonomi menengah ke atas, sedangkan anak dari keluarga ekonomi menengah bawah tersingkirkan. Padahal sekolah tersebut milik negara yang berhak dinikmati semua anak bangsa.
“Pendidikan negeri ini dibiaya oleh APBN dan APBD, saya pikir mereka yang ribut biasanya yang selalu diuntungkan selama ini oleh sekolah favorit, dan anak kita dari keluarga tidak mapan sudah tersingkirkan haknya dan ditekan secara psikologis bahwa mereka hanya pantas sekolah di sekolah tidak favorit karena tidak pintar. Dan selama ini kelompok marjinal ini tidak mempunyai keberanian seperti kelompok mampan ini,” ujarnya.(bsc/fir)