HARIANHALMAHERA.COM–Setelah lama jeda, polemik penetapan tapal batas antara Kelurahan Takome dan Sulamadaha, Kecamatan Ternate Barat sebagaimana yang diatur dalam Perwali nomor 53/2017, kembali mencuat.
Kemarin, sejumlah massa yang tergabung dalam Forum Gerakan Soa Saraha, turun ke jalan menggelar aksi demo di Kantor Kecamatan. Dalam aksi itu, mereka juga memalang pintu masuk TPA Buku Deru-Deru di Kelurahan Takome, Barat, Senin (5/12).
Koordinator aksi, Andre Robo mengatakan, Perwali 53/2017 justeru telah memicu konflik horizontal warga di dua kelurahan bertetangga ini. Sebab, ada sebagian wilayah Sulamadaha yang ditetapkan masuk di Takome.
“Dengan Perwali itu, Pemkot justru telah memanipulasi kebijakan. Padahal, Jikomalamo dan TPA secara kewilayahan merupakan areal Kelurahan Sulamadaha,” katanya.
Disisi historis dan fakta menegaskan penetapan Perwali telah merusak adat dan kebudayaan. “Seharusnya tiap kebijakan maupun produk hukum, itu wajib hukumnya pemerintah melakukan sosialisasi, dengan tujuan terciptanya pemerintahan yang baik,” tegasnya.
Karenanya, dia menilai penetapan tapal batas di Perwali itu terkesan tendesius dan tanpa tahapan rapat koordinasi, dan juga sosialisasi ke masyarakat Sulamadaha.
“Ini sangat bertentangan dengan mekanisme Permendagri Nomor 141 Tahun 2017 tentang tapal batas daerah dan penyesuaian konflik,” katanya.
Karenanya, dalam aksi itu perwakilan warga Sulamadaha itu mendesak merevisi kembali Perwali 53/2017 sesuai dengan fakta sejarah. “Kami menolak Perwali Nomor 53 Tahun 2017, karena dalam poin 13 itu sangat merugikan torang,” kata salah satu perwakilan warga.
Kemudian Menetapakan tapal batas Sulamadaha dan Takome, sesuai dengan jarak masuk jalan menuju Jikomalamo arah utara, dengan jarak 350 meter.
Warga mengatakan, tuntutan tersenut akan disampaikan langsung ke Wali Kota. “Setelah itu ada MoU, barulah dilakukan kesepakatan lanjutan. Kami tidak mau diwakilkan, karena semacam ini sudah makan garam,” kesal warga.
Warga mengatakan, aksi mereka tidak mengganggu pelayanan umum, hanya saja ada yang diboikot hingga adanya kesepakatan. “Untuk TPA belum dibuka sampai ada kesepakatan. Kalau tidak ada kesepakatan, maka semua aktivitas akan diboikot,” ancam warga.
Wali Kota M. Tauhid Soleman, yang turun ke lokasi berjanji akan meninjau kembali Perwali yang diterbitkan di era Wali Kota mendiang Burhan Abdurahman ini.
“Kita berusaha menetapkan ini seadil–adilnya. Walaupun adil itu kita dapatkan di hapadan Yang Maha Kuasa,” ujar Tauhid di hadapan warga Sulamadaha.
Revisi Perwali ini kata Tahid semata-mata kepentingan pelayanan publik, bukan persoalan administrasi. Sebab, persoalan administrasi tidak akan memutuskan mata rantai persaudaraan maupun darah.
“Itu saya tegaskan ketika kita mekarkan Bastiong Karance dan Bastiong Talangame, sama seperti ini, ribut. Percaya kepada Pemerintah untuk mengambil sikap.
Menurutnya, ada aspek lain yang dinilai, yang pasti ketika Pemkot mengambil sikap untuk ditetapkan, semua harus tunduk ke Pemerintah.
“Saya minta kesabaran dalam waktu tidak terlalu lama untuk menyelesaikan ini, karena kita akan mempertimbangkan segala aspek yang menjadi pertimbangan sosiologis, historis, ekonomis dan yuridis,” pintanya.
Tauhid juga menyoroti keberadaan rumah warga di areal antara buku deru–deru dan jalan menuju jembatan yang notabene masuk kawasan rawan bencana (KRB).
Padahal, di KRB seharusnya itu tidak pemukiman. “Sekarang ini ada rumah, itulah yang jadi masalah. Kalau tidak ada rumah maka itu tidak ada adminitrasi dilayani dan tidak akan berhadapan dengan pihak – pihak yang melayani,” ujarnya.
Dia juga mengimbau ke warga agar tidak menghambat pelayanan mobil angkutan sampah ke TPA, sebab ini menyangkut hajat hidup orang banyak.
Soal tuntutan agar Camat Ternate Barat agar diganti, menurut Tauhid, itu menjadi kewenangannya untuk memutuskan. “Camat itu tugas Wali Kota, biar nanti saya yang memutuskan dan menilai,” katanya.
Diketahui, konflik warga kedua kelurahan di Ternate Barat itu pernah terjadi sebelumnya menyusul kehadiran pantai Jikomalamo.(par/pur)