HARIANHALMAHERA.COM–Dari tahun ke tahun, dunia pendidikan tidak lepas dari sorotan publik. Selain pendidikan menjadi satu dari program dasar termasuk kesehatan dan infrastruktur, juga menjadi bagian dari kebutuhan publik.
Melansir Republika.co.id, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyoroti enam hal terkait pendidikan Indonesia selama 2019. Pertama, terkait rencana dihapusnya Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Dirjen PAUD dan Dikmas). Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 82/2019 tentang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Menurut Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, hal itu tersebut merupakan bencana bagi pendidikan kelompok marginal. Menurut mereka, itu merupakan tanda bahwa pemerintah hanya mementingkan pendidikan formal.
“Pemerintah tampaknya hanya mementingkan pendidikan formal di bangku sekolah. Sementara Pendidikan untuk kelompok rentan (excluded groups) kian dipinggirkan,” ujar Ubaid di kawasan Cikini, Jakarta, Senin (30/12).
Kedua, adalah kualitas pendidikan Indonesia yang masih berada di papan bawah berdasarkan Programme for International Students Assessment (PISA). Kemerosotan yang paling tajam terjadi pada kemampuan membaca. Untuk kategori membaca, Indonesia berada di peringkat 75 dari 80 negara. Indonesia hanya di atas Kosovo, Filipina, Maroko, dan Lebanon.
“Kita bahkan masih di bawah Macedonia Utara dan Georgia. Jika dibandingkan dengan sesama Asia Tenggara, Indonesia ada di bawah Thailand dan Singapura,” ujar Ubaid.
Ketiga, Ubaid menyoroti isu radikalisme yang berada di sekolah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan JPPI, belum ada bukti nyata dan keseriusan pemerintah dalam menghalau paham tersebut.
Hal itu terlihat, dari adanya virus intoleransi dan radikalisme yang mewabah di instutusi pendidikan. Tak jarang, paham tersebut justru sudah memasuki homeschooling dan PAUD.
“Kita dikejutkan dengan penelitian dari UIN Jakarta tahun 2019, yang menyebutkan bahwa 59 persen guru Muslim dukung negara Islam. Maka tak heran jika seringkali ditemukan buku-buku ajar, naskah soal ujian yang menjurus pada paham intoleran,” ujar Ubaid.
Keempat, adalah sistem zonasi yang masih menjadi polemik pada 2019. JPPI menilai, hulu dari masalah zonasi yang bikin kisruh adalah nihilnya kebijakan pemerataan pendidikan.
Namun, tampaknya pemerintah menggunakan jalan pintas dengan memaksanakan dengan membuat kebijakan pemerataan di level hilir dengan sistem zonasi saat PPDB. Itu dinilainya salah alamat.
“Harusnya problem hulu yang didahulukan untuk diatasi, bukan lari dari masalah lalu ambil yang gampangnya saja dengan mengatur siswa saat PPDB dengan cara zonasi,” ujar Ubaid.
Selanjutnya, JPPI menyoroti masalah kekerasan yang terjadi di institusi pendidikan. Berdasarkan catatan JPPI, ada 253 kasus selama 2019 ini. “Jika dulu kekerasan banyak dilakukan oleh guru, kini trennya banyak juga dilakukan oleh peserta didik,” ujar Ubaid.
Terakhir, JPPI menyoroti persoalan program Kartu Indonesia Pintar (KIP). Menurut Ubaid, ini adalah program andalan pemerintah, tetapi banyak yang tidak tepat sasaran.
Berdasarkan pantauan JPPI selama 2019, ada 303 pengaduan masyarakat terkait program KIP. Kasus yang paling banyak diadukan adalah ketidaktahuan cara mendapatkan KIP (79), distribusi yang tidak merata (61), dan data KIP yang tidak transparan dan mudah diakses (55).
Serta, keterlambatan pencairan (43), KIP tidak tepat sasaran (30), pengusulan data siswa miskin tidak terbuka (20), dan tidak ada keterlibatan publik (16). “Harusnya pemerintah belajar dari tahun-tahun sebelumnya untuk mempermudah akses dan transparansi pengelolaan KIP ini. Supaya masyarakat bisa terlibat, transparan, dan tepat sasaran,” ujar Ubaid.(rep/fir)