Catatan Dahlan Iskan

Kaipang Bingky

×

Kaipang Bingky

Sebarkan artikel ini
Oleh : Dahlan Iskan

 

 

“Beliau itu Kaipang. Temannya banyak, tapi uangnya tidak ada.”

Julukan ”Kaipang” itu datang dari istrinya sendiri: Ny Bingky Irawan.

Saya menelepon Ny Bingky dari Jakarta. Kemarin sore. Saya mengucapkan duka cita jarak jauh. Bingky Irawan meninggal dunia kemarin pagi. Setelah tiga hari di rumah sakit.

Salah satu teman Bingky yang banyak itu, Anda sudah tahu: Gus Dur –Kiai Haji Abdurrahman Wahid, presiden ke-4 Republik Indonesia.

Nama Bingky top se-Indonesia tahun 1990-an. Yakni ketika Bingky memperjuangkan perkawinan secara Konghucu. Yang selama Orde Baru dilarang.

Waktu itu pasangan Budi-Lany tidak mau kawin kalau tidak secara Konghucu. Itu tahun 1995. Yakni di Kelenteng Boen Bio, Jalan Kapasan Surabaya.

Ketika perkawinan itu didaftarkan ke catatan sipil, Budi diminta membawa rekomendasi dari Kanwil Departemen Agama Jatim. Kanwil hanya mau memberi rekomendasi perkawinan lima agama yang diakui: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha.

Budi lantas menggugat ke PTUN Surabaya. Ditolak. Lalu naik banding ke pengadilan tinggi Jatim. Ditolak.

Bingky, sebagai Ketua Konghucu Jatim, tampil di depan. Gus Dur –yang ketika itu Ketua Umum PB NU ­–mendukung Bingky. Total. Bahkan sampai hadir di pengadilan. Untuk menjadi saksi.

Budi Widjaya, kini berumur 59 tahun. Rumah tangganya bersama Lany sudah 27 tahun. Anaknya tiga orang. Yang sulung sekolah desain grafis di Singapura. Yang kedua kuliah pendidikan di Hongkong. Yang bungsu masih SMA di Surabaya.

Suami-istri itu kini mengurus lembaga pendidikan milik yayasan mereka sendiri.

Sejak sebelum kawin Budi sudah menjadi pengurus Boen Bio. Bersama Bingky. Bingky dan Budi mengalami hidup yang sulit. Bersama pengurus Kelenteng lainnya. Mereka sering dipanggil penguasa militer. Diperiksa. Diinterogasi. Termasuk saat mereka mengadakan peragaan barongsai di dalam Kelenteng.

Zaman itu semua yang berbau Tionghoa memang dilarang. Tapi sebenarnya tidak –kalau tidak di tempat umum. Hanya saja kesalahan bisa terus dicari.

“Aneh sekali. Barongsai dilarang. Tapi film kungfu diputar terus di semua bioskop Studio 21,” ujar Budi kemarin.

Bingky-Budi bisa dianggap dwi tunggal di Boen Bio. Di saat mengurus Kelenteng itulah Budi berkenalan dengan Lany. Yang juga aktivis dan pengurus Kelenteng di Jalan Jagalan Surabaya.

Sebagai sesama aktivis Konghucu, pasangan ini ngotot harus kawin secara Konghucu. Didukung penuh oleh Bingky.

Bagaimanakah hari-hari terakhir Bingky?

“Pak Bingky buang air besar terus. Sampai badannya lemas,” ujar Ny Bingky. Itu Sabtu lalu. Langsung dibawa ke rumah sakit. Keesokan harinya Bingky merasa sesak. Senin meninggal.

Bingky memang sering sakit. Lima tahun terakhir. “Pak Bingky terkena autoimmune,” ujar Ny. Bingky. “Kalau lagi menyerang otot kaki, Pak Bingky kesakitan sekali,” tambahnyi.

Itulah sebabnya tahun-tahun terakhir Bingky jarang ke Boen Bio. Lokasi Kelenteng itu di Pecinan Surabaya Utara. Padahal rumah Bingky di dekat Sepanjang, Surabaya Barat Daya.

Dua kali Gus Dur ke rumah itu. Yang tak lain juga toko mracangan. Sekali sebelum jadi presiden. Sekali lagi setelah tidak jadi presiden.

Di rumah itu, Bingky tidur di tempat tidur yang dulu dipakai Gus Dur –sengaja diberikan ke Bingky oleh yang empunya.

Gus Dur memang sayang sekali ke Bingky. Akhirnya Bingky lebih sering tinggal di Jakarta. Agar dekat dengan Gus Dur. “Sampai Pak Bingky dikontrakkan rumah sederhana oleh Gus Dur,” ujar Ny Bingky.

“Yang bayar kontrakan siapa?” tanya saya.

“Ya Gus Dur lah. Mana Pak Bingky punya uang,” ujarnyi.

“Kontrakan rumahnya di mana?”

“Pindah-pindah,” tambahnyi.

Ada satu hal yang menyatukan tokoh Konghucu ini dengan tokoh NU itu: kepercayaan Jawa. Keduanya cocok sekali kalau sudah bicara soal kejawen.

“Anda bisa berbahasa Mandarin?” tanya saya pada Mas Agus, putra sulung Pak Bingky.

Mboten saget,” jawabnya. “Menawi boso Jowo kulo ngertos,” tambahnya.

Bingky punya anak 4 orang. Semuanya tidak ada yang bisa bahasa Mandarin. Mereka hidup secara Jawa. “Saya juga tidak bisa Mandarin,” ujar sang istri.

“Ibunda Pak Bingky itu wanita Jawa asli. Ayah Pak Bingky yang Tionghoa totok,” ujar Ny Bingky.

Bingky lahir di Surabaya. Dengan nama bayi Po Soen Bing. Sedang istrinya kelahiran Tuban.

Nama Bingky juga tidak bisa dipisahkan dengan perjuangan Imlek Nasional.

Semasa Gus Dur jadi presiden, Bingky sering ke istana. Biasanya bersama Budi S. Tanuwibowo dan Chandra.

“Pernah, kami bertiga, jam 4 pagi berangkat ke Istana,” ujar Budi S. Tanuwibowo kepada saya tadi malam. Di perjalanan mereka bicara-bicara: apa yang harus disampaikan ke presiden.

“Kita harus bikin Imlek Nasional,” ujar Budi S. Tanuwibowo. Mereka setuju.

Imlek, sampai hari itu masih dilarang untuk dirayakan.

Di Istana, soal Imlek itu disampaikan ke Presiden Gus Dur. “Beliau langsung setuju. Bahkan Imleknya beliau minta harus dua kali,” kata Budi S. Tanuwibowo. “Imleknya di Jakarta. Cap Go Meh-nya di Surabaya,” ujar Gus Dur seperti ditirukan Budi S. Tanuwibowo. Dua-duanya dihadiri presiden.

Natal saja satu kali. Kristen dan Katolik harus jadi satu. Waisak juga satu kali. “Imlek langsung dua kali,” ujarnya lantas tertawa.

Budi S. Tanuwibowo kenal Gus Dur sejak lama. Ketika Budi punya proyek menerbitkan ensiklopedia Indonesia. Mereka sudah sering diskusi. “Gus Dur yang akan mengisi bab tentang Islam,” ujar Budi. Tapi Gus Dur tidak punya cukup waktu. Lantas digantikan Dr. Nurcholish Madjid. Akhirnya tokoh pembaharu Islam lainnya, Johan Effendi, yang menulis di Ensiklopedia 18 jilid itu.

Budi S. Tanuwibowo adalah pimpinan pusat Matakin –Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia. “Saya dua kali jadi ketua umum tanfidziyah-nya. Satu kali jadi sekretaris syuriah-nya Matakin,” ujar Budi mengutip istilah dalam NU.

Sekarang Budi menjadi ketua umum Konghucu Indonesia setelah tanfidziyah dan syuriah-nya dijadikan satu. Budi juga pernah jadi ketua harian Barongsai Indonesia, ketika saya menjabat ketua umumnya.

Tidak hanya soal perkawinan dan Imlek, nama Bingky dianggap sebagai pahlawan besar Tionghoa. Juga soal KTP. Yang sejak itu agama Konghucu bisa dicantumkan di KTP.

Sedang soal perkawinan akhirnya berhasil juga. Dua pengadilan sebelumnya memang menolak perkawinan Konghucu. Tapi akhirnya Mahkamah Agung memutuskan mengesahkannya. Keputusan kasasi itu keluar memang sudah tahun 2000 –setelah Gus Dur yang jadi presiden.

Bingky Irawan telah meninggal dunia di usia 71 tahun.

Bingky Irawan masih hidup abadi dengan jasa besarnya. (dis)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *