Editorial

AHM dan Rommi

×

AHM dan Rommi

Sebarkan artikel ini

AKHIR pekan kemarin jagad politik tanah air dibuat heboh. Dua kasus dugaan korupsi yang melilit politisi ternama. Dua kasus itu langsung menghiasi laman utama media mainstream maupun media sosial.

Yang pertama tuntutan terhadap mantan Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus. Dari rekam jejak, AHM biasa dia disapa, pernah menduduki jabatan top di DPP Partai Golkar. Terakhir, Koordinator Wilayah (Korwil) Indonesia Timur.

AHM juga sempat membuat menarik perhatian masyarakat Malut saat maju mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Provinsi Malut 2019. Ini sudah yang kedua kali, setelah yang pertama kalah. Nah, tak lama setelah pungut hitung di tingkatan TPS, AHM dinyatakan sebagai calon dengan perolehan suara terbanyak.

Partai pengusung, par pendukung, dan dan para simpatisan langsung merayakan kemenangan. Namun, di tengah euforia, muncul gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tak cukup, KPK mengelaurkan surat pemanggilan. Dan seterusny, hingg ditetapkan tersangka, ditahan, dan kini sedang disidang.

Jenis korupsinya memperkaya diri sendiri. Melakukan mark-up anggaran dalam proyek pembebasn lahan yang akan dijadikan bandara Bobong.

Namun, berita penting itu, kalah dengan berita penting lainnya. Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK di Hotel Bumi, Surabaya, Jawa Timur.

Setelah dilakukan penyelidikan 1×24 jam, Rommi, sapaannya, ditetapkan tersangka. Dugaan kasusnya, jual beli jabatan di institusi Kementerian Agama. Kini ketua partai itu sudah mendekam dalam tahanan KPK.

Jika dilihat dari kedua kasus itu, kita temui kesimpulan yakni mark-up anggaran dan jual beli jabatan. Dua modus ini sering dilakoni pejabat negara. Sebagaimna rilis KPK pada akhir Desember 2018 lalu, disebutkan 178 kasus korupsi selama 2018. Sebanyak 152 di antaranya kasus penyuapan.

Dari jenis perkara, KPK menyebut tindak pidana korupsi yang paling banyak terjadi penyuapan dengan 152 perkara, diikuti pengadaan barang atau jasa sebanyak 17 perkara, serta TPPU sebanyak 6 perkara.

Dari total perkara yang ditangani KPK, 91 di antaranya melibatkan anggota DPR atau DPRD. Ada juga 28 perkara yang melibatkan kepala daerah, baik yang aktif maupun mantan kepala daerah.

Sementara, data penanganan perkara berdasarkan tingkat jabatan, mengungkapkan ada 91 perkara yang melibatkan anggota DPR/DPRD dan 50 perkara melibatkan swasta, serta 28 perkara melibatkan kepala daerah (29 kepala daerah aktif dan 2 mantan kepala daerah). Selain itu, terdapat 20 perkara lainnya yang melibatkan pejabat eselon I hingga IV.

Artinya, potensi mark-up anggaran, suap, jual beli jabatan, yang melibatkan pejabat di daerah masih ada. Legislatif, Eksekutif, dan pihak ketiga, adalah para pelaku. Ibarat fenomena gunung es, yang terungkap ke permukaan baru sebagian kecil, dibanding yang belum terungkap.

Wajar, karena KPK belum memiliki personil yang cukup untuk memonitor 34 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota. Ini belum termasuk dengan jumlah desa seluruh Indonesia. Karena korupsi terbanyak berdasarkan data Indonesian Corruption Watch (ICW) terjadi di desa.

Yang bisa dilakukan sekarang intuk menyelamatkan negara ini dari korupsi, yakni partisipasi aktif masyarakat mengawasi kinerja seluruh pejabat di daerah. Mulai tingkat daerah, kepala daerah, pejabat eselon IV-I, anggota dewan, hingga ditingkat bawah ada camat dan kades.

Laporkan ke aparat berwajib jika menemukan kejanggalan. Karena saat ini KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan sudah memiliki kotak pengaduan, nomor terlepon pengaduan, bahkan surat elektronik (e-mail). Jika tidak demikian, maka virus korupsi akan terus tumbuh dan berkambang.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Editorial

SEBELUM negara ini mengubah kebijakan kepemiluan dari dipilih parlemen…