ANAK adalah masa depan. Anak adalah penerus, baik di lingkungan kelurga, lingkungan tempat tinggal, maupun penerus roda pembangunan. Modal pembangunan sekaligus kunci kemajuan karena hampir sepertiga dari total penduduk Indonesia adalah mereka.
Namun perhatian kita—kelurga, lingkungan, pemerintah—belum terlihat keseriusannya. Banyak fakta yang bisa dijadikan contoh. Mulai dari tidak mendapatkan pendidikan dan kesehatan yang layak, dijadikan pekerja, bahkan menjadi korban kekerasan.
Padahal, negara sudah sudah memberikan perlindungan pada anak melalui UU nomor 23 tahun 2002. Isinya menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
Bahkan, sebelum turunnya UU 23/2002, negara sudah mengatur hak nak dalam UUD 1945. Pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Mulai Pasal 28A hingga Pasal 28J, jelas berbicara terkait hak dan kewajiban warga negara, termasuk anak di dalamnya. Seperti dalam Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Ini kemudian, dipertegas lagi melalui Keppres No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak-hak Anak dan Permenneg PP No 2/2009 tentang Kebijakan KLA (kota layak anak). KLA merupakan program pembangunan nasional menyangkut sistem pembangunan kabupaten/kota yang mengintegrasikan komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak.
Dengan uraian di atas, bagaimana melihat derah kita. Apakah sudah layak anak? Apakah setiap anak sudah mendapatkan haknya atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi? Tentunya kita bisa menjawabnya sendiri.
Kabupaten Halmahera Utara (Halut) misalnya. Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak dan Keluarga Berencana (PPAKB), jumlah kekerasan terhadap anak di bawah umur meningkat signifikan. Pada 2017 tercatat sebanyak 12 kasus kekerasan, sementara di 2018 tahun 2018 sebanyak 39 kasus. Peningkatan jumlah kasusnya 200 %.
Sementara di 2019 yang baru saja di triwulan I, lembaga Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyaramat (PATBM) dan Lembaga TPPA sudah mencatat 5 kasus baru. Ini baru pertanyaan atas hak perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana amanat UUD 1945. Belum menyinggung hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang.
Padahal, dari sisi infrastruktur penataan kota, dapat dikatakan Kabupaten Halut lebih baik dari kabupaten/kota lain di Maluku Utara (Malut). Taman kotanya yang berada di sekitar aktivitas pemerintahan, sangat mendukung kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang.
Sayangnya, tidak ada infrastruktur pendukung anak. Seperti Taman Nukila yang ada di Kota Ternate. Kehadiran taman ini, jangan hanya dipandang tempat bermain anak saja. Tapi, kehadiran taman anak ini justru lebih mendekatkan hubungan emosional anak dengan orangtua.
Taman ini juga bisa menjadi medium bagi para orangtua untuk sharing pengetahuan tentang anak. Lebih jauh lagi, keterlibatan aktif pemerintah lewat program-program anak, bisa dilakukan di taman, seperti disediakan taman baca, baik permanen atau mobile, bisa juga sosialisasi narkoba, dan sebagainya. Ini akan mendorong sekolah (terutama PAUD dan TK), bisa melakukan pembelajaran di luar kelas.
Sederhananya kehadiran taman anak di Halut harus menjadi program prioritas. Lebih cepat tentunya lebih baik. Ini bukan tuntutan, tapi ini adalah hak. Moga saja, pada peringatan Hari Anak Nasional (HAN) yang jatuh pada 23 Juli nanti, ada kado istimewa dari pemerintah untuk seluruh Anak di Kabupaten Halut, khususnya, dan anak-anak se-Provinsi Maluku Utara.(*)