HARI Raya Idul Firi di Indonesia masih identik dengan hari bermaaf-maafan. Meski tidak disyariatkan, namun perbuatan tersebut tidaklah salah. Maksudnya sangat terpuji. Mengeratkan kembali simpul-simpul silaturahim yang longgar. Bahkan untuk mengikat kembali simpul yang sempat putus.
Meski demikian, bermaaf-maafan, tentunnya akan lebih baik lagi jika diiringi dengan perubahan perilaku. Sebagaimana dalam banyak nasehat; belajarlah dari puasa ular dan ulat. Kedua makhluk ini juga mengenal fase puasa. Ular berpuasa untuk mengganti kulitnya yang sudah rusak, sedangkan ulat berpuasa untuk bermetamorfosis menjadi kupu-kupu.
Pelajaran yang bisa dipetik, yakni ular meski sudah mendapatkan kulit yang baru, namun perilakunya tetap sama. Tidak ada perubahan dalam tabiat dan sifat. Beda dengan ulat. Semuanya berubah. Mulai dari penampilan fisik lebih indah dipandang setelah puasa. Namanya juga berubah menjadi kupu-kupu.
Jika sebelum puasa ulat disebut hama karena cara makannya yang rakus dan bersifat merusak, setelah puasa dia hanya mengisap madu dan turut membantu kehidupan tumbuhan melalui penyerbukan.
Diharapkan manusia juga seperti itu. Setelah puasa harus ada perubahan. Jika sebelumnya wajahnya selalu marah-marah, sesudah puasa harus ramah. Tutur kata harus lebih menyejukkan lawan bicara. Begitu juga perilaku. Jika sebelum puasa masih bersifat ‘merusak’, kini harus lebih konstruktif dengan solusi. Demikian pula sumber makanan, jika sebelum puasa lebih banyak yang haram, kini harus halal.
Kalau sudah seperti itu, maka secara tidak langsung kita sudah turut membantu menata kehidupan manusia menjadi lebih baik dari sebelumya melalui perbaikan sistem-sistem nilai sebagaimana yang dianjurkan dalam Quran dan Sunnah.
Bermaaf-maafan dan perubahan perilaku ini, tentunya tidak sekadar di lingkungan keluarga. Tetapi harus diparaktikkan juga dalam lingkungan dimana kita beraktivitas. Seperti birokrasi pemerintah, jika sebelumnya staf pemerintahan selalu memasang muka masam kepada warga, harusnya setelah Idul Fitri bisa lebih ‘manis’.
Demikian pula sumber-sumber anggaran untuk masyarakat yang sebelum puasa selalu ‘dikebiri’, harusnya kini didistribusikan sebenar-benarnya bagi yang berhak. Mumpung ada perubahan ‘fisik’ dalam pengawasan, yakni keterwakilan legislator di parlemen. Harusnya bisa membawa perubahan sebagaimana perubahan ulat menjadi kupu-kupu.
Demikian pula media massa dan pewartanya, termasuk ‘pengabar’ di jejaring media sosial (medsos). Tentunya sangat diharapkan tidak ada lagi hoaks. Isinya lebih menuntun pembaca. Memberikan solusi dan bersifat inovatif.
Inilah inti dari puasa Ramadan. Amalan selama sebulan penuh harus memberikan perubahan yang nyata. Harus ada yang baru. Itulah kemenangan yang sesungguhnya. Selamat Idul Fitri 1440 H, minal aidin wal faidizin, maaf lahir batin.(*)