PESTA demokrasi, Pemilihan Umum (pemilu) serentak 2019 telah usai. Pesta berbiaya sekira Rp 25 triliun itu (jujur), masih jauh dari harapan. Meski sukses diselenggarakan, namun kualitas pemilu masih diragukan lebih baik dari pesta yang sama di 2014 lalu.
Secara umum, masyarakat terlihat lebih siap. Buktinya, ketakutan akan banyak yang tidak menyalurkan hak pilih ternyata terbantahkan dengan antusias yang begitu besar. Justru, penyelenggara sendiri yang kelihatan tidak siap.
Bukti ketidaksiapan itu bisa terekam dalam aktivitas di tempat pemungutan suara (TPS). Dari Mulai kekurangan logistik, sehingga banyak pemilih yang protes tidak bisa mencoblos, hingga kurangnya antisipasi kotak suara bahan kardus yang mudah rusak. Belum lagi, warga yang tidak masuk daftar pemilih (DPT), daftar pemilih tambahan (DPTb), maupun daftar pemilih khusus (DPK).
Kondisi ini belum ditambah kredibilitas penyelenggara. Sebagaimana pernyataan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang menemukan indikasi sekira 4.589 kelompok panitia pemungutan suara (KPPS) yang tidak netral. Buntutnya, terjadi kericuhan di banyak TPS yang mengarah pada pemilihan suara ulang (PSU).
Selain itu, profesionalitas KPU dalam manajemen IT untuk pengelolaan data dari seluruh wilayah Indonesia. Banyak kekeliruan dalam aplikasi penghitungan yang menambah kekecewaan dan ketidakpercayaan warga, maupun peserta pemilu kepada penyelenggara.
Pesta ini, jika dihitung dengan tambahan biaya yang dikeluarkan peserta pemilu, yakni partai politik (parpol) dan para calon legislatifnya (caleg), tentu angkanya akan lebih fantastis lagi. Kalau mau dibayangkan, bisa membangun puluhan bahkan ratusan sekolah atau membangun ratusan km jalan. Tidak mengherankan, dunia menyebut Pemilu Indonesia paling rumit dan paling besar.
Ironisnya, ketika pemerintah membanggakan kemajuan Indonesia di semua sektor termasuk IT, seperti berkembangnya perusahaan-perusahaan rintisan baru (fintech), pengelolaan pemerintahan berbasis teknologi mutakhir, dan sebagainya, kenapa Pemilu tidak bisa dilakukan menggunakan teknologi itu.
Beberapa negara sudah melakukan itu. Lebih efektif, efisien, mudah, murah, tidak perlu kotak suara karton lagi, tidak perlu cetak surat suara berbahan kertas, tidak perlu melakukan penghitungan berjenjang hingga dini hari, sehingga beberapa penyelenggara meninggal dunia.
Kemudian, dengan pemilu berbasis digital, hasilnya tidak perlu lagi menunggu satu bulan lamanya. Ini juga mengantisipasi indikasi kecurangan atau protes dari pihak-pihak yang berkompetisi.
Jadi, masalahnya bukan pada pemilu serentak atau dipisahkan, tetapi kepada kemauan pemerintah untuk menyiapkan perangkat kepemiluan yang efektif dan efisien. Toh, Indonesia punya jago-jago IT yang sudah diakui dunia.
Cukup memilih lewat perangkat android atau perangkat yang disediakan di setiap kantor kelurahan bagi yang belum memiliki handphone android. Lima tahun ke depan adalah waktu yang cukup panjang untuk menyiapkan Pemilu Android atau Pemilu 2024 berbasis Android.(*)