Editorial

Ramalan Soekarno

×

Ramalan Soekarno

Sebarkan artikel ini

KECIL hati. Ini hanya sebuah istilah saja. Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) diartikan: (merasa) tersinggung; marah; (merasa) tawar hatinya; kecewa; atau hilang keberanian; takut. Mungkin ini istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi bangsa ini.

Lihat saja informasi yang wara-wiri di media mainstream maupun media sosial. Sebagian besar menggambarkan perasaan ‘kecil hati’. Ada kelompok yang (merasa) tersinggung atau marah. Ada kelompok yang (merasa) tawar hatinya atau kecewa. Bahkan ada kelompok yang hilang keberanian atau takut.

Apakah bangsa ini dari dulu memang seperti ini? Mudah tersinggung, marah, kecewa? Atau apakah karena melekat ‘budaya timur’ kepada bangsa ini, sehingga semua persoalan dibawa dengan hati (perasaan)? Tentunya ini masih diperlukan studi yang mendalam.

Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir, sangat terasa ada perubahan dalam bangsa ini. Terkait klaim budaya timur yang melekat sebagai identitas bangsa ini, seolah sirna. Tidak ada lagi saling menghargai, tidak ada lagi kesantunan, tidak ada lagi saling bermaaf-maafan, tidak ada lagi saling membantu, dan seolah-olah tidak ada lagi nilai-nilai moral dan religiusitas.

Semua sifat-sifat yang menggambarkan ‘ketimuran’ hilang dalam sekejap ditelan ‘ego’. Ego ingin menang sendiri, ego ingin berkuasa, ego lebih baik dari orang lain, dan bahkan ego-ego ini sudah menyatu menjadi super-ego. Artinya tidak lagi dalam pribadi seseorang, tetapi sudah menjadi milik kelompok (sosial).

Lihat saja kondisi sekarang. Pesta demokrasi yang harusnya dilandasi semangat ‘ketimuran’ justru hilang arah. Ada orang/kelompok dengan gampang menuduh dan memfitnah. Ada orang/kelompok dengan gampang pula tersinggung dan marah. Ada juga orang/kelompok yang sudah salah, namun dengan gampang menganggap hal itu biasa dan tidak mau meminta maaf.

Ini adalah realita yang terjadi saat ini. Ambisi politik sudah meluluhlantahkan sendi-sendi moralitas bangsa ini. Mirisnya lagi, ‘tontonan’ ini yang harusnya hanya bisa dinikmati kalangan umur terbatas, namun sudah terekam oleh penonton segala umur, termasuk para penerus bangsa ini yang masih duduk di bangku sekolah.

Lantas, apakah harus seperti ini dan selamanya akan seperti ini? Setiap pesta demokrasi harus diakhiri dengan rasa saling permusuhan, rasa saling ketidakpercayaan. Ataukah ini kenyataan dari ramalan founding fathers, Soekarno, bahwa perjuangan bangsa ini akan lebih berat karena musuhnya adalah saudaramu sendiri.

Artinya, bangsa ini sudh terkotak-kotak dengan tujuannya masing-masing. Tidak lagi memiliki tujuan yang sama sebagaimana sudah diamanatkan Pancasila dan UUD 1945. Padahal inilah nasionalisme yang sebenarnya. Pancasila dan UUD 1945 jangan hanya dijadikan simbol, tapi harus diimplementasikan. Dari mulai kehidupan pribadi, keluarga, bermasyarakat, hingga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semoga!(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Editorial

SEBELUM negara ini mengubah kebijakan kepemiluan dari dipilih parlemen…