EkonomiNasional

Perbankan Butuh Likuiditas Rp 600 T

×

Perbankan Butuh Likuiditas Rp 600 T

Sebarkan artikel ini
Bank Indonesia FOTO DETIK.COM

HARIANHALMAHERA.COM– Program restrukturisasi kredit oleh pemerintah membutuhkan dana yang tidak sedikit. Bank Indonesia (BI) menyebut perbankan membutuhkan likuiditas hingga Rp 585 triliun untuk melancarkan program itu di tengah pandemi Covid-19.

”Restrukturisasi kredit UMKM dengan menunda angsuran pokok selama enam bulan butuh likuiditas Rp 140–160 triliun. Untuk koperasi dan komersial Rp 400–425 triliun,” ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo sebagaimana yang dilansir Jawa Pos.

Pemerintah bisa menggelontorkan dana dengan membeli surat berharga negara (SBN) yang diterbitkan BI. Dana dari pembelian tersebut digunakan untuk menambah likuiditas perbankan.

Selain itu, perbankan bisa merepokan SBN milik mereka. Perry mengatakan, SBN yang berada di perbankan berkisar Rp 700 triliun sampai Rp 750 triliun. Namun, perbankan tidak bisa merepokan semuanya. ”Supaya manajemen likuiditas bank masih prudent, hanya Rp 52–56 triliun yang bisa direpokan,” kata pria asal Sukoharjo tersebut.

Hingga 6 Mei lalu, BI telah melakukan injeksi likuiditas ke perbankan Rp 503,8 triliun. Perinciannya, Rp 386 triliun pada Januari sampai April dan Rp 117,8 triliun pada Mei. ”Yang bersumber dari pembelian SBN di pasar sekunder, investor asing, term repo perbankan, swap valuta asing, dan penurunan GWM (giro wajib minimum),” beber Perry.

Perry mengakui, sampai saat ini gelontoran dana likuditas tersebut belum menggairahkan sektor riil. Menurut dia, quantitative easing (pelonggaran moneter) akan berdampak efektif ke sektor riil dengan didukung stimulus fiskal. Misalnya, jaring pengaman sosial (social safety net), insentif industri termasuk subsidi kredit usaha rakyat (KUR) dan program bantuan sosial lainnya, serta dukungan restrukturisasi kredit.

”Bank sentral hanya berwenang memberikan kemudahan ke perbankan. Karena itu, bank sentral butuh bantuan pemerintah lewat stimulus fiskal untuk menyalurkan dari perbankan ke industri, dunia usaha, dan masyarakat,” ujarnya.

Selain kebijakan fiskal, BI mendapat dukungan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang memberikan restrukturisasi perbankan.

Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, sudah ada 1,02 juta nasabah yang memperoleh restrukturisasi kredit atau keringanan cicilan. Dari jumlah debitor tersebut, nilai restrukturisasi kredit mencapai Rp 207,2 triliun.

Meski demikian, restrukturisasi yang didapat tidak bisa disamakan. Sebab, setiap debitor memiliki kondisi berbeda akibat pandemi virus korona.

”So far tidak ada masalah karena juknis sudah kita buat dan dikomunikasikan secara luas. Restrukturisasi tidak sama karena ada yang kreditnya tinggal tiga sampai enam bulan, bahkan mau lunas. Apalagi, kredit motor ini kan tidak terlalu lama. Dan juga kredit-kredit modal kerja untuk UMKM. Ini sangat beda,” papar Wimboh.

Terpisah, pemerintah akan kembali memangkas belanja kementerian/lembaga hingga Rp 50 triliun. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, belanja modal dalam APBN 2020 sebenarnya sudah turun dari Rp 209,5 triliun menjadi Rp 158 triliun.

Ani menjelaskan, angka itu merupakan yang terendah jika dibandingkan dengan 2019 maupun 2018 yang masingmasing Rp 180 triliun dan Rp 184 triliun. ’’Pemotongan Rp 95 triliun itu dalam, namun tadi Bapak-Bapak tanya apakah mungkin dipotong lagi? Mungkin. Kita sudah cadangkan pemotongan Rp 50 triliun lagi,’’ ujarnya dalam rapat virtual dengan Komisi XI DPR Rabu malam (6/5).

Ani bahkan menyebutkan bahwa saat ini anggaran yang sifatnya operasional maupun belanja barang, seperti perjalanan dinas, tidak lagi tersisa.

Seperti diketahui, kebijakan pemangkasan anggaran itu merupakan tindak lanjut realokasi anggaran untuk menghadapi pandemi Covid-19. Sejalan dengan hal itu, pemerintah juga harus memutar otak untuk penyaluran bansos. (jpc/pur)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *