Halut

Insentif Nakes Kontrak di Halut Diduga Kacau Balau

×

Insentif Nakes Kontrak di Halut Diduga Kacau Balau

Sebarkan artikel ini
ILUSTRASI Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tobelo. (foto: i-malut.com)

HARIANHALMAHERA.COM–Aksi protes sejumlah tenaga kesehatan (Nakes) RSUD Tobelo, Kabupaten Halmahera Utara (Halut), terkait dana insentif Covid-19 yang mereka terima, menyisahkan aroma tak sedap dalam skema pencairan.

Desas – desus dana insentif Covid-19 menggunakan APBD mencuat, setelah keterangan yang tertera pada mutasi rekening bank dari salah satu Nakes berstatus kontrak, tertulis; TTP (Tunjangan Tambahan Penghasilan) Gaji Dinkes.

Salah seorang karyawan Bank Danamon berinisial AG, kepada Harian Halmahera, menyebut kode itu merupakan bukti pembayaran gaji ASN. “Formatnya yang tertulis itu untuk pembayaran gaji ASN,” katanya.

Kepala Program dan Perencanaan yang juga sebagai Bendahara RSUD Tobelo, Hely Umadada, enggan berkomentar saat ditanya terkait keterangan TTP Gaji Dinkes tersebut. “Aduh,” ucap Hely singkat, lalu mematikan ponselnya.

Menanggapi hal itu, Kepala Dinkes Halut, Muhammad Tapi – Tapi memastikan, bahwa insentif Covid-19 untuk Nakes di RSUD Tobelo menggunakan APBN.

Muhammad sempat bingung saat dijelaskan keterangan yang tertera pada mutasi rekening bank tersebut. “TTP ya ?. Ah, saya tara tahu. Saya belum lihat itu daftar apa,” katanya.

Namun setelah dikirim potongan scrandshot mutasi rekening bank itu, Muhammad menyebut TTP merupakan insentif bulanan berdasarkan Juknis nomor 392 tahun 2020. ”Jadi TTP itu, juga disebut insentif,” ucapnya.

Yang jelas, kembali ditegaskan Muhammad, pembayaran insentif Covid-19 untuk Nakes menggunakan APBN dengan total untuk dua bulan sebesar Rp2 miliar sekian. “Dari total itu baru cukup untuk pembayaran di dua bulan,” katanya.

Dia menjelaskan, data Nakes penerima insentif yang diajukan RSUD ke Dinkes tetap diverifikasi. “Dihitung berapa jumlah Nakes yang mau dibayar dari dana yang ada,” katanya.

Dia mengakui, bahwa masing – masing Nakes memang menerima secara berbeda – beda. Tapi dari perbedaan itu, dihitung berdasarkan hari kerja. “Jadi pada Juknis KMK (Keputusan Menteri Keuangan) sudah sesuai,” jelasnya.

Terkait pernyataan Direktur Utama RSUD Tobelo, drg. Irwanto Tandaan, yang menyebut pembayaran berdasarkan jumlah pasien yang ditangani dan dibagi dengan masa kerja dalam 22 hari, dinilai keliru. “Ah, tidak begitu. Tapi berdasarkan hari kerja dan itu ditetapkan secara nasional,” tandasnya.

Penelusuran Harian Halmahera, terdapat salah satu kepala ruangan yang tercatat dalam 22 hari masa kerja, dirinya hanya berkontak dengan satu pasien. Alhasil dana insentif yang dia peroleh sebesar Rp200 ribu.

Sementara, kepala ruangan lainnya memperoleh dana insentif lebih dari jumlah itu. Kuat dugaan, pihak RSUD Tobelo masih bersandar pada juknis lama, yaitu KMK Nomor HK.01.07/Menkes/278/2020.

Dalam juknis itu, pembayarannya berdasarkan jumlah pasien yang berkontak yang dibagi dengan masa kerja. Sedangkan pada juknis terbaru KMK Nomor HK.01.07/Menkes/392/2020, hasil revisi sebelumnya, pembayaran berdasarkan masa kerja.

Muhammad pun ragu dengan fakta yang diterima para kepala ruangan tersebut. “Oh, tidak mungkin itu,” tandasnya, sembari menyebut, jika hitungannya begitu, maka kemungkinan ada kesalahan.

Dijelaskan Muhammad, dalam 22 hari masa kerja, untuk tenaga perawat Rp7 jutaan, dokter Rp10 jutaan, dan dokter spesialis Rp15 jutaan. “Itu batas maksimal dalam juknis,” katanya.

Sedangkan di lingkup Dinas Kesehatan dan Puskesmas, kata dia, batas maksimalnya sebesar Rp5 jutaan, baik dokter maupun tenaga perawat lainnya. “Semua dibayar berdasarkan hari kerja,” tuturnya.

Misalnya, kata dia, ketika dalam 22 hari kerja yang bersangkutan masuk secara full tanpa libur, maka dibayar sesuai dengan batas maksimal. “Kalau misalnya dalam sebulan dia bekerja hanya satu hari, ya dibayar satu hari,” tuturnya.

Soal perbedaan dari total jumlah dana insentif yang diterima masing – masing kepala ruangan yang berbeda, sementara secara bersamaan masing – masing bekerja non shif, disebut Muhammad, kemungkinan ada kesalahan. “Karena RSU yang hitung, bukan Dinkes,” katanya.

Lantas bagaimana jika anggaran tersebut sudah terlanjur dicairkan?. “Dorang (mereka – RSUD Tobelo) tara lapor ke torang (kami – Dinkes),” ucapnya. “Kemungkinan pihak rumah sakit salah hitung,” tambahnya.

Dia juga sempat menyoroti aksi yang dilakukan tenaga medis RSUD Tobelo beberapa waktu lalu. Menurut dia, ada kesalahan dari pihak RSUD dalam menjelaskan soal skema realisasi dana insentif Covid-19.

“Harusnya mereka panggil dan menjelaskan, hitungannya itu bagaimana. Supaya tenaga medis itu puas. Biar dapat Rp100 ribu kalau penjelasannya sesuai, mereka puas. Karena hitungannya benar. Nah, kalau hitung salah, bagaimana,” jelasnya.

Disimpulkan Muhammad, dasar hitungannya mengacu pada jadwal kerja, yang drafnya ditandatangani oleh bagian medik atau dalam hal ini, kepala ruangan pada setiap bidang di RSU.

“Mereka yang atur jadwal. Jadi berdasarkan jadwal itu, dihitung dan dikalikan dalam sehari Rp600 ribu sekian, lalu dikali hari kerja dalam sebulan. Kalau misalnya 10 hari, ya berapa. Gampang itu,” tuturnya.

Pasca aksi protes sejumlah tenaga medis, Dinkes belum melakukan evaluasi ke pihak RSUD Tobelo. “Mereka belum sampaikan ke kami. Karena RSU kan OPD sendiri. Kami juga tidak bisa intervensi,” katanya.

Dikonfirmasi terakhir, Senin (25/8), Muhammad mengatakan penggunaan nomenklatur TTP ASN pada pencairan insentif Nakes tenaga kontrak tidak jadi persoalan. “Karena sistem transferan itu lewat rekening daerah. Kami di dinas hanya numpang lewat saja,” katanya.

Juru Bicara Satuan Gugus Tugas (Satgus) Covid-19 Halut, Deky Tawaris, mengatakan pembayaran insentif mengacu pada Permenkes dan Permenkeu. “Ada rumus yang menentukan,” katanya.

Menurut Deky, dana insentif untuk Maret hanya dihitung 10 hari kerja. Sebab di Maret angka pasien terkonfirmasi Covid-19 belum signifikan. “Nanti di atas tanggal 20 Maret baru angka pasiennya membludak. Tapi di bulan April sudah terbayar normal,” katanya.

Dia menjelaskan, terkait penanganan pasien, bukan berarti pada juknis sebelumnya dan terbaru menganulir tentang hubungan kontak antara Nakes dan pasien yang dirawat. “Frekuensi itu juga yang menjadi variabel dalam menghitung,” katanya.

Bagi Deky, tidak mungkin seorang Nakes yang hanya duduk diam, lalu jumlah insentif yang diterima sama dengan Nakes lainnya. “Itu beda. Jadi mereka yang merawat pasien itu, dikalikan dengan 22 hari. Rumusnya seperti itu,” tuturnya.

Soal salah satu Nakes yang diberhentikan jabatannya sebagai kepala ruangan pada salah satu bidang di RSUD Tobelo, disebut Deky, karena yang bersangkutan bertanggungjawab atas perhitungan masa kerja para Nakes.

“Jadi mekanismenya, dia buat data terkait orang – orang yang bekerja. Data itu kemudian diusulkan ke Dinkes, lalu dibayar ke masing – masing rekening penerima. Asumsinya, jika data itu salah, maka pembayarannya juga akan salah,” tuturnya.

Deky pun tak menampik jika yang bertugas melakukan pendataan adalah kepala ruangan, berpotensi terjadi manipulasi data penerima. “Jadi sistem dan mekanisme itu perlu diperbaharui,” tuturnya.

Karena, kata Deky, mekanisme terbaru belum jalan. “Ya maklumlah, baru pertama kali kan. Belum lagi semua (Nakes) mengambarkan besaran yang harus mereka terima,” ucapnya.

Terkait keterangan pada mutasi rekening bank yang tertulis TTP Gaji Dinkes, Deky mengaku akan mengkonfirmasi ke Dinkes agar tidak menimbulkan kontroversial.

“Karena memang itu akan memunculkan multitafsir. Tapi apakah itu insentif maupaun TTP, prinsip dasarnya sama,” ucapnya.

Kendati demikian, kata Deky, nomenklatur TTP dan insentif lewat domain daerah perlu diatur. Sebab di daerah ada tambahan penghasilan. “Jadi memang harus diatur agar tidak overlap (tumpang tindih), apakah dari APBD atau APBN,” tuturnya.

Lalu bagaimana dari perspektif ilmu administrasi terkait pembayaran insentif yang tertulis TTP Gaji Dinkes, untuk tenaga kontrak tersebut ?.

Akademisi Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, Syahroni A. Hirto, mengatakan dalam nomenklatur keuangan, TTP Gaji Dinkes diperuntukan untuk ASN.

“Sedangkan pada Perpu Covid-19 dikeluarkan untuk kinerjanya, bukan disebutkan TTP. Namun tidak juga disebut honorarium. Tapi anggaran kinerja,” jelas Syahroni kepada Harian Halmahera, Minggu (23/8).

Karena ASN tidak ada lagi honorarium kinerja, maka dari itu, TTP tidak bisa disebut nomenklaturnya TTP atau honor kegiatan. “Dari Permenkes itu tidak bisa,” tandasnya.

Menurut dia, jika nomenklaturnya demikian, berarti itu hanya untuk pelaporan. Sebab TTP hanya diperuntukan bagi ASN, tidak untuk tenaga kontrak. Meskipun sumbernya dari APBN maupun APBD, nomenklaturnya tetap sama.

“Karena kalau dibagi untuk anggaran Covid-19, maka tidak bisa ditulis TTP. Langsung saja ditulis tentang pembayaran kinerja kegiatan Covid-19, entah nanti dia masuk di bidang apa, bidang apa, terserah,” katanya.

Menurut dia, daerah bisa memainkan presentasinya sesuai kemampuan dan status daerah. Misalnya, daerah bukan zona hitam, dan bantuan nasional sebatas status daerah yang ada, maka itu hanya menjadi evaluasi, pengawasan, mitigasi, atau bukan penanganan.

Sebelumnya, kata dia, Maluku Utara masuk dalam kategori zona hitam. Di sini, asumsinya ada penanganan yang tidak hanya mitigasi. “Nah tinggal daerah mempersentasikan biaya dari beberapa item yang sesuai juknis Covid-19,” tuturnya.

Dari situ, bukan Dinkes yang membuat pertanggung jawaban secara full, tapi Keuangan Daerah. “Kalau misalnya anggaran Covid-19, maka adanya di tim gugus yang ketuanya bupati. Teknis operasionalnya ada pada BPBD dan sekaligus merangkap sebagai keuangan,” jelasnya.

Kalaupun disebutkan oleh Kadinkes bahwa TTP juga bisa disebutkan sebagai insentif Covid-19, Syahroni mempertanyakan, apa juknisnya.

“Karena juknis di tim Covid-19 itu polanya disesuaikan dengan Permenkeu dan Perpu, tidak bisa hanya menyebut TTP dengan cara memainkan nomenklatur Covid-19,” terangnya.

Di peraturan tentang Covid-19, kata dia, skema penganggarannya tidak boleh mengikuti prosedure – prosedure sebelumnya.

“Tapi mata anggarannya disesuaikan dengan berapa besaran dari kebutuhan daerah, situasi dan status daerah, dan cara main atau pola keuangan daerah,” jelasnya.

Cara main pola keuangan daerah, menurut dia, jika TTP hanya diberikan kepada ASN sesuai dengan nomenklatur Menkeu, maka TTP tidak bisa diberikan kepada pegawai kontrak maupun honorer yang tergabung dalam tim Covid-19.

Kalau pun bisa, menurut Syahroni, nomenklaturnya bukan TTP. Dan biaya isentif untuk tenaga kontrak harus sesuai dengan juknis Covid-19.

“Jadi bukan melalui anggaran TTP. Masa mau bayar tenaga kontrak tapi pakai juknis TTP, baru menggunakan APBN untuk insentif Covid-19, itu keliru,” tegasnya.

Pertanyaannya, lanjut dia, mana juknis daerah terkait tenaga kontrak di masa pandemi ?. “Karena itu nanti menjadi alasan pelaporan. Sebab nomenklatur TTP diatur dalam Permendagri. Sedangkan pembayaran TTP diatur oleh Permenkeu,” jelasnya.

Terkait pernyataan Kadinkes bahwa TTP juga disebut insentif bulanan, kembali dipertanyakan Syahroni, bahwa juknis apa yang dipakai. “Karena TTP itu untuk ASN, tidak bisa dipakai untuk tenaga kontrak,” tegasnya.

Sebab menurut dia, TTP untuk ASN diukur tentang peningkatan kinerja. Sedangkan indikator kinerja ASN cukup jelas. ”Pengangkatan tenaga kontrak bukan atas dasar SK Kemendagri, tapi berdasarkan kebutuhan daerah,” ucapnya.

Disatu sisi, pada juknis insentif Covid-19 tidak dijelaskan secara spesifik tentang kategori ASN maupun tenaga kontrak. “Mereka bisa pakai dasar itu untuk tenaga kontrak, tapi cara hitungannya dipakai dengan tingkat kinerja masing – masing wilayah dan kebutuhan yang ada,” tuturnya.

Sebab, bagi dosen Ilmu Administrasi UMMU ini, jangan sampai ketika anggaran penanganan dan mitigasi lebih besar, maka daerah bisa memainkan anggaran Covid-19 untuk membayar honorarium tenaga kesehatannya.

Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Halut, Mahmud Lasidji, mengatakan dalam Permendagri Nomor 59 tahun 2007 atas perubahan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang pengelolaan keuangan daerah, nomenklatur TTP ASN bersandar ke situ.

“Jadi nomenklatur yang diapakai untuk membayar insentif tenaga medis itu menggunakan perubahan Permendagri nomor 13 itu. Tapi tidak ada masalah soal itu. Karena intinya dibayar ke siapa. Jadi peruntukannya harus jelas,” katanya.

Apakah itu ASN maupun non ASN dalam hal ini Pegawai Tidak Tetap (PTT). “Karena kalau dari bahasa ASN, PNS, oke. Ada PNS ada ASN,” katanya.

Walaupun dana transferan dari pusat berlapis, menurut Mahmud, tetap menggunakan satu nomenklatur, yakni TTP untuk ASN. “Intinya pembayaran kepada yang bersangkutan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya dalam menangani Covid,” katanya.

Kendati demikian, diakui Mahmud bahwa penggunaan nomenklatur TTP ASN terhadap tenaga kontrak tersebut, lantaran daerah tidak memiliki juknis soal pembayaran insentif untuk tenaga kontrak. “Iya, tidak ada,” katanya.

Sehingga, kata dia, BPKAD menyesuaikan dengan peraturan yang lebih tinggi, dalam hal ini perubahan Permendagri Nomor 13. “Dan untuk penetapan, pada intinya dibayar ke siapa terkait tugas dan fungsinya dalam penanganan Covid-19. Yang jelas ada SK Bupati terkait siapa yang bertugas dalam itu,” katanya.

Bahkan, Mahmud menegaskan bahwa penggunaan nomenklatur TTP ASN untuk pembayaran insentif terhadap tenaga kontrak tidak terkesan rancu. “Tidak, tidak. Karena PTT itu juga ASN,” katanya.

Sementara, dalam juknis terbaru KMK Nomor HK.01.07/Menkes/392/2020, hasil revisi sebelumnya tidak menjelaskan soal penggunaan skema TTP. Menanggapi hal itu, Mahmud katakan, skema itu yang dituangkan dalam SK Bupati.

Namun kembali disebut Mahmud, juknis untuk tenaga kontrak ada pada Badan Kepegawaian Daerah (BKD). “Iya, seharusnya ada,” kata Mahmud, sembari menegaskan persoalan pembayaran isentif Nakes menggunakan skema TTP ASN untuk tenaga kontrak tidak masalah. “Yang penting ada SK Bupati,” tandasnya.

Soal desas – desus yang menyebut dana insentif menggunakan APBD, Mahmud menjelaskan, bahwa mekansme penyalurannya lewat APBD. “Tapi dananya dari pusat. Tapi mekanismenya kan diserahkan ke daerah untuk menganggarkan itu, maka masuk dalam APBD,” katanya.

Total dana insentif yang bersumber dari APBN untuk insentif Nakes di Halut, kata sebesar Rp2 miliar lebih. Sedangkan realisasinya Rp1,9 miliar. “Jadi masih ada sisanya, dan sampai sekarang juga belum diminta. Nanti dari Dinkes yang ajukan lagi,” katanya.

Terkait skema pencarian insentif Nakes di RSUD Tobelo, yang diduga menggunakan juknis lama lantaran penerima masih berdasarkan jumlah kontak per-pasien, dikatakan Mahmud,  harusnya ada koordinasi antara Dinkes dan RSUD. “Makanya terjadi bolak-balik, bolak-balik,” tuturnya.

Terkait hal itu, Akademisi UMMU, Syahroni A. Hirto, menyebut tenaga kontrak dengan desian daerah yang ada saat ini justru masih jauh dengan konsep pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). “Nanti baca saja UU ASN tentang P3K,” tandasnya. (Kho)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *