HalutHukum

Satgas Covid-19 Halut Terancam Diproses Hukum

×

Satgas Covid-19 Halut Terancam Diproses Hukum

Sebarkan artikel ini
Sukitman Asgar, Akademisi Universitas Hein Namotemo (Unhena).

HARIANHALMAHERA.COM–Penetapan orang dalam pemantauan (ODP) oleh tim Satgas Covid-19 Kabupaten Halmahera Utara (Halut), terharap seorang warga Kao Teluk yang meninggal di RSUD Tobelo bakal berunjung ke ranah hukum.

Sebab, pihak keluarga menganggap keputusan satgas tidak sesuai kenyataan. Sukitman Asgar, salah satu keluarga dari jenazah, menganggap kinerja Satgas Covid-19 Kabupaten Halut sangat sembrono. Penilaian itu terkait pemberitaan yang bersumber dari humas satgas covid-19,

Di mana, disebutkan bahwa meninggalnya seorang warga Kecamatan Kao Teluk harus dimakamkan sesuai Standar Operasional Prosedure (SOP) Covid-19, karena masuk dalam ODP.”Kami berencana bawa masalah ini ke ranah hukum,” tandas Sukitman, Senin (20/4).

Selaku keluarga korban, menurut Sukitman, sangat kecewa dan sesalkan standar penanganan satgas covid-19 Halut, karena pasien yang meninggal baru dinyatakan terduga ODP. Bukan sudah status ODP sebagimana berdasarkan keterangan dokter RSUD Tobelo yang menangani pasien.

Tapi ternyata, kata dia, satgas covid-19 Halut melalui humas mengambil alih dengan menyebutkan pasien dikebumikan dengan menggunakan standar Covid 19. “Ini kan semborono. Makanya kami keluarga menolak itu dan kami kebumikan secara normal sebagaimana anjuran Islam,” sesalnya.

Ia menegaskan, keluarga korban menolak disebut ODP, karena dari keterangan dokter, almarhum diduga ODP setelah kontrak fisik dengan suaminya yang memiliki riwayat perjalan dari Bacan melewati Ternate, salah satu daerah yang sudah ada kasus positif covid-19.

“Suaminya tiba di rumah, almarhum sudah sakit jauh-jauh hari dan telah dirawat di Puskesmas Dum-dum,” ungkapnya.

Saat itu, lanjut dia, kondisi korban sudah sangat lemas setelah sebulan yang lalu atau tepatnya 27 Maret, telah melahirkan anak kedua setelah sebelumnya melahirkan anak pertama.

“Jadi belum cukup 44 hari sebagaiman anjuran Islam, dan jarak melahirkan pun hanya berjarak 1,7 tahun dengan anak pertama. Maka dugaan kami, ini bukan gejala covid-19 tapi sakit akibat kelelahan melahirkan atau sakit lainnya. Sehingga harus ditangani sesuai medis kebidanan,” tuturnya.

Sukitman juga mengaku heran dengan kebijakan tim medis. Sebab ketika dirujuk ke RSUD Tobelo, langsung diisolasi secara mandiri di ruang khusus yang tampak seperti penanganan covid-19.

“Ini kan aneh, makanya kami sementra mencari bukti dan keterangan lain untuk melaporkan manajemen RSUD Tobelo dan Satgas Covid-19, karena dianggap salah kaprah menangani pasien,” ujarnya.

Sukitman yang juga sebagai akadimisi Universitas Hein Namotemo ini mengaku tetap memahami apa yang dilakukan tim covid-19. Karena itu bagian dari upaya mencegah, tapi bukan berarti orang yang masih diduga ODP malah harus divonis ODP hingga disebut dimakamkan sesuai SOP covid-19.

“Jujur, sepanjang perjalanan yang kami lewati sampai tiba di rumah, semua orang di jalan panic, termasuk di kampung halaman. Ini sungguh menyakiti kami, yang sudah kehilangan keluarga malah dibuat seakan-akan covid 19, sehingga semua orang tidak bisa datang melayat dan mengantarkan jenazah di peristirahatan terakhir,” tutupnya.(dit/Kho)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *