FeatureHalut

Tak Ingin Diremehkan

×

Tak Ingin Diremehkan

Sebarkan artikel ini
Ivon Suzana Jesicka, Pengusaha dan Pemerhati Perempuan. (foto: ist/ivon)

“JANGAN biarkan apa pun di dunia ini membelenggu selain kebenaran batin hakiki Anda.” Demikian kata Ivon Suzana Jesicka, mengutip quote dari seorang aktivis perempuan berkebangsaan Jerman Emma Herwegh.

Baginya, selain tekanan faktor eksternal, dalam diri perempuan juga terus bergulat dengan keragu-raguan.

“Inilah yang harus diseriusi dulu. Membangkitkan keyakinan. Memutus semua belenggu batin yang penuh keraguan,” kata Ivon, sapaanya, yang lebih suka dibilang perempuan pembela perempuan, daripada seorang pemerhati perempuan.

Dengan rambut hitam panjang diikat satu, perempuan kelahiran Tobelo itu terlihat bersemangat hari itu. Senyum di kedua sudut bibirnya pun tak pernah lepas. Seakan menjadi penanda dia sedang berbahagia.

“Oh iya, ini kan harinya saya,” katanya saat kebetulan bertemu, pada Jumat (8/3) lalu di tempat usahanya, di Desa Wosia.

“Selamat ulang tahun kalau begitu,” ucap wartawan ini.

“Makasih. Tapi ini bukan hari saya sendiri. Tapi harinya juga,” sambil menunjuk seorang perempuan yang tengah duduk di bangku kayu, depan tempat usahanya.

“Dan mereka juga,” kembali menunjuk ke arah jalan, saat dua orang perempuan, ibu dan anak berjalan berhimpitan di bawah payung jingga untuk  melindungi tubuh dari sengatan matahari.

Awalnya, wartawan ini bingung. Kok tanggalnya sama. Apa mereka ini seperti jutaan warga lain yang terdata dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan memiliki tanggal lahir yang sama?

Setelah putar otak beberapa menit, oh ternyata. Pada tangal 8 Maret setiap tahunnya, seluruh perempuan di dunia merayakan Hari Perempuan International. Rupanya itu, tapi kenapa bahagia? Bukankah di hari itu perempuan berbondong-bondong menyuarakan seluruh ‘kelemahan’ mereka?

“Itu seperti yang saya katakan tadi. Hari ini harusnya menjadi hari instropeksi. Hari timbulnya kesadaran, timbulnya semangat, dan sebagainya, dalam diri perempuan.”

“Harus bahagia. Lupakanlah dulu tekanan eksternal. Seperti budaya patriarki, perempuan di bawah laki-laki. Atau, tekanan akibat perbedaan gender. Lupakan dulu itu sejenak. Hari ini harus menjadi momentum kebangkitan diri perempuan,” kata Ivon, yang sesekali menengok gadget, bila ada bunyi tanda pesan masuk.

Bagi dia, status perempuan dan laki-laki, sebenarnya sudah final. Meski beda dilihat dari kacamata bilogis, namun sama dari sisi ‘ke-manusia-an’.

“Apalagi di zaman modern seperti sekarang ini. Zaman milenial, tidak ada lagi batasan-batasan. Yang menentukan adalah kualitas. Karena itu, kepada seluruh perempuan, kalau tidak mau diremehkan, jangan meremehkan diri sendiri,” tegasnya.

Katanya lagi, sudah banyak contoh di dunia ini. Perempuan bisa bisa melakukan hal-hal besar. Tidak hanya di satu bidang saja, tapi di semua bidang.  “Seperti saya, ternyata bisa eksis di dunia bisnis,” katanya.

Pembicaraan terhenti sejenak. Dia harus melayani beberapa pelanggan yang mampir. Saat dia kembali, wartawan ini menyodorkan pertanyaan, bahwa saat ini, khususnya di Indonesia, termasuk di Maluku Utara (Malut) masih ada tiga isu penting perempuan yang harus diperjuangkan.

Mulai dari peraturan-peraturan yang diskriminatif, budaya patriarki, dan bertepatan dengan momentum politik, yakni keberadaan perempuan di dunia politik.

Dia berujar, saat ini laki-laki juga sudah sangat terbuka (pandangan) terhadap perempuan. Tidak seperti dulu, yang dominan memandang perempuan hanya sebagai seorang ibu dan istri. Tapi memang masih cukup banyak pula yang memandang seperti itu.

“Inilah yang masih diperjuangkan saat ini. Terutama dampaknya pada perempuan-perempuan yang da di lur perkotaan. Pandangan yang sudah turun temurun itu, akhirnya menjadi kebiasaan, dan akhirnya melembaga dalam pikiran masyarakat. Termasuk  pada diri perempuan itu sendiri,” terangnya.

Satu hal, sambungnya. Justru yang penting untuk saat ini, adalah kesamaan pandangan di kalangan perempuan itu sendiri. Karena budaya patriarki sudah tertanam, jangan heran banyak perempuan yang tidak mendukung perjuangan perempun.

“Misalnya perjuangan perempuan untuk menghapuskan peraturan-peraturan yang bersifat diskriminatif. Seperti soal prostitusi yang lagi ramai. Itukan sebenarnya kriminlisasi. Karena hanya perempuan yang dihukum. Sementara para lelaki hidung belang, tidak tersentuh.”

Ini juga terlihat dalam dunia politik. Sebagian besar partai hanya menjadikan perempuan sebagai pelengkap syarat kuota pengusulan calon. “Coba kalau tidak ada persyaratan seperti itu. Kayak dulu, mungkin semua calon legislatif laki-laki,” ujarnya.

Parahnya lagi, perempuan setelah terpilih mengemban amanat rakyat, juga tidak memberikan perhatian serius bagi perempuan. Ini karena, perempuan yang terpilih, kebanyakan tidak siap dan tidak mempersiapkan diri.

“Berbeda jika dia benar-benar siap dengan potensi yang ada. Kecakapannya, kebolehannya dalam berpolitik, dan terutama punya wawasan yang luas. Saya rasa bisa mempengaruhi pengambilan-pengambilan keputusan di dewan. Dan pasti akan memperjuangan kepentingan perempuan,” terangnya.

Karena itu, untuk terjun ke dunia politik, perempuan harus berani. Punya visi yang jelas dan terukur. “Berani karena punya kualitas. Kalau tidak punya kualitas, pasti tidak berani,” akunya.

Kemudian, ia juga menilai, perempuan itu sebenarnya punya kemampuan ‘politik’ yang lebih dari laki-laki. Mungkin karena pembawaan perempuan lebih tenang ketimbang laki-laki. Jadi bisa berpikir tenang, sehingga dalam proses komunikasi, punya opsi-opsi. Punya solusi. “Dan lebih tegas ketika ada yang salah,” tanadasnya.

Terakhir, perempuan harus saling mendukung. Dukungnnya pun harus kontinu. Dari sebelum terpilih hingga terpilih. Sehingga agenda keperempuanan yang dibawa, terus mendapat pengawalan. “Itu yang penting,” pungkasnya.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *