HARIANHALMAHERA.COM– JIKA anak luka akibat terjatuh saat main, sebagai orangtua zaman sekarang pasti langsu khawatir. Membersihkan dan menutup luka dengan perban menjadi tindakan pertama. Namun, tak jarang orangtua dulu melarangnya.
Alasan mereka, luka setelah dibersihkan dan dibiarkan terbuka akan lebih cepat kering dibanding ditutupi perban. Bahkan, jika ditutup luka lama sembuhnya, apalagi jika luka terbilang cukup dalam. Tapi, apakah benar demikian?
Melansir okezone.com, dokter spesialis luka pertama di Indonesia Dr. Adisaputra Ramadhinara mengungkapkan, banyak mitos terkait luka yang sampai detik ini masih dipercayai masyarakat Indonesia.
“Paling umum itu masih banyak yang membiarkan luka terbuka dan tidak ditutup sama sekali, ada yang sampai ditiup-tiup agar cepat kering. Padahal, pada dasarnya kulit manusia itu lembap. Jadi saat terjadi luka, harus ditutup dengan plester untuk menutupi lapisan kulit yang hilang, sehingga kulit akan tetap lembap,” tutur dr Adisaputra.
Senada, seorang peneliti asal Inggris, George D. Winter sebetulnya telah melakukan penelitian pada 1962 untuk menjawab mitos tersebut. Ia menemukan bahwa luka yang ditutup cenderung lebih cepat sembuh dibandingkan luka yang dibiarkan terbuka.
Dr. Adisaputra kemudian menyinggung mitos seputar luka bakar yang konon bisa diobati dengan mengoleskan pasta gigi atau menyiramnya dengan alkohol. Menurutnya, hal tersebut justru dapat memicu kerusakan jaringan di sekitar luka, serta meninggalkan bekas luka ketika sudah sembuh.
“Prinsipnya, luka itu harus dibersihkan, idealnya dengan antiseptik. Untuk luka bakar memang treatment-nya berbeda. Harus dibersihkan dengan air mengalir selama 15-20 menit untuk membuang panasnya. Sehingga dampak dari panas itu bisa diminimalisir dan efeknya tidak kemana-kemana. Dan ingat, setelah itu harus ditutup,” tegasnya.
Lalu bagaimana dengan kebiasaan memberi ludah pada bagian tubuh yang terluka? Kebiasaan ini, menurut Dr. Adi, terbentuk karena manusia sering memperhatikan tingkah laku binatang dan tanpa disadari menirunya.
Namun, ia tidak memungkiri bahwa air liur memiliki komponen anti bakteri. Itu sebabnya, ketika seseorang mengalami sariawan, mereka disarankan untuk mengonsumsi air putih yang banyak, agar produksi air liurnya meningkat.
“Kelemahan Indonesia itu masih menyepelekan luka. Negara kita bahkan tidak memiliki wound center sama sekali. Padahal ada banyak kasus-kasus luka akut yang berubah menjadi kronis karena ketidaktahuan masyarakat dalam menanggapinya,” kata Dr. Adi.(okz/fir)