HARIANHALMAHERA.COM–Lonjakan kasus Covid-19 di Maluku Utara (Malut) ternyata tak lepas dari masih rendahnya kesadaran warga mematuhi protokol kesehatan (prokes) mulai dari memaker masker hingga menjaga jarak (social distancing).
Hasil survey kepatuhan penggunaan masker dan jaga jarak yang dilakukan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) di provinsi luar Pulau Jawa dan Bali, Malut berada di peringkat paling teratas.
Deputi Rehabilitasi dan Rekonstruksi BNPB, Jarwansyah menyebut, Malut tercatat sebagai provinsi yang memiliki cakupan desa dan kelurahan terbanyak dengan kepatuhan penggunaan masker dan jaga jarak rendah.
“Provinsi dengan cakupan kelurahan/desa terbanyak dengan kepatuhan masker rendah adalah Maluku Utara sebesar 50%, Sulawesi Tenggara 40,74%, dan Sulawesi Tengah 36,36%,” ungkapnya dalam keterangan pers dengan Menko Perekonomian, Jumat (9/7).
Sedangkan untuk kepatuhan menjaga jarak, selain Maluku Utara juga dilaporkan Bangka Belitung dan Bengkulu yang memiliki kepatuhan rendah. “Di Maluku Utara juga sebesar 50%, lalu Kepulauan Bangka Belitung 35,56% dan Bengkulu 33,33%,” katanya
Jika dirinci, Jarwansyah menambahkan, total ada 33 kabupaten/kota di Indonesia yang memiliki tingkat kepatuhan menggunakan masker kurang dari 60 persen dalam tujuh hari terakhir.
Sementara itu ada 99 kabupaten/kota yang tingkat kepatuhan warganya dalam memakai masker sudah di atas 90 persen.
Sementara untuk kepatuhan dalam menjaga jarak, pemerintah mencatat ada 35 kabupaten/kota di Indonesia yang kepatuhan warganya dalam menjaga jarak kurang dari 60 persen. Hanya 94 kabupaten/kota, dari total 218 kabupaten/kota di Indonesia, yang tingkat kepatuhan warga dalam menjaga jarak sudah di atas 90 persen.
“Rata-rata sekitar 23,97 persen kelurahan dan desa di Indonesia memiliki kepatuhan rendah dalam memakai masker, dan 20,19 persen kelurahan-desa memiliki kepatuhan rendah dalam menjaga jarak,” ujar Jarwansyah
Jarwansyah berharap kegiatan penegakan disiplin protokol kesehatan bisa kembali meningkat seperti yang sempat terjadi pada Mei 2021. Hal ini diyakini sangat membantu proses pemutusan rantai penularan Covid-19. “Sementara itu, penutupan rumah ibadah, pelaksanaan tracing, dan vaksinasi meningkat drastis dalam dua pekan terakhir,” ujarnya.
Sementara itu, laporan harian kasus positif Covid-19 di Malut belum menunjukan grafis menurun. Dinas Kesehatan (Dinkes) Malut melaporkan pada Minggu (11/7) kemarin terdapat tambahan 184 kasus terkonfirmasi positif baru di Malut.
Penambahan 184 kasus positif ini terbanyak terjadi di tiga daerah yakni Kota Ternate dengan total 67 kasus, Kota Tidore Kepulauan (Tikep) dengan 65 kasus dan Halmahera Selatan (Halsel) 30 kasus. Sisanya, tersebar di dua daerah yakni Halmahera Timur (Haltim) 14 kasus dan Pulau Taliabu 8 kasus.
Jumlah kasus positif ini tidak berbanding lusur dengan jumlah kasus sembuh yang kemarin dilaporkan hanya 19 kasus yang tersebar di Ternate 16 Kasus sembuh dan 3 kasus sembuh di Haltim. Sedangkan kasus meninggal dilaporkan 3 kasus yang semuanya berasal dari Kota Tidore Kepulauan (Tikep).
Secara akumulatif, jumlah kasus Postifi di Malut hingga kini tercatat sebanyak 6.994 kasus dengan jumlah kasus sembuh 4.686, menunggal 151 kasus sehingga jumlah kasus poritif aktif di Malut hingga kini sudah mencapai 2.107 kasus.
Tingginya angka kematian akibat Covid-19 beberapa hari terakhir ditengarai terjadi karena tidak teraturnya mekanisme isolasi mandiri (isoman). Versi pemerintah, warga kurang aktif melapor ke fasilitas layanan kesehatan (fasyankes). Namun, ada juga versi yang menyebutkan bahwa fasyankes lamban merespons laporan warga.
Menurut Satgas Nasional Penanganan Covid-19, banyak orang yang menjalani isoman secara serampangan tanpa petunjuk dokter. Keluarga yang merawat pun akhirnya tertular. ’’Isoman yang kebablasan. Keluarga juga kurang peduli tentang perjalanan penyakit,” ujar Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19 Brigjen TNI (pur) dr Alexander K. Ginting (8/7).
Ginting menyebutkan, banyak pasien positif Covid-19 yang tidak pergi ke puskesmas maupun fasyankes. Mereka hanya mengandalkan hasil lab PCR atau rapid test antigen, kemudian langsung melakukan isoman. ”Seharusnya berobat, apalagi jika ada komorbid. Itu juga harus diobati,” jelasnya.
Menurut Ginting, pendampingan tenaga medis sangat krusial, bahkan saat gejala masih ringan. Tidak bisa hanya mengandalkan hasil tes untuk menentukan kondisi medis yang sebenarnya. Tim lab PCR juga bukan tim medis sehingga pasien positif belum mendapatkan obat pendukung.
Ginting menambahkan, banyak pasien yang tidak mengenali gejala Covid-19 dan tentu saja tidak mampu mendeteksi komorbid yang dimiliki. ”Dianggap biasa-biasa saja seperti masuk angin atau flu. Setelah sesak dan demam tinggi, baru tetangga dan RT dilapori. Lalu, baru dibawa ke RS,” jelasnya.
Padahal, tingkat keparahan penyakit baru bisa dilihat dari pemeriksaan fisik, sampel darah, maupun foto toraks jika ada gejala sesak. Begitu positif, seharusnya pasien langsung memeriksakan diri ke dokter di klinik maupun puskesmas setempat.
’’Tapi, orang itu kadang malu kena stigma. Setelah sesak dan demam tinggi, baru dibawa ke UGD. Padahal, yang mengobati penyakit itu kan arahan dokter. Bukan mengacu arahan sosmed, influencer, artis, toma (tokoh masyarakat), toga (tokoh agama), politisi, atau saudagar kan?” kata Ginting.
Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, pemerintah terus menambah tempat isolasi. Termasuk menambah fasilitas layanan bagi mereka yang isolasi mandiri. ’’Orang yang isolasi mandiri ini yang tidak bergejala atau bergejala ringan dan tidak sesak,” katanya saat dihubungi Jawa Pos kemarin.
Kemenkes bersama 11 platform digital telah mengeluarkan layanan telemedisin. Layanan yang baru ada di Jakarta itu diharapkan dapat mendampingi mereka yang isolasi mandiri. Termasuk memberikan obat. ’’Pemda Jabar sudah mengadopsi ini dan diharapkan pemda lain mengikuti,” kata Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Sementara itu, Dirjen PHI dan Jamsos Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) Indah Anggoro Putri meminta agar pekerja yang harus work from home (WFH) 100 persen tetap mendapat upah. Sebab, itu merupakan hak pekerja.
Jika perusahaan kesulitan membayar upah pekerja di masa PPKM darurat, pihaknya mempersilakan mereka untuk menggunakan pedoman dalam Surat Edaran Menaker Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Pelindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19.
Apabila ada adjustment besaran upah yang akan diterima pekerja sebagai dampak dari PPKM darurat, harus ada bukti tertulis kesepakatan dari hasil dialog bipartit antara pekerja dan perusahaan.
”Karena hasil dari dialog bipartit menjadi solusi terbaik antara pengusaha dan pekerja,” katanya. Selain itu, pekerja yang memiliki komorbid, ibu hamil, dan ibu menyusui diminta untuk bekerja dari rumah. Pengusaha diharapkan memberikan izin bagi mereka karena termasuk golongan yang berisiko berat.
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy meminta pemerintah daerah tetap memprioritaskan pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) meski saat ini berlaku masa PPKM darurat. Menurut dia, PTM harus tetap menjadi opsi utama yang dipilih pemerintah daerah daripada pembelajaran daring. Dengan catatan, daerah harus berada di dalam zona aman serta ada pengawasan ketat dari pemerintah daerah, khususnya Satgas Covid-19. (rpc/lfa/pur)